Labels

Saturday 28 September 2013

I Cann’t to Hate You
 

Note    : Sama seperti judulnya, aku tidak bisa untuk membenci kamu. Khusus buat yang ‘di sana’ semoga dia tahu apa isi hatiku.
Special Thanks to Henry Oppa!Because of him, I can write this fanfic.^_^
Happy reading!
Cast     : Lee Hyun Jae, Henry Lau, Kim Kibum and Others
Genre  : Sad, Romance, and Friendly

Sungguh tidak punya perasaan! Sikapmu lebih parah daripada harimau. Teganya kau membunuh cinta kita. Walau sebenarnya sakit, tapi aku harus rela lepaskanmu. Melupakan senyummu... Mencoba melupakan semua kenangan manis tentangmu. Terima kasih karena telah mengizinkan aku untuk mencintaimu.
Aku bergetar menahan tangisku saat menulis kalimat itu di buku catatan harianku. Hanya bisa berharap semoga aku bisa move on. Tekadku sudah bulat! Aku akan menutup lembaran masa laluku bersama lelaki yang dulu ku cintai. Tapi sekarang dia berkhianat. Dia merelakan semuanya termasuk meninggalkan aku demi mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap wanita lain!
            “Oppa! Pergilah dari hidupku! Tolong jangan pernah kembali lagi. Hiks...”
            Air mataku banjir! Keluar sebanyak-banyaknya tanpa kendali. Ku robek sebuah foto yang terselip dalam buku biru mungil itu dan melemparkannya langsung ke tempat sampah di samping meja belajarku.
            “Setidaknya aku beruntung, karena sempat kenal denganmu!” ujarku lirih.
            ---
Malam kian larut. Dinginpun makin menusuk. Aku menutup mataku namun cara ini tidak berhasil membuatku terlelap. Memori itu masih ada. Ah! Aku sangat tidak bisa melupakannya.
            Apa yang kau harapkan? Lelaki itu hanya mempermainkanmu dengan rayuan gombalnya! Please Hyun Jae! MOVE ON!
            Dua kata itu berhasil membuatku frustasi. Setelah bersusah payah menyumpal telinga dengan earphone, aku tertidur.
            _ _ _   
           
“Chagi~ya! Mianhae...”
           
