Labels

Thursday 22 August 2013

Terpaksa, Haruskah?

Apa sih terpaksa itu? Tentunya beda dong dengan dipaksa. Terpaksa adalah suatu kegiatan yang kita kerjakan tanpa ada keikhlasan dari hati.

Terpaksa itu memang membuat hati dongkol! Tapi 'terpaksa' harus dibiasakan. Agar sesuatu yang terpaksa itu menjadi anugrah terindah. ^^

Aku pernah baca novel yang sama dengan kasusku: "DIPAKSA UNTUK MEMASUKI SEKOLAH PILIHAN ORANG TUA". Kalian pasti pernah beda pendapat kan dengan orang tua dalam memilih keputusan? Begitupun aku dan novelis A. Fuadi. Aku dipaksa untuk masuk sekolah menengah yang jaraknya lumayan dekat dari rumahku, padahal aku maunya di sekolah yang 'katanya' bagus itu. Sekolah yang memang dari dulu sudah menjadi mimpiku. Sekolah yang benar-benar sangat-ini anganku dulu waktu kelas 9SMP-kuidamkan. Tapi aku harus bangun dari mimpi karena orangtuaku, khususnya ibu, "memaksa"ku untuk tetap mengikuti keinginan hatinya. Ceritapun dimulai....

 Keputusan setengah hatipun kulakukan. Dengan muka berhias senyum palsu dan hati yang ogah-ogahan untuk mengisi formulir online, pikiranku berharap, semoga ini hanya mimpi. Ya... mimpi buruk yang benar-benar nyata. Karena dalam tiga tahun berikutnya, aku harus menjalani ketidaksukaanku pada pilihan ibu.

Terbukti setelah dua tahun belajar di sana, kelasku selalu memiliki banyak masalah. Entah dari perseorangan teman-temanku atau dari aku sendiri. Aku bukanlah tipe pemberontak. Tapi di kelas 11 lalu, aku benar-benar tidak betah. Aku mulai sedikit terpengaruh dengan lingkungan yang lebih banyak dampak negatifnya daripada yang baiknya. Puncaknya, masalah dalam kelas kami adalah saat salah seorang temanku yang mengambil soal dari laptop guru yang untuk UKK.(salah murid, salah guru dong!kenapa dia ninggalin laptopnya gitu aja!)

Bisa kalian bayangkan sendiri, kini di kelas 12 kelas kami seperti dipandang sebelah mata oleh guru-guru kami. Padahal yang berbuat salah adalah orang lain, tapi tetap saja kita yang kena hukuman. Kami harus lakukan apalagi? Marah? Percuma! Nangis? Habis-habisin tenanga! Kini harapku hanya satu, : AKU INGIN SEKALI PINTU KEMANA SAJA MILIK DORAEMON ATAU PEMUTAR WAKTU AGAR CEPAT LULUS DAN MENINGGALKAN SEKOLAH YANG MEMBUATKU FRUSTASI ITU!

Aku juga yakin, aku bisa mengenang masa-masa itu dan akan menceritakannya kembali dengan indah, sama seperti novel NEGERI 5 MENARA!

MAN JADDA WAJADA! :D

A-I, 23 Agustus 2013

Tuesday 13 August 2013

No One Like You

---Orang sepertimu tidak akan dapat kutemui karena tidak ada yang lain selain dirimu yang selalu menemani hari-hariku dan bisa memberikan warna dalam hidupku. Hope you never forget me. 'Cause you always could be special someone in my heart.---Ae Rin

Note    :Fanfic ini adalah lanjutan dari temanku, Rahmalia Febriani yang tidak selesai.
Mungkin ada sedikit perubahan dalam ceritanya. So, Happy Reading my readers!
Cast     : Kim Nana, Ae Rin, Henry Lau, Hangeng.
Genre  : Romance and Friendly.
                                                                                                                                                      
Nana POV

Annyeong. Kim Nana imnida. Aku seorang gadis manja dan ego yang memiliki sahabat yang mampu mengatasi sikap kekanak-kanakku, Ae Rin. Kami bersahabat sejak kecil. Aku beruntung memiliki teman yang mau dan bisa menerima sifat manjaku. Namun, sifat burukku berkurang karena hadirnya seorang pria yang ku cintai diam-diam. Dia teman sekolah Ae Rin. Kami berkenalan sekitar lima bulan yang lalu. Kami bertiga pun semakin akrab. Semakin akrabnya pertemanan kami, semakin dalam ku menaruh hati pada pria itu.
Pagi ini aku bergegas mendatangi namja yang ku cintai, Hangeng Oppa untuk memenuhi janjiku semalam. Bagai mentari yang baru terbit, senyumkupun tak henti-hentinya menghiasi wajah mungilku. Sayang, mood baikku berubah drastis. Ketika ku sampai di taman, tempat Hangeng Oppa menungguku, ku hentikan langkah kakiku karena kaget. Dengan akrab sepasang muda-mudi bercengkrama dengan mesranya. Aku berpikir kalau wanita itu tidak ku kenal aku tidak masalah. Tapi sepasang mataku ini melihat dengan jelas bahwa wanita itu adalah Ae Rin, temanku.
Hatiku terasa sakit seperti dicabik-cabik saat ku tahu orang yang begitu aku percaya bahkan ku anggap dia kakakku, dengan teganya dia mengkhianatiku. Aku kecewa. Sungguh sangat kecewa karenanya.

Nana POV END
 
A-I POV

Tubuh gadis manja itu bergetar menahan amarah. Saking marahnya, dia tak sadar bahwa buku yang dipegangnya jatuh dan menimbulkan suara gaduh.
Dua orang yang dilihatnya tadi pun serentak menoleh ke arah suara berisik itu.
“Nana?” kata mereka serempak.
Namun mereka hanya dapat melihat Nana yang berbalik arah dan menjauh dari tempatnya berdiri.
“Oh, tidak. Dia salah paham!” pekik Ae Rin.
“Salah paham? Apa maksudmu? Kau punya janji juga dengannya? Mengapa dia menjauh?” tanya Hangeng bertubi-tubi.
“Ani.”
“Aku harus mengejarnya,” kata Hangeng sambil mengambil buku Nana yang jatuh.
“Jangan. Biar aku saja. Kau kan masih ada jam kuliah,” sergah Ae Rin.
“Ok. Nanti saja setelah ku pulang dari kampus akan ke rumahnya,” sahutnya singkat.
“Ya. Aku pergi dulu. Maaf ya Oppa.”
Laki-laki itu hanya mengangguk dan berbalik ke kampusnya.

A-I POV END

Ae Rin POV

Aku merasa bersalah. Aku telah menyakiti perasaan temanku, Nana. Insiden tadi terjadi hanya dalam hitungan detik. Andai ada pemutar waktu, tentu ku tak akan melakukan ini pada Nana.
Aku berlari sekencang-kencangnya mengejar Nana. Berusaha menjelaskan yang tadi dilihatnya hanya salah paham.
“Nana, tungguuu!”teriakku.
Tidak direspon! Jangankan menoleh, mendengarku saja tidak. Nana menjadi tuli seketika. Oh, tidak! Ini petaka!
Ku jajarkan langkahku dengan langkahnya. “Nana, dengarkan dulu penjelasanku, ya. Yang tadi tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Kau...”
“Tidak ada yang perlu kau jelaskan padaku. Semuanya jelas! Jadi sekarang, kau biarkan aku sendiri!” Nana memotong kalimatku dan langsung memberhentikan taksi yang lewat.
“Tapi, Na. Aku hanya...”
“Cukup Ae Rin. Tolong, biarkan aku sendiri! Dasar pengkhianat!”
Aku hanya bisa diam dan memandangi taksi yang Nana tumpangi menjauh.
I’m so sorry my best friend...” ucapku lirih.