“Jangan panggil aku chagi, Henry-ssi! Kita tidak memiliki hubungan apapun lagi sekarang!” ucapku tak acuh.
Matanya terguratkan wajah kesedihan. Air matanyanya juga berhamburan tak terkendali. Tapi aku tidak percaya. Air mata palsu itu! pikirku.
            “
Aku sungguh mencintaimu. Dia bukan siapa-siapa aku! Please ngerti.”
            “Bukan siapa-siapa katamu? Lalu anak siapa yang ada di kandungannya itu, hah! Kau tidak mau mengakuinya sebagai anakmu?” tanyaku dengan suara tinggi.
            Lelaki di depanku tertunduk diam. Dia menangis sambil berlutut di hadapanku.
            “Aissh! Apa yang kau lakukan?”
            “Aku mohon, dengerin penjelasanku dulu.”
            “Tidak ada yang harus kau jelaskan karena semuanya sudah jelas, Oppa! Bangunlah!” kataku sembari membantunya bangun.
            “Chagi~ya...”
            “Berhenti memanggilku chagi!” bentakku.
            Dia menggeleng lalu memelukku erat.
Maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu,” bisiknya.
            Mataku terpejam saat dipelukannya. Kata-kata itu membuatku sedikit tenang. Aku terbuai karenanya. Sungguh, aku benar-benar mencintai lelaki yang memelukku ini. Pikiranku kembali melayang ke memori masa lalu. Kenangan bersamanya, membuatku tidak bisa untuk membenci pria yang sudah mengkhianatiku. Tapi kesadaranku penuh saat melihat perempuan yang berdiri beberapa meter dari kami. Wajahnya sendu. Segera kudorong tubuh lelaki yang sudah membuatku jatuh cinta untuk pertama kali.
            “Maaf Henry-ssi, aku buru-buru!” kataku sambil menyambar tasku dan berlalu.
_ _ _
FLASHBACK!
“Aku menyesal. Aku tidak tahu kalau Henry Oppa sudah memiliki pacar,” ujar perempuan yang usianya tidak jauh berbeda denganku.
Aku menghapus air matanya lalu memeluknya. Sambil mencoba untuk mengerti apa yang diucapkan gadis itu. Sayang, usahaku gagal. Kini aku tersedu sedan bersamanya.
“Mianhae...”
“Kau tidak salah.”
“Tapi aku merusak hubungan kalian. Karena aku, kau menderita. Kau juga boleh membenciku Hyun Jae-ssi!”
            Itu kau tahu dan mengerti. Tapi kenapa kau lakukan itu sama aku?
Aku menggeleng. “Aku tidak akan bisa membenci perempuan karena aku perempuan, Dong Ae,” kataku tersenyum walau hatiku tidak.
Gadis itu menatapku intens. Dari matanya dia pasti tidak percaya aku akan mengatakan itu. “Kau serius?”
Aku mengangguk. Dan perbuatan itu berhasil menambah sakit di hatiku. Ingin sekali saat itu aku marah. Mencoba jujur pada orang di hadapanku betapa aku kecewa dan sakit hati. Tanganku gatal dan ingin menampar mukanya. Tapi itu tidak mungkin karena aku dan dia wanita. Tidak mungkin aku menyakiti diriku sendiri dengan menamparnya. Sungguh aku tidak kuat untuk menerima kenyataan bahwa pacarku, telah berkhianat.
            “Aku harap kau bisa datang besok,” katanya sambil memegang tanganku. Memohon.
            “Maaf. Aku tidak bisa datang Dong Ae. Sampaikan saja salamku untuk Henry Oppa, ne?” balasku.
Harusnya aku yang menikah dengan dia, bukan kamu Jung Ae! marah hatiku.
Mengingat itu membuatku tersiksa. Air mataku hampir tumpah. Karena tidak mau dilihat gadis yang ada di depanku, aku bergegas pulang.
---
“Aw! Maaf!” maafku pada orang yang tidak sengaja kutabrak.
“Hyun Jae? Kamu kenapa?”
Aku kaget. Begitu tahu Kibum Oppa yang kutabrak, aku buru-buru menghapus air mataku.
“Kibum Oppa?”
“Hei, kamu kenapa?”
Kibum Oppa membantuku untuk duduk di kursi taman.
“Mau cerita?” tanyanya lagi saat melihatku masih diam.
Beban di kepalaku menumpuk. Mungkin dengan menceritakan kejadian ini, aku akan sedikit tenang. Marahku meluap. Semua yang ada di pikiranku kukeluarkan tanpa peduli Kibum Oppa memang benar-benar mendengarkan atau tidak.
“Aku tidak tahu harus melakukan apa sekarang, Oppa! Kenapa dia tidak jujur, coba? Kejadian itu sudah enam bulan lalu! Bisa kau bayangkan jika kau jadi aku?”
Lelaki itu hanya diam. Lalu mengangguk pelan.
“Kalau aja waktu itu aku bisa meredam emosiku dan bisa sedikit mengerti dirinya, mungkin kejadian itu tidak akan terjadi. Kau lihat?” tanyaku sambil memperlihatkan kalender digital. “Besok seharusnya adalah hari bahagia aku dan dia! Namun nyatanya? Hari yang paling menyiksa untukku! Andai tanggal 16 tidak ada, pasti... hiks...”
Pria itu mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan ujung jarinya.
 “Jangan bertindak cengeng! Air matamu terlalu mahal jika hanya untuk menangisi orang busuk itu! Kamu harus kuat dan aku yakin kamu pasti bisa menghadapinya,” katanya memelukku.
Perkataannya selalu bisa membuatku sedikit tenang.
“Gomawo Oppa.”
FLASHBACK END
---
Taman ini sepi saat aku masih serius menyelesaikan artikelku. Menghindari Henry sama dengan membantu membuatku menulis. Tapi entah kenapa dengan pertemuan tadi, pikiranku seperti orang linglung. Pulpenku berhenti menari di atas buku catatanku. Mataku basah. Aku menangisi orang itu untuk yang kesekian kali.
“Hyun Jae!”
Aku menoleh. Ternyata Kibum Oppa. Segera kuhapus air mataku dengan punggung tanganku.
“Ada apa?” tanyaku sembari mencoba tersenyum.
            “Kau menangis lagi?”
            Aku menggeleng.
“Aku tidak menangis!”
            “Semua orang tahu jika mata bengkak dan hidung merah itu, pasti abis nangis!”
Aku tertunduk. Mengapa aku tidak cari tempat yang tidak ada Oppa untuk menangis tadi?pikirku.
            “Aku sudah lama kenal denganmu. Jadi tolong. Jangan bohong sama aku,” pintanya.
            Dia menyerahkan tissue ke arahku. Entah mengapa, sejenak bisa kulupakan pikiran yang mengangguku itu. Oppa memang selalu bisa mengerti aku. Melihatku diam, Kibum Oppa menyadarkan lamunanku. “Bersihkan ingusmu yang masih tertahan di hidungmu itu!” perintahnya. Dia memandangku dengan pandangan yang aneh. Mungkin merasa jijik dengan ingusku yang banyak. Hehe..
            “Kau kan tahu aku tidak bisa membuang ingus dengan tissue! Seharusnya kau juga memberiku air!”
            “Aisshh! Sana ke toilet!”
            “Gak mau! Aku maunya ingus ini keluar sendiri!” jawabku protes.
            “Dasar yeoja jorok! Sepertinya aku harus menjauh darimu sebelum ingusmu jatuh dan kau mengelapnya dengan bajuku. ”
            “Apa aku sejorok itu?”
            Kibum Oppa mengangguk. Aku kesal mendengarnya. Melihatku kesal, Oppa mengambil ancang-ancang untuk lari.
            “Dasar nyebelin! Karena kau sudah mengeluarkan statement itu, aku akan mengelapnya dengan bajumu! Liat aja nanti!” kataku sambil mengejarnya.
            “Coba aja kalau bisa!” tantangnya.
            Mendengar itu lariku makin cepat dan aku berhasil menangkapnya.
            “Larimu cepat juga, ya!”
            “Kau lupa! Aku ini kan mantan atlet lari.”
            “Ah, kau bukan atlet! Tapi turunan si pelari cepat di savana, Hyena!”
            “Apa katamu?! Hyena?!!!” kataku dengan nada tinggi.
“Eh, enggak kok! Aku bercanda,” ujarnya bergidik.
            Aku mencubit pipi dan lengannya hingga merah. Dia mengaduh. Dan semakin keras Kibum Oppa mengaduh kesakitan, semakin pula tawaku meledak.
---
“Aku yakin kau bisa Shin HaRa!” aku berusaha menghibur salah seorang sahabatku.
“Aku terlalu mencintainya, Hyun Jae. Aku benar-benar mencintainya.”
Shin HaRa kembali menangis. Aku menyerahkan artikelku yang termuat di majalah.
“Kau tahu, Shin HaRa? Aku juga pernah merasakan apa yang kau rasakan. Mungkin aku tidak separah dengan apa yang kau alami. Tapi percayalah. Kau harus dan pasti kuat menghadapi semua ini. Aku yakin. Tak ada gunanya kau menangis. Perempuan itu lebih kuat daripada laki-laki. Sekarang, hapus air matamu. Air matamu terlalu berharga jika hanya untuk menangisi lelaki busuk itu,” ucapku sambil menirukan kata-kata Kibum Oppa dulu.
Dia tersenyum. “Terima kasih Hyun Jae. Kau selalu bisa untuk membuatku tenang,” balasnya memelukku.
Aku membalasnya. Taman ini memang selalu membawa ketenangan diri, mengingat taman ini adalah tempatku mencurahkan pedihnya hatiku saat itu. Aku membujuknya untuk pergi dari tempat ini.
Di kejauhan kulihat Kibum Oppa mengacungkan jempol dan senyumnya ke arahku. Mungkin dia juga mendengar apa yang ku katakan ke Shin HaRa. Atau mungkin...bangga karena sarannya berhasil membuatku untuk tidak larut dalam kesedihan.
---
Empat tahun berlalu...