Ae Rin POV END

Nana POV

Aku menyesal. Aku mengatakannya. Pengkhianat! Ya, kata itulah yang ku lontarkan pada sahabatku. Tapi kini, aku menyakiti hatinya. Menyakitinya karena rasa cemburuku padanya. Ku liat bayangan Ae Rin dari kaca spion. Wajahnya tertunduk lesu. Menandakan dia memang bersalah. Lebih tepatnya aku yang salah paham padanya.
Sampai di rumah, aku mengurung diri di kamar seharian dan hanya keluar bila perutku lapar.

Nana POV END

A-I POV

Besoknya Ae Rin mendatangi Nana di rumahnya. Ditekannya bel dan segera memasang senyum khasnya berharap temannya luluh dan tidak marah lagi dengannya. Dia ingin menjelaskan bahwa kemarin adalah sebuah kesalahpahaman. Ae Rin harap Nana bisa mengerti.
Pintu rumahpun terbuka. Dibaliknya, berdiri sang empunya rumah, Nana. Begitu tahu siapa yang datang, diusirnya tamu itu dari rumahnya.
Pintu kembali ditutup kali ini dengan dibanting. Cukup keras, hingga kusen jendela pun bergetar.

A-I POV END

Nana POV

Aku berlari ke kamarku saat Ae Rin ku usir ketika bertamu ke rumahku. Ada perasaan lega telah mengusirnya. Setidaknya aku telah mengubah mood burukku menjadi sedikit lebih baik.
‘Biarkan saja. Biarkan dia menangis. Biar tahu bagaimana rasanya sakit hati.’
Senyum evil menghiasi wajahku. Namun dalam hati aku tak tega. Masa iya membiarkan teman sebaik Ae Rin menangis. Teman macam apa aku ini? Arrggghh! Ae Rin, jeongmal mianhae!

Nana POV END

Ae Rin POV

Butiran bening itu menghiasi kelopak mataku dan mengalir di pipiku. Ku tatap pintu rumah itu dengan mata sembab. Tidak bergeming! Diam. Aku tidak menyangka Nana akan sekasar itu. Lalu seperti sadar dari mimpiku, ku hapus air mata dan berlari sekencang-kencangnya tanpa arah. Yang dipikiranku hanya satu, mengapa Nana semarah itu? Tak tahukah dia, kalau dia salah paham?
Aku berhenti di taman, yang kebetulan sepi. Tidak ada orang di sini. ‘Akhirnya aku bebas menangis!’
“Aaaaa!!! Kim Nana! Kau jahat! Jaahhaaatt!!! Hiks...”
Aku lega akhirnya aku bisa menangis tanpa ada orang yang memperhatikanku. “Hiks! Nana, aku tahu aku salah. Tapi, tak bisakah kamu tidak mencapku sebagai pengkhianat! Aku benciiii Naaanaa! Hiks.. Hiks...”
“Hey! Bisakah kau diam? Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis! Apalagi kau teriak-teriak mengangguku. Berhentilah!” kata suara dari sebrang dengan volume yang lumayan keras.
Aku melongo. Ku hentikan tangisku dan menoleh ke sumber suara. Oh tidak! Ada orang! Mengapa tadi aku tidak melihatnya? Ah peduli amat.
Ku lanjutkan tangisku dan aku kaget ternyata orang itu berjalan menuju ke arahku. Sekarang dia berdiri di depanku. Aku menunduk tak berani menatap wajahnya. Ku kumpulkan keberaniaanku untuk meminta maaf karena tangisanku telah mengganggunya.
“Maafkan aku. Hiks...Aku tidak tahu kalau ada orang di taman ini. Hiks...,” ujarku.
“Ya sudah tak apa. Kau tidak dengar ya? Aku bilang aku paling tidak suka melihat gadis menangis sendirian!” suara itu masih terdengar sama. Bervolume tinggi.
“Ah, iya iya. Maaf. Hiks...Hiks...”ucapku.
Sapu tangan dijulurkannya ke arahku. “Ini. Hapuslah dan jangan menangis lagi!” laki-laki itu mencoba menghiburku.
Ku terima sapu tangan itu dan ku seka air mataku. Tapi tetap saja, tubuhku masih gemetaran menahan tangis.
“Terima kasih,” ucapku sambil memberanikan diri menatapnya. Ada perasaan aneh ketika ku tatap kedua matanya. Hatiku berdebar saat melihatnya. Ya memang matanya begitu indah.
“Air matamu belum kering. Sorry,” katanya tenang sambil mengusap kedua pipiku yang basah.
Dan saat tangannya menyentuh wajahku, mataku membulat kaget.
“Bagaimana? Merasa lebih baik?” tanyanya.
Aku mengangguk. Entah mengapa hatiku berdebar lebih kencang daripada sebelumnya.
“Henry. Siapa namamu?” katanya memperkenalkan diri.
“Aku Ae Rin,” jawabku singkat.

Ae Rin POV END

Henry POV

Hari yang cerah ini membuatku untuk mencari inspirasi melukis. Sayang, rumah ini terlalu ramai untukku melukis. Mungkin, keluar rumah dan ke tempat sepi itu ide yang bagus.
“Ma! Aku pergi dulu.,”pamitku.
“Mau kemana?” tanya eomaku.
“Refreshing sebentar ke taman.”
“Ya sudah. Hanya ke taman ya?”
“Iya.”
Aku menyambar kunci mobil dan langsung ngacir ke taman. Tak lupa kamera untuk memotret objek yang untuk desaign gambarku.

#SKIP

At Park...

Benar kan dugaanku? Taman ini indah dan aku akan mendapatkan inspirasi melukis. Kesempatan ini langsung ku gunakan dengan mengarahkan kamera ke suatu objek yang menurutku bagus.
Goresan pensilku terus menari-nari di atas kertas putih. Sketsanya sudah ku dapat, tinggal mempolesnya sedikit menjadi gambar yang bagus. Ketika aku sedang fokus mengendalikan pensilku, suara teriak disertai tangisan orang mengganggu konsentrasiku.
Aku masih berusaha tak bergeming dan memusatkan pikiranku untuk gambarku, tapi mendengar suara tangisannya, ada rasa kesal dan iba. Mengapa dia menangis meraung-raung? Yang ku tahu, orang menangis seperti itu tandanya dia punya problem tapi tidak tahu harus bercerita kepada siapa dan bertindak apa. Banyak alasan lain yang memenuhi kepalaku, tapi sekarang ini bukan waktunya mencari jawaban atas pertanyaanku.
Suara itu terdengar lagi. Saking kesalnya, ku bentak si yang punya suara.
“Hey! Bisakah kau diam? Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis! Apalagi kau teriak-teriak mengangguku. Berhentilah!” bentakku.
Hening. Akupun lega dan melanjutkan gambarku. Tapi lima detik kemudian dia menangis lagi. Marah karna dia tidak tahu diri dan membuatku kesal dari tadi, ku tinggalkan gambarku. Aku bangkit dengan hati yang teramat pake sangat dongkol.
Ku lihat dia menyadari kedatanganku. Dia berubah jadi sedikit tenang, tapi tangisnya tidak reda.
Aku memang paling tidak suka melihat orang menangis, terlebih perempuan. Dan sekarang, aku telah berdiri di depat gadis itu. Dia tertunduk.
“Maafkan aku. Hiks...Aku tidak tahu kalau ada orang di taman ini. Hiks...,” katanya lirih.
“Ya sudah tak apa. Kau tidak dengar ya? Aku bilang aku paling tidak suka melihat gadis menangis sendirian!” balasku yang masih kesal.
Tapi begitu melihat wajahnya, aku terkesima. Rasa kesalku berubah menjadi iba.
Ku keluarkan sapu tangan dari saku dan kuberikan padanya.
“Terima kasih,” ucapnya.
Aku seolah bisa membaca kesedihan gadis yang berada di depanku. Kuberanikan diri untuk menghapus air matanya.
“Air matamu belum kering. Sorry,” kataku.
Matanya membulat ketika tanganku mengambil sapu tangan dan mengusap kedua pipinya. Kalau dilihat lebih dekat, dia cantik. Aku baru melihat gadis secantik gadis ini. Aku berkenalan dengannya. Ae Rin, nama gadis ini. Cantik, seperti wajahnya. Aish, apa-apaan sih kau Henry!
Kamipun mengobrol. Dari ceritanya, aku mengerti mengapa dia sesedih tadi. Kesalahpahaman. Faktor utama sebuah ikatan pertemanan meregang.
“Sudah merasa lebih baik?” tanyaku.
“Ne. Gomawo sudah mau mendengarkan ceritaku,”ujar gadis itu tersenyum.

Henry POV END

A-I POV

Senja semakin merangkak. Setelah hatinya sedikit lebih tenang, Ae Rin memutuskan untuk pulang. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Henry, namja yang baru saja dikenalnya, tapi mampu membuatnya nyaman saat menceritakan kejadian tadi pagi.
“Henry-ssi, aku pulang dulu. Gomawo atas waktunya,” pamit Ae Rin.
“Cheonma. Rumahmu di mana, Ae Rin?”
“Tidak jauh dari sini. Hanya butuh sekitar 20menit-an dari taman ini. Wae?” tanya gadis itu.
“Bagaimana kalau ku antar kau pulang? Sekalian agar aku tahu rumahmu,” tawar Henry.
Deg!
Baik sekali, pikir Ae Rin. Yeoja itupun mengiyakannya.
“Apa tidak merepotkan Henry-ssi?
“Tidak. Aku malah senang kalau kau tidak menolak ajakkanku. Aku ambil barang-barangku dulu ya,”katanya tersenyum.
Omona! Pipi chubby-nya mengembang saat dia tersenyum. Gantengnya dia, pikir Ae Rin. Dia terpukau ketampanan namja yang belum 24 jam dikenalnya. Henry menghilang beberapa menit. Menit ketiga dia kembali. Melihat Ae Rin masih duduk, dia mencoba mengajaknya pulang.
“Hey! Kau melamun, Ae Rin-ssi?” Tidak direspon Ae Rin.
Henry bingung. Dia merasa ada yang salah dengan Ae Rin. Namja itu melihat Ae Rin aneh, karena tiba-tiba Ae Rin tersenyum sendiri.
“Yeoboseo! Ada orangkah dihadapanku?” tanya Henry sambil berdiri di hadapan Ae Rin.
Gadis itu terperangah. Henry tertawa melihat ekspresi kaget Ae Rin.
“Yak! Henry-ssi! Kau mengagetkanku!” kesal Ae Rin.
“Kau aneh. Aku tinggal sebentar, kau malah duduk sambil senyum-senyum sendiri. Kau kenapa? Apa yang kau pikirkan?” balas Henry bertubi-tubi.
Ae Rin diam. Dia tidak ingin namja itu tahu kalau dari tadi, dia membayangkan wajah Henry yang imut.
“Aku? Aku.. aku tidak memikirkan apapun,” jawabnya terbata. Gugup!
“Oh, ya ya! Aku tahu. Kau melamunkan aku kan? Hayo ngaku!” ledek Henry.
“Huuu! Sok tau kau, Henry-sii! :P” ledek Ae Rin sambil memeletkan lidahnya.
Ae Rin ingin sekali bilang, Iya Henry-ssi. Aku melamunkan pipimu yang chubby kayak mochi. Tapi itu tidak mungkin. Dia tidak bisa membayangkan jika itu benar-benar dia ucapkan. Rasa malu, pasti menghantuinya sepanjang malam.

#SKIP

At Ae Rin’s house...

“Mau mampir dulu, Henry-ssi?” tawar Ae Rin ketika mobil sudah berhenti di depan rumah Ae Rin.
“Hmm, gak usah. Aku pulang saja. Sudah sore, nanti orang rumah mencariku. Boleh minta nomor telepon?”tanya Henry.
Ada perasaan ragu. Memberikan nomor pribadinya ke orang belum dia kenal lama adalah perbuatan pantang oleh Ae Rin. Tapi itu tidak berlaku sekarang. Dia pikir, Henry berbeda. Dan bisa menjadi teman yang setia mencurakan isi hatinya. Tanpa diminta dua kali Ae Rin memberikan nomornya ke Henry.
Thanks, Ae Rin,” ucap Henry sambil menyimpan dan misscall Ae Rin.
“Ok. Hati-hati ne,” kata Ae Rin.
“Siipp!” lagi-lagi sambil tersenyum dan membuat pipi chubbynya mengembang. Ae Rin turun dari mobilnya. Perlahan mobil Henry menjauh dan hilang dari pandangan Ae Rin.
Ah Henry! Kenapa perasaanku kacau saat bersamamu?! Keluh hatinya melonjak girang.

A-I POV END

Henry POV

At Henry’s home...

“Kau dari mana, sayang?” tanya eoma.
“Dari taman.”
“Dari taman? Kenapa malam baru pulang. Kamu tahu gak? Pergi dari pagi gak ada kabar dan pulang malam,” omel eoma.
“Aku emang tadi ke taman Ma. Aku...”
TRING!!
Ku rogoh kantong celanaku. Ponselku menandakan ada pesan masuk. Ae Rin! Ada apa dia meng-sms-ku? Entahlah. Yang jelas tanganku melejit menekan tombol untuk membuka pesan darinya.
From: Ae Rin
Thanks Henry-ssi. Kau sudah mengantarku pulang tadi.
Ku harap kita berteman baik. Your friend, Ae Rin.
Aku tersenyum. Ku balas: You’re welcome. I hope too. Now, we’re friends. Ok!
Semenit kemudian dia membalas, ^_^ Chingu!
Eoma merasa ada yang aneh denganku karena terus senyum-senyum sendiri saat menerima pesan dari Ae Rin.
“Henry..”
“Ne Mah,” jawabku singkat.
Are you okay? Dari tadi Mama liatin, kamu senyum-senyum sendiri. SMS dari siapa itu? Jangan-jangan yeojachingumu ne?”tanya eoma.
“Ani. She is my new friend. Kami baru aja berkenalan di taman. Dan aku pulang terlambat karena harus mengantarnya pulang juga.”
“Ah, masa? Kayaknya ada hubungan lain kamu sama dia?”ledek eoma.
Aku melirik ke arah eoma yang sekarang tersenyum meledekku. Aku menggeleng malu. “Iya. Kami hanya berteman, kok, Ma.”
“Oh. Ya sudah. Sekarang mandi. Kita makan malam bareng. Mama siapkan ya.”
Aku mengangguk dan berlari ke kamarku.

Henry POV END

Ae Rin POV

Karena lelah seharian menangis di taman, sampai rumah dan setelah makan, aku langsung ke kamar dan langsung tidur. Tapi sebelum tidur ku beranikan diri untuk mengirimkan pesan singkat ke Henry sebagai ucapan terima kasih. Aku senyum-senyum sendiri lagi saat dia membalas SMSku. Ah, rasanya seperti bermimpi. Aku masih tidak percaya, ada orang lain yang masih peduli padaku. Heran? Ya memang. Aku heran pada diriku sendiri karena dengan mudahnya bercerita pada orang yang benar-benar belum ku kenal. Tapi saat menumpahkan unek-unekku tentang Nana pada Henry di taman tadi, rasanya... nyaman. Belum pernah merasa seperti itu ketika berbicara dengan seorang laki-laki. Bahkan dengan Hangeng Oppa pun, aku sungkan untuk bercerita.
Mungkin gak ya, aku bertemu lagi dengan Henry? Semalam suntuk aku gelisah tidak bisa tidur karena Henry. Racun apa yang telah hinggap dikepalaku hingga pening? Entah. Yang jelas. Aku senang dan nyaman saat bersama Henry. Kutulis kisahku bersama Henry dalam buku biru harianku.