            Besok adalah launching novel kelima temanku. Akupun turut diundangnya untuk hadir dalam acara itu. Berharap acara yang diselenggarakan  Kibum Oppa, temanku yang novelis itu, berjalan sukses. Senyum ini benar-benar tidak lepas dari wajahku.
Selain mempromosikan novelnya, dalam acara itu Oppa juga membeberkan bahwa kisah di novelnya terinspirasi dari kisah pahit seseorang. Aku penasaran. Jujur, aku belum membaca keseluruhan novelnya. Hanya membaca sinopsisnya, ku rasa cukup. Tapi kesibukkanku menjadi seorang editor majalah, mencegahku untuk meluangkan sedikit waktuku membaca novel. Makanya aku sedikit penasaran dengan ceritanya.
“Bisakah kau menceritakan sedikit, pengalaman siapakah yang membuatmu terinspirasi menulis novel ini?” tanya peserta yang kebutulan menggemari novel-novel Oppa.
Kulihat Kibum Oppa tersenyum.
“Novel ini khusus ku persembahkan untuk sahabat terbaikku. Aku terinspirasi dari pengalaman pribadi orang yang telah merasakan sakitnya hati karena cinta tulusnya terkhianati oleh kekasihnya sendiri. Orang yang akhirnya bisa untuk merelakan cintanya kandas, walau hatinya perih. Orang yang selalu bisa memberikan semangat kepada orang yang sedang putus cinta, walau aku tahu sebenarnya dia itu menangis karena pengalamannya. Orang yang terlihat tegar menjalani kehidupannya, walau aku tahu dia lemah karena terkadang dia masih teringat akan orang yang dicintainya.”
Aku menatap Kibum Oppa intens. Matanya juga sedang melihatku. Dia melanjutkan kalimatnya. “Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada gadis yang sedang duduk di kursi ketiga baris keempat. Dialah sumber inspirasiku menulis. Dialah sahabatku, Lee Hyun Jae!”
Sontak saja aku kaget. Semua mata kini tertuju padaku. Suara riuh dan applouse hadirin memenuhi gedung. Aku yang masih tidak percaya hanya bisa melongo.
Suara Kibum Oppa menyadarkanku. “Hyun Jae~ya, maukah kau ke depan menemaniku dan menceritakan sedikit pengalamanmu?”
Oppa menghampiriku. Dia memaksaku ke depan. Aku ragu.
            “Ya! Hyun Jae! Kau kenapa?” tanyanya.
            “Kau yakin menyuruhku ke depan?”
            “Iya. Ayo! Temani aku!”
            “Ta...tapi?”
            “Tapi apa? Ayo!”
            Aku ragu mengikuti langkahnya. Gugupku semakin menjadi saat fansnya Kibum Oppa terus mendesakku bercerita.
            “Eoni! Cepatlah ceritakan pengalamanmu. Jujur, aku masih belum puas dengan ending di novelnya,” desak remaja perempuan yang kurasa dia benar-benar suka dengan novel ‘Bittersweet’ itu.
Aku tersenyum padanya yang mulai tak sabar.
            “Mungkin pengalamanku sering juga dialami oleh sebagian orang. Kisahku ini sebenarnya hanya patah hati karena kekasih yang meninggalkannya demi mempertanggungjawabkan perbuatannya pada perempuan lain. Tapi sebagai perempuan yang masih mencintai pria yang sudah membuatnya jatuh cinta pertama kali, rasanya kenangan manis itu benar-benar tidak bisa dilupakan begitu saja. Aku sempat larut dalam kesedihan waktu itu. Aku bahkan sempat mengeluarkan statement bahwa aku sangat benci padanya. Dan setelah temanku, Kibum bersusah payah menghiburku, aku sadar. Hidupku ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dalam kesedihan. Aku juga mulai mengerti kalau cintaku yang pupus itu tidak boleh kubenci walau aku sakit jika teringat semuanya. Oppa, di manapun kamu, aku cuma ingin bilang, ‘I cann’t to hate you’ Sungguh, aku tidak bisa membencimu.”
            Aku menghentikan ceritaku dengan menangis lagi. Suara riuh dan tepuk tanganpun kembali ku terdengar, bahkan lebih ramai dari sebelumnya. Kulihat si remaja perempuan itu. Dia nampak menitikkan air matanya. Dia lalu memelukku. “Jangan menangis lagi, Eoni. Aku memang tidak pernah mengalami yang seperti itu. tapi aku bisa merasakan kesedihanmu,” katanya sambil menghapus air mataku dengan tissue.
            Aku mengangguk.
            Acara ini berakhir dengan suasana haru untukku. Terlebih, saat Kibum Oppa memelukku dan berbisik, “Maaf karena sudah membuatmu menangis lagi.”
---
Aku pulang diantar Kibum Oppa. Saat sedang menuju mobil Oppa, seseorang memanggilku.
“Eoni!” panggil Hyun Ra, si fans perempuan novelnya Kibum Oppa.
            “Nde. Wae?” balasku.
            “Boleh kita ngobrol sebentar?” tanyanya.
            Aku tersenyum, “Tentu.”
            “Oppa, kalau kau mau pulang, duluan aja. Aku mau ngobrol sebentar sama Hyun Ra.”
            “Enggak usah. Aku tungguin kamu di sini.”
            “Eh, kenapa kau tidak ikut saja dengan kami, Oppa? Itu juga kalau enggak keberatan,” tawar Hyun Ra.
            Aku menoleh ke arah Kibum Oppa dan dia setuju untuk ikut kami ke kafe yang kebetuan tidak jauh dari tempat kami.
---
Aku menyuruput iced chocolateku sambil menatap Hyun Ra dan Kibum Oppa bergantian.
            “Hyun Jae? Gwenchana?”
            “Eh. I...iya”
            “Kau melamun Eoni?”
            “Entah. Mungkin iya mungkin enggak. Hehehe,” gurauku.
“Apakah kau masih kepikiran dengan mantanmu itu? Kayaknya dari tadi, wajahmu murung terus.”
Aku menggeleng.
“Aku hanya...ah sudahlah. Jangan dibahas! Hyun Ra kau tinggal di mana?”
            “Aku tinggal di Cuncheon.”
            “Wah jauh sekali!”