Ae Rin POV END

A-I POV

Senyum tidak pernah lepas dan masih terus hinggap di wajah gadis itu saat seminggu setelah berkenalan dengan Henry. Perlahan, Ae Rin bisa melupakan masalahnya dengan sahabatnya lagi. Senyum Ae Rin berkembang ketika hari ini Henry mengajaknya jalan. Sejak kejadian di taman itu, mereka semakin akrab. Dengan segera Ae Rin bersiap-siap dan menunggu Henry di halte dekat taman yang seminggu lalu mereka kunjungi. Tiba-tiba mata Ae Rin melihat sosok yang sangat dikenalinya. Mungkinkah dia bermimpi? Tidak! Sosok itu nyata dan sedang berjalan sendiri sambil melamun tanpa melihat disekelilingnya. Mata Ae Rin masih mengamati sosok itu. Dia sampai tidak sadar kalau Henry sudah disampingnya sekitar 3 detik yang lalu.
“Hi, Ae Rin!” sapaan itu membuat Ae Rin kaget.
“Yak! Henry-ssi! Kau selalu membuatku kaget!”balas Ae Rin.
Henry tertawa.
“Salah sendiri, kau yang melamun. Sedang lihat apa?” tanya Henry.
“Ah, enggak. Bukan apa-apa.”
“Oh. Ayo naik, kita pergi sekarang!”
“Iya. Ta.. tapi. Oh celaka! Kau tunggu di sini, Henry-ssi!” ujar Ae Rin panik.
Henry kaget karena Ae Rin malah berlari ke sebrang jalan. “Kau mau kemana?” teriaknya.
Ae Rin tidak menoleh. Henry yang sadar ada mobil yang melaju kencang hanya bisa berteriak, “Ae Rin-ah!!” Terlambat. Gadis itu terpental beberapa meter setelah mobil itu menabraknya. Tapi Ae Rin berhasil mendorong tubuh seseorang yang sedari tadi dia perhatikan di halte. Henry berlari ke arah Ae Rin yang tergeletak lemah. Darah segar mengalir dari kepalanya. Orang yang berhasil selamat dari tabrakkan itu menangis keras saat tahu yang mendorong tubuhnya tadi adalah Ae Rin. Masih dalam pandangan tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi, tangan orang itu memangku kepala Ae Rin yang masih mengeluarkan darah.
Dengan cekatan, Henry-dibantu orang yang selamat karena didorong Ae Rin tentunya- membawa Ae Rin ke rumah sakit. Dalam perjalanan, orang itu terus menangis dan memangil nama Ae Rin agar dia segera bangun. Henry mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang ada dipikirannya sekarang adalah Ae Rin harus sampai di rumah sakit agar dia tidak kehabisan darah.
“Dokter! Suster! Tolong temanku! Dia korban tabrak lari!” teriak orang itu ketika mereka tiba di rumah sakit.
Henry tertegun. Teman Ae Rin? Apakah dia Nana?tanyanya dalam hati. Dia kembali tersadar saat tubuh Ae Rin dibawa oleh para perawat untuk segera ditangani dokter.
“Maaf, kalian tidak boleh masuk. Silakan menunggu di luar,” ucap salah seorang suster saat tubuh Ae Rin di bawa masuk ke ruang perawatan.
“Tapi.. Ah, tolong selamatkan nyawa temanku!”
“Akan kami usahakan. Silakan menunggu di luar. Akan kami kabari nanti.”
Orang itu hanya bisa pasrah dan kembali menangis. Dia tidak bisa tenang sampai akhirnya tangannya merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ditekannya nomor seseorang.
“Oppa.. Ae Rin! Dia korban tabrak lari. Ae Rin menyelamatkanku dari mobil maut itu. Aku? Di rumah sakit X. Iya, Oppa aku tunggu,”ucapnya lirih.
Klik sambungan diputus.
Henry hanya bisa tertunduk saat ini. Semua ini salahku. Kalau saja aku mencegahnya dia lari, pasti kejadiannya tidak seperti ini, jerit hatinya.
“Nana, bagaimana keadaan Ae Rin sekarang?” tanya seorang laki-laki.
Nana hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menangis tanda ia tidak tahu.
“Sabar, Nana. Aku yakin, dia bisa bertahan,” ujar si laki-laki sambil memeluk Nana.

A-I POV END

Nana POV

Aku berutang nyawa pada orang yang kuanggap si pengkhianat itu. Ya... Aku berutang nyawa pada Ae Rin, sahabatku sendiri. Aku menyesal sudah menganggapnya pengkhianat gara-gara dia sedang asyik ngobrol dengan Hangeng Oppa. Pantaskah aku menyebut diriku sahabatnya? Rasanya tidak! Oh my God, Please help her!I never forgive me if something bad happen with my best friend!
Aku menangis tiada henti. Hangeng Oppa berusaha menghiburku. Gagal. Air mata masih terus mengalir dari kedua kelopak mataku.
“Sorry ganggu. Kamu Nana temannya Ae Rin?” tanya seorang pria.
Aku dan Hangeng Oppa kompak mengangkat kepala sambi melihat intens si pria itu, lalu mengangguk.
“Iya, aku temannya Ae Rin,” ucapku lirih.
“Aku tidak menyangka, Ae Rin melakukan ini sampai rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan orang yang sudah menganggapnya pengkhianat hanya karena orang itu salah paham dengan Ae Rin.”
Mataku tercengang saat dia berkata seperti itu padaku. Telingaku panas mendengarnya. Ingin sekali kubekap mulut lelaki itu. Tapi kata-kata yang dia ucapkan memang benar. Dan aku mengakui bahwa tindakanku salah besar.
“Jika aku jadi Ae Rin, mungkin aku tidak akan menolongmu saat itu karena untuk apa menolong orang yang sudah tidak menganggap kita sebagai sahabatnya lagi. Hanya akan merugikan diri sendiri.”
Pedas sekali kata-kata yang dikeluarkannya. Sebenarnya lelaki ini siapanya Ae Rin, sih? Hatiku dongkol mendengarnya.
“Kau sebenarnya siapa sih? Aku memang pernah marah sama Ae Rin karena keegoisanku. Tapi aku masih menganggapnya sahabat dan...”
“Pengkhianat. Itu kan yang ingin kamu ucapkan? Nana, seharusnya kau bisa merubah sikapmu itu. Jika masih menganggap Ae Rin pengkhianat dan bukan lagi sahabatmu, tolong, jauhi Ae Rin! Jangan sampai membuatnya menderita.”
Air mataku jatuh lagi saat mendengar tuturan dari mulut lelaki tadi.
“Maaf, tuan. Tolong tinggalkan kami berdua. Aku tahu kau tidak suka dengan sikapnya Nana, tapi mohon pengertiannya karena sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat,” Hangeng Oppa membelaku.
Mata pria itu menatap tajam Hangeng Oppa dan dia mengangguk tanda mengerti.
Sementara aku, ditemani Hangeng Oppa, menunggu di luar dengan harap-harap cemas. Berharap Ae Rin masih bisa diselamatkan. Dan dalam hati aku berjanji untuk merubah sikapku dan meminta maaf atas kesalahanku pada Ae Rin.

#SKIP

Sosok berpakaian putih itu akhirnya keluar juga. Aku dan Hangeng Oppa bergegas menghampiri dokter itu. Tapi, langkah kami didahului oleh pria yang telah mengeluarkan kata-kata pedasnya tentang sikapku pada Ae Rin.

Nana POV END

Henry POV

“Bagaimana keadaannya, dok?” tanyaku berbarengan dengan orang yang baru ku tahu namanya.
Dan dia adalah Kim Nana, teman Ae Rin yang sudah mengecap Ae Rin pengkhianat. Kami berpandangan sekilas, lalu seolah membuang muka, ku alihkan pandanganku ke dokter yang memeriksa Ae Rin.
Dokter menghela napas panjang. Dia menggeleng. Aku panik. Pasti ada sesuatu hal buruk yang terjadi pada Ae Rin.
“Teman kalian...” kata dokter menggantungkan pembicaraan.
“Ae Rin kenapa, Dok? Tidak ada hal buruk yang menimpanya, kan?” tanyaku.
“Ada. Dia berhasil kami selamatkan. Hanya saja..”
“Dokter, tolong jangan setengah-setengah membertitahukannya,” sergah Nana.
Aku menoleh ke arah Nana. Wajahnya panik. Ah! Dia panik karena pasti merasa bersalah bukan karena menganggap Ae Rin sahabatnya,pikirku.
“Ae Rin berhasil melewati masa kritisnya. Hanya saja karena benturan di kepala yang cukup keras membuatnya dia sedikit amnesia. Dia lupa dengan kejadian yang baru menimpanya. Tapi sewaktu dalam penanganan kami, dia mengigau dengan menyebut nama seseorang. Adakah diantara kalian yang bernama Henry Lau?”
“Saya, dok.”
“Ok, Henry. Kuharap kamu bisa membantu mengembalikan ingatan Ae Rin. Dia juga sudah siuman, dan kalian boleh menjenguknya. Tapi jangan langsung diajak ngobrol panjang atau apapun itu yang akan membuatnya berpikir keras untuk mengingat sesuatu. Saya permisi dulu,” jelas dokter panjang lebar.
“Iya dokter. Terima kasih,” kataku sembari masuk ke kamar di mana Ae Rin dirawat.

At Ae Rin’s room...

Perlahan gagang pintu ku putar pelan. Aku, Nana dan pria yang terus disamping Nana masuk dengan sangat hati-hati agar tidak menganggu Ae Rin. Ae Rin menoleh ke arah kami dan dia tersenyum.
“Henry-ssi...” panggilnya pelan.
“Ne, Ae Rin. You fine?” tanyaku sambil duduk di sebelah ranjangnya.
Of course. But, can you tell me about this?”balasnya sambil menunjuk ke kepala.
Aku mengangguk. “Yeah. Tapi nanti ketika kau sudah sembuh.”
Mata Ae Rin berbinar. Dia lalu menoleh ke arah Nana yang sedang menangis dan pria tadi. Keningnya berkerut, mencoba mengingat sesuatu.
“Apa aku kenal denganmu?” tanya Ae Rin ke Nana.
Nana diam tak menjawab. Dia masih menangis. Ae Rin mencoba mencari jawabannya dengan menatapku.
“Henry-ssi, apa aku mengenal mereka?”
Aku bingung tidak tahu harus menjawab apa.
“Hmm... Tidak.”
“Masa sih? Sepertinya aku mengenal mereka. Wajahnya sungguh tidak asing. Tapi siapa, ya?” Ae Rin mencoba mengingat-ngingat.
“Aaa! Kepalaku! Kepalaku sakit. Henry-ssi, jebal?!”
Ae Rin berteriak-teriak kesakitan minta tolong. Aku panik. Pria yang bersama Nana langsung memanggil dokter yang tadi menangani Ae Rin. Aku dibantu Nana mencoba menenangkan Ae Rin. Entah karena kesakitan atau ada hal lain yang membuat dia histeris, terlebih saat dia melihat Nana. Ae Rin lalu pingsan karena saking kelelahan mengerang menahan sakitnya.

Henry POV END

A-I POV

“Bagaimana keadaan Ae Rin, dok?”
“Ada sesuatu yang membuatnya memaksa untuk mengingat semua kejadian yang dia alami. Jika dalam waktu dekat ini saraf otaknya stabil dan tidak mengegang karena akibat kecelakaan 10 jam yang lalu, dia akan segera pulih dan cepat untuk mengembalikan pikirannya,” jelas dokter panjang lebar.
Henry, Nana dan Hangeng menghela napas lega. Tapi tentu saja, rasa cemas masih meliputi ketiganya.
“Sayangnya, setelah saya periksa tadi, Ae Rin masih harus banyak istirahat dan kalian tidak boleh membawakan sesuatu yang memaksa dia untuk mengingat banyak.”
Tiga orang yang sedang duduk di depan dokter tercengang. Mereka saling pandang satu sama lain.
“Maksudnya?” tanya mereka kompak.
“Dalam seminggu ini, jangan beritahu dia apa yang sebenarnya terjadi pada Ae Rin. Oh, ya. Untuk menjaga agar sarafnya tidak menegang seperti tadi, usahakan agar Ae Rin tidak bertemu dengan orang yang benar-benar dikenalnya atau kenangan buruk tentang orang-orang yang dikenalnya.”
“Maksud dokter ada sesuatu yang menganggunya. Dan memori yang bisa menyebabkan saraf Ae Rin kembali tegang adalah kenangan buruk yang sudah lama membekas dalam ingatannya?” tanya Henry.
Dokter hanya bisa mengangguk lemah. Henry melirik ke arah Nana dan Hangeng. Nana menitikan air matanya karena dia tahu, Ae Rin seperti ini karena dirinya.

#SKIP

Seminggu kemudian....

“Henry-ssi. Kapan ya aku bisa pulang? Aku nggak betah di sini,” ucap Ae Rin lirih.
“Hmm.. aku nggak tau. Yang jelas, kau harus segera sembuh dulu baru bisa pulang,” jawab Henry sekenanya.
Ae Rin terdiam sedih. Bukan itu jawaban yang diinginkannya.
“Ae Rin, kau kenapa?”
“Aku sedih Henry-ssi. Aku gak bisa mengingat apapun. Kecuali orangtuaku yang ada di Jepang dan dirimu. Aku merasa aku mempunyai teman selain dirimu. Tapi kenapa aku gak bisa mengingatnya, ya?”
“Aku tau kenapa kau hanya mengingatku. Kau juga pasti tau hal itu.” Henry tersenyum nakal pada Ae Rin.
“Emangnya apa? Kok, aku nggak tau tuh?” tanya gadis itu sambil menatap Henry.
“Masa sih, gak tau.”
“Yee, emang bener. Aku nggak tau yang kau maksud. Emangnya apa?”
“Pipi chubbyku. Ya, kan?” kata Henry setengah meledek.
Sontak saja wajah gadis yang terbaring lemah itu kaget. Lalu tersenyum dengan pipi memerah.

A-I POV END

Ae Rin POV

Sudah seminggu ini aku masih tidak bisa mengingat apapun kecuali memoriku dengan Henry dan masa kecilku sewaktu tinggal di Jepang. Aku juga gak bisa percaya kalau aku jadi korban tabrak lari yang membuatku harus dirawat dengan luka di kepala dan membuatku sedikit amnesia. Sedikit? Itu kata dokter. Bagiku, amnesia yang kualami sungguhlah parah dan sangat menyiksaku. Aku bosan dan benar-benar ingin pulang. Apalagi setelah orangtuaku kembali ke Jepang karena urusan dinas mereka.
“Henry-ssi. Kapan ya aku bisa pulang? Aku nggak betah di sini,” ucapku lirih.
“Hmm.. aku nggak tau. Yang jelas, kau harus segera sembuh dulu baru bisa pulang,” jawab Henry sekenanya
Ah, alasan itu terus yang diberikan Henry. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku sekarang.
“Ae Rin, kau kenapa?”
“Aku sedih Henry-ssi. Aku gak bisa mengingat apapun. Kecuali orangtuaku yang ada di Jepang dan dirimu. Aku merasa aku mempunyai teman selain dirimu. Tapi kenapa aku gak bisa mengingatnya, ya?”
“Aku tau kenapa kau hanya mengingatku. Kau juga pasti tau hal itu.” Henry tersenyum nakal padaku.
“Emangnya apa? Kok, aku nggak tau tuh?” tanyaku sambil menatap Henry.
“Masa sih, gak tau.”
“Yee, emang bener. Aku nggak tau yang kau maksud. Emangnya apa?”
“Pipi chubbyku. Ya, kan?” kata Henry setengah meledek.
Aku kaget mendengarnya. Mengapa dia bisa berpikiran seperti itu? Henry menatapku intens. Aaah! Aku sampai tidak berani menatapnya. Karena malu, kualihkan pandanganku ke luar jendela di samping tempat tidurku.
“Ae Rin-ah...”panggil Henry.
“Ne,” jawabku singkat tapi tetap melihat pemandangan di luar jendela.
“Liat aku,”
Aku masih tidak berani menatapnya. Dan tanpa kuduga Henry menutupi pemandangan di luar dengan tubuhnya. Dia duduk di dekatku. Ku beranikan diri menatapnya. Hasilnya? Salting dan... yah begitulah.
“Kau nampak kikuk Ae Rin? Wae?” tanya Henry.
Napasku tercekat. “Hmm... anio.”
“Ae Rin. I’m so sorry.”
Aneh. “Untuk apa?”
Henry diam. Dia menghela napas.
“Karena aku membaca ini,” jawab Henry sambil menunjuk buku kecil berwarna biru. Buku yang tidak asing bagiku. Tapi aku lupa itu buku apa dan punya siapa. Apakah itu punyaku? Entah aku tidak tahu. Aku menatap Henry bingung. Dan Henry bisa membaca pikiranku.
“Buku siapa? Bukuku kah itu?” tanyaku pada Henry.
Henry mengangguk dan mengembalikan buku itu padaku. Aku membacanya. Dan ternyata memang benar, buku itu buku catatan harianku. Ada sedikit rasa kesal ketika tahu Henry dengan lancangnya membaca buku itu. Tapi amarahku padam saat dia bilang, “Aku hanya ingin tau banyak tentangmu. Siapa tau, dalam buku itu ada hal yang bisa mengembalikan ingatanmu.”
“Tapi...”
“Kau boleh marah karena itu.”
“Aishh! Bukan itu.”
“Lalu?”
“Mengapa kau mau membantuku?”tanyaku.
Henry diam. “Tapi, terima kasih sudah membantuku mengingat dan berusaha mengembalikan memoriku,”lanjutku.
Henry masih diam. Dan aku masih bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah.