            “Kau ke sini sendiri?” tanya Oppa.
            “Dengan kakak iparku. Tapi dia belum datang menjemputku, ah mungkin sebentar lagi.”
            “Makanya kau meminta kami menemanimu ngobrol agar kau tak sendirian?” terkaku.
            “Seratus buat Eoni.”
            Kami tertawa. Kibum Oppa meminta Hyun Ra untuk banyak bercerita tentang dirinya. Sementara gadis itu berbicara, aku dan Oppa asyik mendengarkan cerita Hyun Ra.
“Lalu bagaimana denganmu? Apakah sudah mencari pengganti pacarmu seperti di novel ini, Eon?” tanya Hyun Ra tiba-tiba.
            “Mwo? Pacar?” balasku kaget.
            “Iya. Pengganti pacarmu itu. Apa novel ini udah dibaca?”
            “Belum.”
            “Pantas saja, kau terlihat kaget saat kutanyakan itu.”
            “Emang kenapa?”
            “Hmm...kayaknya bukan waktu yang tepat untuk memberitahumu karena kau belum baca. Ah, itu dia dan anaknya datang!” tunjuknya pada seseorang.
Aku melihat tangannya menunjuk pada seorang pria dan gadis kecil yang mungkin baru berumur 4 tahun. Dan betapa mengejutkannya aku saat melihat orang itu muncul lagi di depan mataku. Saking kagetnya, aku tersedak saat mencoba menelan makananku.
            “Uhuk....uhuk...
            “Omona! Kau kenapa Eoni?”
            Kibum Oppa menyodorkan air mineral untukku. Aku menandaskan air itu hingga tak bersisa. “Don’t worry. I’m okay. Oppa, Hyun Ra. Aku ke toilet dulu ya, sebentar. Eh tidak. Mungkin agak lama. Mianhae,” kataku buru-buru saat melihat kakak ipar Hyun Ra itu mendekat.
            Sayang aku terlambat. Baru kakiku ingin berdiri, pria itu sudah di dekat kami dan langsung menyapaku.
            “Hyun Jae-ya!”
            Deg!
            Otomatis dua pasang mata lainnya melihatku dan orang yang memanggilku intens secara bergantian. Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Mata kami bertemu. Dan kalian tahu bagaimana rasanya bertemu kembali dengan orang yang telah menodai cinta tulus kalian? Ada sedikit sesak di dadaku bagai helium yang dipompakan penuh dari mulutku.
            “Kalian saling kenal?” tanya Hyun Ra.
            “Iya, Hyun Ra. Dia...”
            “Tidak. Kami tidak saling kenal,” sergahku memotong kalimat orang itu.
            “Dad...Do you know this girl?” celoteh seorang gadis kecil yang dituntun ayahnya sejak memasuki kafe ini.
            Pria itu diam tak menjawab. Aku menurunkan viewku. Kulihat gadis kecil itu, sangat cantik seperti ibunya. Mata dan hidungnya juga sepertinya merupakan copy-an dari ayahnya. Tapi entah kenapa ada rasa ragu sedikit. Memoriku pun kembali membawaku kepada kenangan itu.
            Gadis kecil itu penasaran. Dia bertanya lagi. Dan seperti tadi, ayahnya tidak menjawab pertanyaannya. Aku yang memang senang sekali dengan anak kecil, menjawab pertanyaan yang belum dijawab itu.
            “Hi, lilttle girl. What is your name?” tanyaku.
            “My name is Alice. So, you know my father?”
            Aku mengangguk kali ini. “Yeah. He’s my close friend,” kataku mengusap kepalanya.
            “Jadi kakak teman ayahku ya? Mengapa tadi bilang tidak kenal?”
            Oh no! Kritis sekali anak ini. Ku jawab asal saja, “Aku dan ayahmu sudah lama tidak bertemu, sayang. Makanya aku agak lupa dengannya. Maaf ya.”
            Ku lirik Kibum Oppa, Hyun Ra dan ayah Alice. Melihat gesturku yang agak gugup menjawab pertanyaan Alice, bisa kutebak mereka menganggapku berbohong.
            Aku mengajak Alice untuk memesan makanan atau minuman yang dia mau. Yang tidak kusangka, dia menurut dan merajuk pada ayahnya agar memperbolehkannya ikut denganku. Setelah ayah Alice mengizinkannya, dia langsung berlari mengajakku memesan es krim coklat kesukaannya.
            Ah! Aku mulai menyukai gadis kecil ini.
---
            Gadis kecil itu mendadak rewel. Sudah lima menit yang lalu, dia mengajak ayahnya pulang. Ah, mungkin dia kelelahan, pikirku. Hyun Ra, Alice dan ayahnya pamit pulang padaku. Sebelum pulang, tiba-tiba gadis kecil itu menghampiriku dan bilang, “Aku pasti senang kalau kakak mau main ke rumahku.”
            Aku mengangguk seadanya. Gadis kecil itu merajuk lagi pada ayahnya agar mereka segera pulang. Alice menuntunku agar aku mau mengantarnya sampai di mobilnya. Aku hanya bisa menuruti permintaan gadis kecil ini. Entah seakan terhipnotis oleh kelucuan anak kecil yang menggemaskan ini atau...
            “Hyun Jae! Kalau kamu ada waktu, temui aku di tempat biasa besok. Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Maaf aku harus pulang sekarang,” pamit pria itu.
            “Aku ikut, Appa! Boleh ya?”
Ayahnya tersenyum. “Tentu sayang. Sekarang, kamu pamit ya sama Kak Hyun Jae.”
“Kakak, aku pulang dulu ya. Besok kita pasti ketemu lagi. See you!”
See you too!” jawabku tersenyum.
“Aku menunggumu di tempat biasa.”
Tubuhku mematung. Tak bergeming. Sampai tak sadar saat mobil hitam itu menjauh.
            “Hyun Jae? Are you okay?”
            “Oppa! Katakan padaku kalau ini mimpi. Aku tadi mimpi kan bertemu Henry? Iya kan, Oppa? Aku hanya mimpi kan?”
            Like a crazy people, that’s like a dream? I’m feel fly in my dream. Oh God!
           