Ae Rin POV END

Henry POV

Pasti Ae Rin akan marah. Dan aku harus terima itu. Biarlah dia marah karena aku sudah membaca buku diarynya. Tapi yang ku dapatkan adalah dia tidak marah seperti yang ku khawatirkan. Dia hanya berkata, “Mengapa kau mau membantuku?”tanyanya. Ingin seketika aku bilang, ‘Karena aku mencintaimu.’ Aku tahu mungkin terlalu cepat. Namun, ini adalah momen yang tepat dan semoga Ae Rin juga mau menerima perasaanku. Pede sekali kau Henry!Kalau Ae Rin tidak sehati denganmu bagaimana?tanya hatiku. Ah, peduli amat! Toh aku bisa melihat sepertinya Ae Rin juga menyukaiku. Memang sih bukan sebagai pacar tapi teman. Hiks! Aku menggalau!
L
“Hello Henry-ssi?” Aku tersadar saat Ae Rin menepuk pelan tanganku.
“Eh..” Respon yang tidak bagus.
“Yak! Kau melamun dan tidak mendengarkan ceritaku dari tadi? Sungguh jahat sekali kau!”
“Hmm.. hm... Mianhae. Emang tadi kau cerita apa?” tanyaku terbata.
“Sepertinya aku sudah mulai bisa mengingat sesuatu. Tapi masih sedikit karena kepalaku suka sakit saat mencoba mengingatnya. Ah, Henry-ssi! Apa kau kenal Nana dan Hangeng? Apa aku juga mengenalnya? Jebal, bantu aku mengingat! Karena aku yakin mereka itu orang terdekatku dulu. Hiks... siapa sebenarnya mereka? Aku benci memoriku yang tidak bisa mengingat. Hiks,” Ae Rin melemparkan buku kecil itu ke luar jendela lalu terisak.
“Ae Rin-ah...” panggilku lirih sambil memeluknya erat. Mencoba menenangkan emosinya. Dia makin larut dalam tangisnya.
“Hiks...Henry, bantu aku. Hiks...Sungguh aku tidak suka dengan keadaanku sekarang,” ujar Ae Rin sambil menangis.
Aku tidak tega dan merasa iba. Sekarang memang benar-benar pasti. Aku memang mencintai Ae Rin
“Aku yakin kau bisa mengingat semuanya Ae Rin. Aku akan membantumu mengembalikan ingatanmu. Aku janji,” ucapku lirih sambil melepaskan pelukan kami.
Ku hapus air matanya dengan punggung tanganku. Ae Rin sedikit bisa tersenyum. “Gomawo.”

#SKIP

Sudah dua bulan Ae Rin masih betah untuk menginap di rumah sakit. Ingatannya masih belum pulih, tapi dia masih berusaha untuk mengembalikan ingatannya. Setidaknya dia sedikit lebih ceria dibandingkan seminggu setelah dia kecelakaan dua bulan lalu.
“Kau mau mencoba mengingat lagi, Ae Rin?” tanyaku.
“Iya. Semoga yang ini aku bisa mengingatnya,” jawabnya.
Hampir sejam aku mencoba melatih Ae Rin untuk mengingat. Hasilnya? NOL BESAR! Dia tidak mampu mengingat apapun kecuali aku dan orangtuanya. Padahal sudah berulang-ulang dia membaca buku biru yang dulu menjadi temannya yang pernah dia lemparkan ke luar jendela. Dia frustasi.
“Aku lelah terus-menerus begini. Huuuftt!”
“Jangan menyerah Ae Rin! aku tau kau pasti bisa. Fighting!
Ae Rin tersenyum. Manis seperti dulu waktu pertama kali aku bertemu dengannya di taman.
“Akan ku coba lagi,” katanya sambil membaca buku biru itu.

Henry POV END

A-I POV

September, bulan indah di tahun ini-menurut author lho ini-kini menjadi anugrah terindah untuk Ae Rin. Dua minggu lalu, Ae Rin diperbolehkan pulang. Dan kini, sedikit demi sedikit dia bisa mengingat kejadian yang menyebabkan dia amnesia.
“Coba ulangi!” perintah Henry.
“Hmm, saat itu di halte ini aku sedang menunggumu yang mau mengajakku jalan. Karena kau belum datang, ku alihkan pandangan ke taman itu waktu kita pertama kali bertemu. Saat itu aku melihat seorang gadis yang ku kenal, dulu kalau sekarang aku lupa. Hehehe. Gadis itu berjalan di sebrang jalan itu sambil melamun dan dia tidak menyadari ada mobil di belakangnya yang melaju kencang. Kemudian aku berlari ke sana untuk mendorong tubuhnya. Untungnya, dia selamat. Dan sialnya, aku jadi amnesia,” jelas  Ae Rin panjang lebar sambil tersenyum.
Henry yang sedari tadi duduk di kursi halte tempat Ae Rin menunggunya dulu mendengarkan dengan intens. Dia nampak puas dengan kemajuan mengingat gadis yang berdiri di depannya. Gadis yang bisa membuatnya jatuh hati. Gadis yang sangat dicintai dan disayanginya. Tapi bukan sebagai sahabat melainkan sebagai kekasihnya.
Ae Rin ikut duduk di samping Henry. Sambil membaca buku biru catatannya, dia berharap agar Henry tidak berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya yang menulis sosok Henry dalam buku biru itu karena tentu saja akan membuatnya malu. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.
“Ae Rin~ah!” panggil Henry.
Ae Rin menoleh. Matanya menatap lekat-lekat pria yang sudah banyak membantunya.
“Ada yang ingin ku sampaikan padamu.” Menggantung.
“Ne?”
“Seharusnya sudah ku katakan sewaktu aku ingin mengajakmu jalan tiga bulan yang lalu. Tapi karena insiden kecelakaan itu baru sekarang aku bisa mengungkapkannya.”
Ae Rin menutup bukunya. Dia makin penasaran. “Ada apa sebenarnya?”
Henry menghela napas. Inilah saatnya, Henry!ucap hatinya. Dia menoleh ke Ae Rin dan berkata, “Aku... Aku mencintaimu, Ae Rin.”
Ae Rin ternganga. Ae Rin pikir Henry pasti bercanda. Matanya masih menatap Henry menunggu kalimat yang akan diucapkan Henry selanjutnya walau sebenarnya dia sudah tahu Henry mau bilang apa. ‘Aku bercanda ding.’ Sayangnya, dia salah besar.
“Saat pertama kali bertemu denganmu di taman itu, memang aku merasa kesal karena suara tangismu yang mengangguku. Tapi setelah aku tau banyak tentangmu aku merasakan ada sesuatu yang lain. Aku sadar perasaan itu hanyalah euforia sesaat. Sayangnya aku salah besar. Dan aku benar-benar sayang dan sangat mencintaimu. Mungkin itu lebay. Tapi itulah perasaanku sekarang. Ae Rin...”
Ae Rin masih mematung. Henry melanjutkan, “Maukah kau jadi yeojachinguku?”

A-I POV END

Ae Rin POV

“Maukah kau jadi yeojachinguku?” pertanyaan itu terlontar dari mulut Henry, pria yang sering muncul dimimpi dan alam nyataku.
Aku bingung. Aku memang menyukai Henry. Kukira Henry hanya menganggapku sebagai teman. Dan omongannya tadi hanya sebuah candaan. Tapi ternyata...
“Kau boleh untuk mengatakan, ‘Tidak’ Ae Rin. Janganlah takut. Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku padamu. Aku juga tidak memaksamu untuk jadi pacarku. Tapi aku butuh jawabanmu sekarang. Please! ‘Cause I cann’t doing something without your answer.”
Aku mengalihkan pandangan saat Henry selesai dengan ucapannya.
“Ae Rin... Please!” Henry meminta sekali lagi.
Aku kembali melihat matanya. Sekarang dia memang benar-benar serius. Matanya tidak terlihat kalau sekarang dia sedang bercanda. Mukanya lumayan panik menanti jawabanku. Akupun geli melihatnya. Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku. “Nado, saranghae.” Henry mendesah lega. Dia memelukku.
So?
“Kau harus panggil aku Oppa.”
Aku tertawa. “Kalau aku tidak mau?”
“Kau boleh panggil aku My lovely.”
“Anio,” ucapku menggelengkan kepala.
“Lalu?”
My handsome mochi.”
Henry kesal. Dia tidak setuju aku memanggilnya dengan sebutan kue itu. Aku tertawa keras saat dia bersungut-sungut karena mendengar penjelasanku, “Nama itu terinspirasi dari kedua pipimu yang tembem kayak MOCHI.”
Henry semakin kesal dan memanyunkan bibirnya. Semakin ke depan, semakin tawaku meledak.

#SKIP

Setahun sudah aku resmi menjadi pacarnya Henry. Dan selama itu pula aku sudah berhasil untuk meningat sebagian besar memori masa laluku. Sekarang permasalahannya adalah aku masih belum tahu siapa gadis yang ku tolong dan orang yang bernama Nana dan Hangeng.
Pagi ini, aku dan Henry sibuk membersihkan rumahku. Karena ini hari Minggu dan Henry sedang libur kuliah, dia bersedia membantuku membersihkan rumah yang keadaannya sudah seperti kapal pecah. Henry hanya bisa menggelengkan kepala saat membersihkan rumahku yang berantakkannya minta ampun.
“Ae Rin~ah! Tak bisakah kau merawat rumahmu sendiri?” tanyanya.
Aku menggeleng. Sebenarnya rumahku berantakkan bukan karena aku malas. Tapi karena waktu itu aku terlalu memforsir diriku agar bisa mengingat kembali dalam satu tahun. Karena sering merasakan sakit di kepala, aku suka tidak bisa mengendalikan emosiku dan ku obrak-abrikkan seluruh isi benda yang ada di rumahku. Itu ku lakukan jika Henry masih kuliah dan dua hari tidak datang ke rumahku.
Aku rasa,di luar kamarku keadaannya jauh lebih baik daripada di dalam kamarku. Setelah selesai merapikan dan membersihkan rumah, Henry menawarkan untuk membantuku membersihkan kamar. Tapi aku menolaknya dan menyuruhnya untuk makan. Henry tidak mau sampai seluruh bagian di rumahku bersih total.
Dan inilah reaksi Henry saat melihat kamarku,
“Omona! Ini kamar yeoja atau kapal pecah?”
Dia melirikku. Aku hanya cengar-cengir melihatnya.
“Sudah ku bilang, mending tidak usah membersihkan tempat ini. Lagian aku tidak suka tidur di sini. Aku lebih suka tidur di kamar orangtuaku,” kataku membela diri.
Henry gemas sambil mengacak-ngacak rambutku. Dengan nada pasrah akhirnya dia berkata, “Aku tidak yakin sekarang aku ada di kamar seorang gadis. Tempat ini cocok dipanggil gudang bukan kamar. Pokoknya habis ini, kau harus menyiapkan banyak makanan.”
Tawaku meledak. Henry dengan cekatan merapikan kamarku. Aku ikut membantunya. Malu sih, karena tanggapan buruk yang dilontarkan sesorang tentang kamar sendiri. Apalagi yang sekarang mengomentari kamarku ini adalah pacarku sendiri. Namun nampaknya Henry tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena dia tahu, pasti dulunya kamarku tidak seburuk ini.

Ae Rin POV END

Henry POV

Aku merebahkan diriku di atas sofa biru ini. Ah! Lelah juga setelah seharian penuh membantu Ae Rin membersihkan rumahnya. Syukurlah saat ini semuanya sudah selesai. Hufft! Kegiatan ini lumayan membuat badanku pegal-pegal. Kusumpalkan headset di telinga sembari ku pejamkan kedua mataku sebentar. Lagu jazz yang mengalir lembut membuatku sedikit melupakan rasa lelahku.
Mataku berair karna mengantuk. Niatku yang hanya tidur ayan, tapi malah keasyikkan untuk melanjutkan mimpiku sore ini.
Aku terbangun saat Ae Rin membelai pipiku.
“Oppa, bangun!”
“Hmmm...” ucapku singkat.
“Oppa...!” Ae Rin masih mencoba membangunkanku.
“Ne?”  suaraku sedikit parau.
“Mandilah dan segera makan. Kau nampak lelah setelah membantuku membersihkan rumah.”
Bukannya bangun, tapi aku malah kembali mengatupkan mataku.
“Oppaa! Bangun!!”
“Anio.”
“Isssh, kau ini. Perlukah aku bawakan air ke sini dan menyirammu agar segera bangun?”
Aku mengangguk. Ae Rin frustasi.
“Yak! Tunggulah! Aku ambilkan sekarang.”
Aku memeletkan lidah. “Nggak masalah, kamu pasti gak bakal tega menyiramku dengan air,kan?”
“Aku menyerah,” kata Ae Rin akhirnya.
Dia beranjak pergi meninggalkan diriku di sofa. Tapi dengan sigap aku menahan langkahnya. Dia menoleh, “Ada apa? Kau lapar dan mau makan kan, Oppa?”
Aku menggeleng dan menariknya agar duduk kembali.
“Terus kau mau apa?” tanyanya.
Aku menatap wajah dan matanya. Masih seperti dulu. Perlahan aku menarik tubuhnya dalam pelukanku dan berbisik, “Menjadi milikmu seutuhnya. Ae Rin, jeongmal saranghae.”

Henry POV END

A-I POV

Gadis itu memejamkan matanya saat merasakan kehangatan dari tubuh Henry. Entah mengapa ada sedikit perasaan tentram dan damai di hatinya. Tiba-tiba, Ae Rin merasakan sakit di kepalanya. Seolah-olah, dia bisa melihat kejadian yang sama dulu saat seseorang memeluknya erat seperi Henry sekarang. Dia juga melihat wajah seorang perempuan yang ditolongnya di jalan. Wajahnya sama seperti perempuan yang menjenguknya dulu. Lalu Ae Rin juga ingat, dia pernah memberikan jam tangan kepada perempuan itu. Siapa namanya? Ah, Ae Rin lupa! Dia mengerang pelan, berharap Henry tak mengetahuinya. Tapi makin lama kepalanya serasa pusing. Dunia seperti berputar cepat. Karena tidak kuat, gadis itupun pingsan.