Kibum Oppa tak menjawab, melainkan senyum getir yang berhasil dia tunjukkan padaku. Dia langsung mengantarku pulang.
---
            “I’m sorry.”
            “
What’s for?” tanyaku.
            “Untuk perasaanmu yang sudah tersakiti olehku,” jawabnya.
            Aku mencoba menahan agar butiran bening ini tidak lagi jatuh dihadapan pria ini. Hening. Tak mampu kukeluarkan lagi sepatah kata. Ini hanya membuka memori lamaku tentangnya.
            “Hyun Jae?”
            Aku segera sadar dari lamunanku. “Ah!
Sorry.”
            “Kamu enggak salah. Aku yang salah.”
            “Henry-ssi!”
            “Nde?”
            Aku menghela napas. “Aku minta satu hal darimu,” pintaku memohon.
What do you want?”
“Pergilah dari hidupku! Tolong jangan pernah kembali lagi.”
            Akhirnya kalimat itu berhasil keluar juga dari mulutku. Tanpa menangis!
            “Ta..tapi...”
            “Kita tidak ditakdirkan bersama Oppa! Kau sudah punya isteri dan anak! Ingat itu! Aku tidak ingin aku mengganggu kehidupanmu ataupun sebaliknya!” tegasku.
            “Tidak! Kamu tidak mengerti!”
“Tidak mengerti apanya? Bukankah justru kebalikkannya? Kau yang tidak pernah mengerti aku!” kataku emosi.
“Maafkan aku...” lirihnya.
            “Sudahlah! Aku lelah. Kau juga harus mengajak Alice pulang kan?” tanyaku menunjuk gadis kecil yang masih anteng dengan tabletnya.
            “Alice!” panggilku.
            Gadis kecil itu buru-buru menghampiriku. Matanya mengatakan, “Kakak ada perlu denganku?”
            “Sayang, maafin kakak ya. Kakak belum bisa main ke rumahmu. Oh ya! Kakak titip salam ya buat Hyun Ra Eoni. Oke?”
            “Yaahh! Kenapa emang? Kakak enggak mau main ke rumahku?”
            “Kakak harus pergi ke Jepang sayang. Kakak dipindahtugaskan ke sana.”
            “Pasti lama ya?”
            “Enggak kok, sayang. Hanya dua bulan. Sudah malam. Kita pulang, yuk?” ajakku.
            Alice menurut. Dia langsung ke mobil. Sementara aku menemui ayahnya.
            “Kuharap kau bisa melupakanku,” ujarku lirih.
            Matanya terbelalak, kaget. “Tidak semudah itu, Hyun Jae!”
            “Itu gampang, Oppa. Kita sudah lama terpisah. Dan dengan dua bulan aku pergi, pasti juga akan sangat gampang buatmu untuk melupakanku.”
            “Hyun Jae, maukah kau mendengar penjelasanku sedikit?”
            Aku menggeleng. “Kasihan Alice dan istrimu. Alice pasti kelelahan dan ibunya sibuk menunggunya di rumah. Pulanglah Oppa!”
            “Appa! Aku ngantuk...” rajuk Alice yang terdengar dari mobil.
            “Sebentar sayang. Kamu tidur dulu ya di jok tengah!”
            “Kau dengar? Kasihan anakmu!”
            “Please! Wait for a minute!”
Henry berlari ke mobilnya. Dengan sabar aku menunggunya kembali dari dalam mobil.
“Aku hanya ingin kamu menerima ini,” kata Henry sambil memberiku sebuah surat. “Terserah mau kamu baca atau langsung dibuang ke tong sampah. Aku juga ingin kamu tahu, aku masih mencintaimu,” sambungnya.
“Aku tahu, karena aku kamu menderita. Semoga dengan membenciku, bisa membuatmu lebih baik.”
“Sekali lagi maafkan aku, Hyun Jae!” Pria itu lalu memelukku.
I cann’t to hate you, Henry. No I cann’t!” jerit hatiku.
Henry melepaskan pelukkannya dan dia tersenyum lemah. Tak butuh waktu lama, sosoknya menghilang dari pandanganku.
---
Dua bulan kemudian...
Jepang, September 15th 2012
            “Oppa, kau bisa jemput aku di airport? Pesawatku take off jam lima sore. Ku harap kau bisa datang. Jangan lupa ajak Alice! Bilang padanya aku merindukannya! Oke?” tulisku di pesan singkat.
            Namun seperti tiga hari sebelumnya, dia tidak menjawab smsku. Terakhir dia mengontakku seminggu lalu. Dia berjanji untuk menemuiku saat aku pulang nanti. Tapi dengan tidak terjawabnya smsku itu, aku tak berharap banyak. Mungkin dia masih sibuk dan tak bisa meluangkan sedikit waktunya untukku.
            Ponselku berdering. Kibum Oppa! Omona aku lupa untuk mengabarinya kalau besok aku pulang!
            “Yeoboseyo, Oppa?”
            “Hyun Jae? Kapan kau pulang? Besokkah?”
            “Iya, Oppa. Maaf lupa memberitahumu. Besok kau mau kan ke airport buat jemput aku?”
            “Pasti. Hyun Jae~ah! Kau sedang apa?”
            “Hmmm...menyiapkan keperluan besok. Andai Oppa ikut. Pasti beban bawaanku tidak seberat ini,” kataku mengeluh.
            Kibum Oppa hanya tertawa renyah mendengarnya.
            “Oh, ya. Hyun Jae?”
            “Ne?”
            “Saengil chukkahamnida!”
            “Ulangtahunku besok, Oppa!”
            “Besok aku takut lupa! Hehehe... Lagian aku mau jadi orang pertama yang ngucapin ‘HBD’ buat kamu!”
            Aku tertegun. Temanku yang satu ini memang sangatlah berbeda. Dia yang mengembalikan tawaku saat hampir hilang. Dia yang mengajariku menulis semua uneg-unegku pada sehelai kertas putih dan berhasil membuatku menjadi penulis-walau hanya penulis artikel di majalah lokal. Oppa memang bisa membuatku tenang dengan semua perhatiannya. Tapi mengapa balasku hanya ucapan terima kasih saja? Bahkan aku hampir lupa ulang tahunnya bulan lalu kalau tidak melihat kalender digitalku.
            “Hello? Anybody there? Hyun Jae? Kau masih disitu?”
            “Eh... mianhae Oppa.”
            “Pasti melamun lagi! Hyun Jae, apa besok Henry juga menjemputmu?” tanyanya.
            “Aku nggak tahu. Sudah tiga hari smsku tak dibalasnya.”
            “Oh...mungkin dia sibuk.”
            “Bisa jadi,” balasku tak bersemangat.
            “Ya udah. Kalau gitu, biar nanti kuajak kau untuk bertemu orang yang benar-benar sangat ingin ketemu denganmu. Oke?”
            Mendengarnya, aku penasaran. “Siapa?”
            “Secret! Tidurlah! Ini sudah larut!”
            “Iya, tapi orang itu siapa?”
            “See you tomorrow, Hyun Jae!”
            “Oppa! Wait!”
            Sambungan telepon terputus dari sebrang. Mataku tak bisa kukatupkan karena masih penasaran dengan orang yang dimaksud Kibum Oppa.
---
            FLASHBACK!
            Sampai rumahku, tanganku melejit membuka surat dari Henry. Mataku langsung mengikuti kata demi kata dalam surat itu.