#SKIP

Ae Rin terbangun saat seorang gadis membelai rambutnya dengan lembut. Dia mengerjapkan kedua matanya, berharap bisa melihat orang itu dengan jelas. Keningnya masih berkerut mencoba mengingat-ngingat. Dia yakin, orang yang ada di sampingnya kini adalah orang yang sama dalam bayangannya tadi dan juga orang yang berhasil dia selamatkan dulu.

A-I POV END

Nana POV

Seharian ini aku tidak bisa berhenti menangis. Hangeng Oppa selalu berusaha menbujukku agar tenang, tapi nihil. Mataku masih tetap menatap Ae Rin. Ah, sahabatku yang dulu sangat baik dan selalu pengertian dengan sikapnya yang mandiri kini terbaring lemah di kamar tidurnya. Mungkin sudah sejam yang lalu dia tak sadarkan diri. Dan semua ini tidak akan terjadi kalau saja... Air mataku tumpah lagi. Tak sanggup ku jelaskan perasaanku sekarang.
Aku tersadar saat katup mata Ae Rin terbuka. Dalam keadaan setengah sadar, dia kembali mengerjapkan matanya untuk bisa melihat dengan jelas. Aku tersenyum dan mengusap air mata dengan punggung tanganku.
“Ae Rin,” ucapku.
Sayangnya dia masih belum ingat siapa aku. Dia menoleh ke arah laki-laki yang pernah kutemui di rumah sakit beberapa bulan yang lalu, mencoba meminta jawaban.
“Apa aku mengenalmu?” tanya Ae Rin.
Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Tidak lebih dan tidak kurang.
“Apakah kamu orang yang bernama Nana?”
Aku terkejut. Senang. Tapi masih dengan hati was-was.
“Iya. Aku Nana, Ae Rin. temanmu. Kamu ingat aku kan?”
Ae Rin diam saja. Lalu dia melanjutkan, “Kenalkah kamu dengan gadis yang ku tolong di taman?”
Aku mengangguk.
“Berarti kamu sahabatku. Sahabat baikku. Ah! Terima kasih Tuhan. Kau telah mengembalikan ingatanku.”
Ae Rin memelukku. Erat, seperti dulu dia memelukku saat ulang tahunku setahun yang lalu.
“Kamu mengingatku sepenuhnya?”
“Iya. Ingat ini, ‘
Orang sepertimu tidak akan dapat kutemui karena tidak ada yang lain selain dirimu yang selalu menemani hari-hariku dan bisa memberikan warna dalam hidupku.’?”
Aku melepaskan pelukannya dan mengangguk lagi. Dia juga masih ingat akan motto persahabatan kami.
“Ae Rin, aku minta maaf, ya.”
“Untuk apa?” tanyanya
“Karena aku, persahabatan kita menegang. Karena aku, kamu jadi korban tabrak lari. Dan karena aku,...”
“STOP Nana!” Ae Rin memotong kalimatku. Dia melanjutkan, “Sahabatku dari dulu dan sekarang adalah kamu.”
Aku memeluk Ae Rin lagi. Menangis dipelukkan sahabat yang dulu pernah ku anggap si pengkhianat ini.
So, my friends. We started our friendship again! Dimulai hari ini,” kata Ae Rin ke arahku, Hangeng Oppa dan laki-laki itu, Henry.
Aku dan Hangeng Oppa tersenyum dan mengiyakan pernyataan temanku itu. Tapi tidak untuk Henry.
Just friend?”
Ae Rin menoleh ke arah Henry. Dengan setengah menggoda dia bilang, “Of course. Why not?”
Kami terbahak saat melihat ekspresi Henry yang menekukkan wajahnya. Kasian... -_-

Nana POV END

Ae Rin POV

My problem is over. Yeah, aku sudah bisa mengingat sahabat-sahabatku, Nana dan Hangeng Oppa. Aku juga sudah berhasil mengembalikan memoriku yang hilang. Dan yang terpenting, aku tidak akan bisa mengingat dan menyembuhkan penyakit amnesiaku jika tidak ada My Mochi Oppa, Henry Lau.
Thanks, Oppa.
“Untuk?”
“Kesetiaanmu, kesabaran dan perhatianmu padaku. Gomawo.”
Dia hanya mengangguk.
“Nana....”
“Ne?”
Hope you never forget me. 'Cause you always could be special someone in my heart. My best friend.
“Ada juga yang lupa itu kau Ae Rin~ah. Bukannya Nana,” kata Henry.
“Aku kan lupanya karena beneran lupa...” kataku cemberut.
“Yak! Henry~ssi! Kau membuat Ae Rin sedih. Minta maaf atau ku suruh kau yang tidak-tidak dan tidak pernah terbayangkan olehmu.”
Henry ketakutan. Dia segera menghampiriku dan meminta maaf sebelum Nana mengeluarkan kutukannya. Nana dan Hangeng Oppa tertawa melihatnya. Ah, hidup ini indah jika kita melihat dari segi keindahannya.
“Ae Rin, aku minta maaf.”
“Aku tidak memaafkanmu,” kataku sambil memeletkan lidah dan berusaha berlari menjauhinya.
“Yak! Jangan begitu dong, chagi.”
“Wwwllleeee. Aw! Oppa! Lepaskan, aku!” kataku setengah meronta.
Henry tidak membiarkanku lolos. Dia malah membawaku pergi ke taman tempat kita pertama kali bertemu.
“Kau gak bosen, Oppa ke taman ini?” tanyaku sambil duduk di kursi taman.
“Anio. Aku senang di sini.”
“Kenapa emangnya?”
“Karena ini adalah tempat pertama kali aku bertemu denganmu. Lagipula, pemandangannya indah. Melebihi My Dreamland,” jelas Henry.
“Kau punya dreamland sendiri Oppa?”
“Iya.”
“Kalau boleh tau, apa pulau impianmu itu, Oppa?” tanyaku penuh selidik.
“Mencintai kamu sepenuhnya, Ae Rin,” jawabnya tersenyum.
Khas. Sama seperti dulu. Pipinya mengembang seperti mochi. Ah, ini dia bagian yang aku sukai dari dia.
“Chagi...”
“Apa?”
“Saranghae. You’re my speciall someone. ‘Cause no one like you, honey. At least I still love you.
Henry tiba-tiba memeluk dan mencium keningku.
Me too, My Lovely. I love you so much.”

Ae Rin POV END

A-I POV

Pemandangan sore hari di taman ini menjadi berkali lipat lebih cantik dari biasanya. Sepasang insan yang telah puas memadu kasih di taman itu kini bergegas. Meninggalkan taman indah itu untuk pulang.

A-I POV END

A-I, with SJ 23 MEI 2013

Romantika Cinta Berakhir pada Pernikahan

Bismillah...

Kali ini event menulis yang diselenggarakan lewat facebook bertema "Romantika Cinta Berakhir pada Pernikahan". Alhamdulillah, antologi cerpennya yang berjudul "Ketika Ijab Qabul Terucap" sudah terbit bulan Juli lalu. Namun, bukunya baru kuterima tadi. Berkisah tentang 19 cerita cinta yang Insya Allah berawal dan berakhir indah. Sayangnya, dibandingkan cerpen yang lainnya, cerpenku termasuk yang tidak terlalu menyentuh. :P (maklum kan belom pernah ngerasain hal itu)

Sinopsis:

Berbagai kisah cinta yang berawal dan berakhir indah. Kisah cinta yang mengharap janji suci terucap. Walaupun di tengah perjalanan kisahnya penuh liku. Harapan janji suci itu terangkum dalam butiran-butiran do'a setiap insan yang merasakannya. Terbingkai indah dalam sebuah buku antologi "Ketika Ijab Qabul Terucap"