           
Aku mau saat aku tiada nanti, tulisan terakhirku ini ditujukan pada orang yang bernama Lee Hyun Jae.
            Dear Hyun Jae-ssi...
            Sebelumnya aku ingin minta maaf yang sebesar-besarnya padamu, karena aku sudah merusak hubunganmu dengan Henry. Kau tahu? Sejak pertemuan kita untuk yang pertama dan terakhir itu, entah sudah malam yang keberapa kalinya aku menangisimu. Aku tahu, kau pasti sangat membenciku saat itu. Tapi, apa dayaku? Aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa karena sesungguhnya, diam-diam aku juga telah mencintai namjachingumu itu.
            Hatiku sakit saat melihat kemesraanmu dengan Henry. Saking tidak kuatnya aku melihat kalian, aku frustasi dan banyak minum. Sampai suatu ketika petaka itu muncul. Malam itu, saat sedang dalam kondisi tidak sadarnya, aku mengetahui pacarmu juga sedang kacau. Kubuat dia banyak minum agar mabuk sepertiku. Malam itu juga aku yang membawa pacarmu pulang dan memapahnya ke kamar.
            Tak berapa lama sampai dikamarnya, dia mengigau. Dalam igauannya, dia masih menyebut namamu. Kau tahu? Dia sangat mencintaimu. Aku yang mendengarnya menangis tak karuan. Entah setan apa yang mempengaruhiku. Aku menenangkannya dengan berpura-pura jadi dirimu. Dia kembali tenang saat nama ‘Hyun Jae’ kusebut. Melihatnya tenang kembali, aku bergegas pulang. Namun saat itu, dia bangun. Saat melihatku, dia megira bahwa aku adalah dirimu. Karena mabuknya parah, aku diajaknya tidur. Jujur, aku ingin mengelak, tapi cinta buta itu mencegahnya dan akupun menuruti permintaan alam bawah sadarnya.
            Esoknya kau datang dan langsung menuju kamarnya. Kau melihat kami yang hanya berdua di kamar. Aku langsung terbangun kaget, begitupun dengannya. Detik itu juga, kau sangat murka padanya yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
Ada yang ingin kuberitahu padamu. Aku dan Henry sama sekali tidak pernah ‘melakukan’ itu. Kami memang tidur berdua di ranjang yang sama. Tapi kami benar-benar tidak melakukan perbuatan laknat itu. Dia hanya mencium keningku karena waktu itu menganggap diriku adalah dirimu. Aku memang hamil diluar nikah, tapi anak yang ada dalam kandunganku bukanlah anak Henry.
Kalau pernikahanku dengan Henry ini kau anggap sebagai tanggungjawab atas yang telah dilakukan Henry padaku, kau salah besar. Henry menikahiku karena kasihan dengan wanita yang hidupnya sudah tidak akan lama lagi.
            Hyun Jae-ssi, aku tidak berharap kau mau memaafkanku. Tapi pintaku cuma satu. Maafkanlah Henry, karena rusaknya hubunganmu dengannya itu salahku. Di kondisiku yang sekarat karena kanker darah ini, aku juga berharap kau mau untuk menjaga Alice, putriku karena dia masih butuh kasih sayang seorang ibu. Ibu yang memiliki kasih sayang sempurna sepertimu (aku tahu kau orang yang tepat untuk merawat anakku. Bisa kulihat itu dari matamu saat kita bertemu).
            Sekali lagi maaf atas semua kebohongan dan kepura-puraanku yang
mengatakan Alice adalah anaknya Henry. I just wanna say, ‘a good bye’
 
April, 7th 2009
Park Dong Ae
           
Aku masih belum sadar sepenuhnya saat membaca surat itu. Kejadiannya setahun setelah aku tahu Henry dan Dong Ae menikah?!! Kalau aku benar, tanggal surat ini ditulis tiga hari setelah Henry menemuiku untuk yang terakhir kali. Berarti sudah empat tahun surat ini ditulis Dong Ae sebelum dia meninggal.
Mengapa akan terjadi seperti ini?Henry! Berarti selama ini dia memang mau mengatakan yang sebenarnya padaku. Tapi aku tidak mempercayainya karena terlanjur sakit hati. Aiishh! Kejutan apa lagi ini?
           
Kepalaku pening. Kusambar ponselku dan menelepon Henry untuk minta penjelasannya.
“Henry, maukah kau datang ke rumahku dan jelaskan arti surat yang kau berikan tadi? Sekarang!” sambarku tanpa ada lagi kalimat remeh-temeh sapaan yang biasa kuucapkan saat meneleponnya.
            “....”
            “Aku tunggu di rumahku.”
            Sambungan telepon langsung kuputuskan sepihak tanpa memberinya kesempatan untuk bicara.
---
Ting...Tong!
            Orang ku tunggu akhirnya datang. Sebenarnya aku ragu untuk bertemu lagi dengannya. Tapi untuk mencari tahu maksud dari surat itu apa, dengan lehaan napas aku membukakan pintu untuknya.
             “Annyeong...” sapanya.
            Hanya sedikit senyum terpaksa yang berhasil kutunjukkan padanya. Aku mempersilakan dia masuk dan menyuguhkan sekaleng soft drink. Setelah meneguk pelan isinya, tanpa basi-basi aku langsung to the point menanyakan maksud dari surat itu.
            “Tell me, what the meaning of this letter?” tanyaku sambil menunjuk surat yang diberikannya tadi.
            Dia diam saja dan aku sungguh tidak sabar. “Henry-ssi! Please!”
            Setelah menghela napas beratnya, dia berkata, “Ini yang dari dulu ingin ku sampaikan padamu. Tapi kamu selalu menghindariku saat ku coba untuk menemuimu.”
            Aku diam. Dia melanjutkan, “Maafkan aku karena waktu itu aku menyakiti hatimu. Tapi, seperti yang kukatakan tadi, ‘Aku masih sayang kamu.’ Aku tak peduli kalau kamu membenciku. Yang jelas, surat itu adalah surat yang ditulis Dong Ae sesaat dia sudah melahirkan Alice.”
            Air mataku mengalir. Tidak tahu apa sebabnya. Yang jelas, aku menyesal karena memperlakukan pria di depanku ini dengan sikap dinginku. Dia tidak salah! Tapi aku! Karena sikapku kami bertengkar hebat dan insiden itu terjadi.
            “Chagi, I love you,” bisiknya pelan.
            Dia lalu memelukku. Aku sungguh merindukan kenangan manisku dengannya. Aku makin larut dalam tangisku.
            “Don’t cry honey!”
            “Maaf...karena aku, kau menderita, Oppa!” isakku, mengulang perkataannya tadi.
            “Sudah tenanglah. Sudah larut kamu harus tidur. Besok, aku datang lagi!” pamitnya sambil menyium keningku.
            Diusapnya air mataku dengan punggung tangannya. “Aku pulang, ya!”
“Hati-hati, Oppa!” kataku ssembari mengantarnya sampai teras.
Dia tersenyum mengangguk lalu masuk mobilnya dan menghilang dalam kegelapan malam.
---
“Tapi kak, perginya jangan pergi lama-lama,” rajuk Alice.
            “Hei, kakak hanya pergi sebentar sayang. Nanti kakak akan belikan kau oleh-oleh saat pulang nanti,” janjiku.
Mata gadis itu ku tatap intens dan dia sepertinya ragu dengan tatapan mataku.
            “Aku hanya ingin kakak cepat pulang. Aku enggak mau barang yang kakak bawa dari sana!” tangisnya.
            Aku tak tega. Gadis kecil itu lalu ngambek dan langsung mengajak ayahnya pulang.
            “Appa, aku mau pulang! Antarkan aku pulang!”
            Ayahnya melihatku sekilas. Aku mengangguk dan berkata, “Aku pasti kembali untukmu dan Alice, Oppa!”
“Cepatlah kembali! Aku mencintaimu.”
FLASHBACK END
---
Kibum Oppa langsung membantuku membawa tas-tasku saat aku tiba di bandara Incheon. Dia membiarkan aku membawa hadiah yang lima detik lalu diberikannya sebagai kado ulang tahunku yang jatuh pada hari ini. Sembari jalan, aku membuka bungkus hadiah ulangtahunku itu. Senyumku melebar saat tahu dia memberikanku sebuah novel barunya.
            “Aigoo! Novel baru? Gomawo Oppa!” pekikku tertahan.
            “Maaf aku gak bisa ngasih kamu apa-apa. Hanya novel ini yang bisa aku kasih sebagai hadiah ulang tahunmu.”
            “Issshh, kau ini! Ini sudah namanya sudah ngasih hadiah tahu! Lagian kalaupun Oppa enggak memberikanku hadiah, aku sudah cukup senang dengan ucapan ‘HBD’nya kemarin! Makasih ya!”
            “Cheonmayo,” balasnya singkat.
            Aku mengecek ponselku berharap ada tanda-tanda Henry meneleponku. Namun aku harus mendesah kecewa saat ponselku bisu!
            “Kenapa?”
            “Ah, anio!”
            “Aku ada kejutan lain untukmu. Sekalian membuktikan janjiku yang bilang ke kamu kemarin bahwa ada orang yang sangat ingin bertemu denganmu!”
            “Oh iya! Kajja kita pulang!” ucapku sambil berlari menuju mobil Kibum Oppa. Ku lihat Kibum Oppa mendengus kesal saat dia keberataan membawa barang-barangku. Aku yang sudah bertengger di mobilnya hanya bisa mesem.
---
“WELCOMEBACK IN YOUR SWEETY HOME AND SAENGIL CHUKKA HAMNIDA LEE HYUN JAE! WE LOVE YOU!”
Tulisan dalam banner itu terpasang saat aku membuka pintu rumahku. Dan betapa terkejutnya aku saat melihat orang lain yang sedang menunggu kehadiranku.
            “Akhirnya kakak pulang! Aku kangen kakak!!!” teriak gadis kecil yang langsung berlari memelukku.
            “Alice! I miss you honey!” balasku memeluknya.
            “Happy birthday, Eomma!” katanya menciumku.
            “Pardon?”
            “Eomma! Mulai hari ini aku panggil kakak dengan sebutan Eomma!”
            Aku terkejut. “Eomma?” ulangku tak yakin.
            “Iya chagi! I love you! And...”
Kalimatnya terhenti. Lalu dia melanjutkan, “Would you marry me?” tanyanya
            Suara itu terdengar lembut saat sampai di telingaku. Aku menoleh ke sampingku dan pria itu masih berdiri dengan senyum khasnya.
            “Oppa?” tanyaku kaget.
            “Ne chagi~ya?”
            Mulutku terkunci saat dia menatapku intens.
            “Please say, yes Eomma!” Gadis itu berniat berbisik, tapi sepertinya gagal karena kami bertiga mendengarnya jelas.
            Dan itu membuat wajahku memerah.
“Yak! Alice! Jangan kau ganggu ayah dan calon ibumu,” kata Kibum Oppa.
            Kibum Oppa lalu mengajak Alice menjauh dariku dan Henry. Gadis kecil itu tertawa tertahan.
            Melihat keduanya menjauh, Henry mendekatiku dan mengulang pertanyaan yang sama. “So  chagi~ya! Would you marry me?
            Aku mengangguk pasti. “Yes, I would, Oppa!”
Henry memelukku erat dan kami kaget saat suara teriakkan itu terdengar. “Appa! Eomma! Saranghae!” teriak Alice sambil berlari ke arahku dan Henry.
 
END!
Epilog:
“Bagaimana, Eon? Sesuai, kan dengan akhir dalam novel ini?” tanya Hyun Ra setenggah meledekku.
“Iya. Tapi kok, bisa ya?” balasku.
“Ini karena Kibum Oppa selalu mencari tahu di mana kakak iparku. Mereka sering banget bertemu dan membahasmu. Sayang, waktu itu Kibum Oppa melihatmu sangat tidak mau mengingat mantanmu itu. Makanya mereka merahasiakan ini darimu. Mereka juga yang mempersiapkan kejutan ini di hari ulang tahunmu yang lalu,” jelas Hyun Ra panjang lebar.
Pantas saja! Aku yang ingin membaca novel itu selalu dilarang sama Kibum Oppa!
Aku melirik Kibum Oppa yang sedari tadi cengengesan. Dia lalu berpura-pura mengajak Alice untuk main di taman. Ah, aku sebal melihatnya! Aku juga melirik tajam pada suamiku. Tapi akhirnya aku luluh juga saat pria bermata sipit itu berkata, “Chagi~ya! Mianhae. Aku begini karena aku tahu, bahwa kamu benar-benar mencintaiku.”

 

A-I, 6 September 2013