---Orang sepertimu tidak akan dapat kutemui karena
tidak ada yang lain selain dirimu yang selalu menemani hari-hariku dan bisa
memberikan warna dalam hidupku. Hope you never forget me. 'Cause you always
could be special someone in my heart.---Ae Rin
Note :Fanfic
ini adalah lanjutan dari temanku, Rahmalia Febriani yang tidak selesai.
Mungkin ada sedikit perubahan dalam
ceritanya. So, Happy Reading my readers!
Cast :
Kim Nana, Ae Rin, Henry Lau, Hangeng.
Genre :
Romance and Friendly.
Nana POV
Annyeong. Kim Nana imnida. Aku seorang gadis manja dan ego yang memiliki
sahabat yang mampu mengatasi sikap kekanak-kanakku, Ae Rin. Kami bersahabat
sejak kecil. Aku beruntung memiliki teman yang mau dan bisa menerima sifat
manjaku. Namun, sifat burukku berkurang karena hadirnya seorang pria yang ku
cintai diam-diam. Dia teman sekolah Ae Rin. Kami berkenalan sekitar lima bulan
yang lalu. Kami bertiga pun semakin akrab. Semakin akrabnya pertemanan kami,
semakin dalam ku menaruh hati pada pria itu.
Pagi ini aku bergegas mendatangi namja yang ku cintai, Hangeng Oppa untuk
memenuhi janjiku semalam. Bagai mentari yang baru terbit, senyumkupun tak
henti-hentinya menghiasi wajah mungilku. Sayang, mood baikku berubah drastis.
Ketika ku sampai di taman, tempat Hangeng Oppa menungguku, ku hentikan langkah
kakiku karena kaget. Dengan akrab sepasang muda-mudi bercengkrama dengan
mesranya. Aku berpikir kalau wanita itu tidak ku kenal aku tidak masalah. Tapi
sepasang mataku ini melihat dengan jelas bahwa wanita itu adalah Ae Rin,
temanku.
Hatiku terasa sakit seperti dicabik-cabik saat ku tahu orang yang begitu aku
percaya bahkan ku anggap dia kakakku, dengan teganya dia mengkhianatiku. Aku
kecewa. Sungguh sangat kecewa karenanya.
Nana POV END
A-I POV
Tubuh gadis manja itu bergetar menahan amarah. Saking marahnya, dia tak sadar
bahwa buku yang dipegangnya jatuh dan menimbulkan suara gaduh.
Dua orang yang dilihatnya tadi pun serentak menoleh ke arah suara berisik itu.
“Nana?” kata mereka serempak.
Namun mereka hanya dapat melihat Nana yang berbalik arah dan menjauh dari
tempatnya berdiri.
“Oh, tidak. Dia salah paham!” pekik Ae Rin.
“Salah paham? Apa maksudmu? Kau punya janji juga dengannya? Mengapa dia menjauh?”
tanya Hangeng bertubi-tubi.
“Ani.”
“Aku harus mengejarnya,” kata Hangeng sambil mengambil buku Nana yang jatuh.
“Jangan. Biar aku saja. Kau kan masih ada jam kuliah,” sergah Ae Rin.
“Ok. Nanti saja setelah ku pulang dari kampus akan ke rumahnya,” sahutnya
singkat.
“Ya. Aku pergi dulu. Maaf ya Oppa.”
Laki-laki itu hanya mengangguk dan berbalik ke kampusnya.
A-I POV END
Ae Rin POV
Aku merasa bersalah. Aku telah menyakiti perasaan temanku, Nana. Insiden tadi
terjadi hanya dalam hitungan detik. Andai ada pemutar waktu, tentu ku tak akan
melakukan ini pada Nana.
Aku berlari sekencang-kencangnya mengejar Nana. Berusaha menjelaskan yang tadi
dilihatnya hanya salah paham.
“Nana, tungguuu!”teriakku.
Tidak direspon! Jangankan menoleh, mendengarku saja tidak. Nana menjadi tuli
seketika. Oh, tidak! Ini petaka!
Ku jajarkan langkahku dengan langkahnya. “Nana, dengarkan dulu penjelasanku,
ya. Yang tadi tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Kau...”
“Tidak ada yang perlu kau jelaskan padaku. Semuanya jelas! Jadi sekarang, kau
biarkan aku sendiri!” Nana memotong kalimatku dan langsung memberhentikan taksi
yang lewat.
“Tapi, Na. Aku hanya...”
“Cukup Ae Rin. Tolong, biarkan aku sendiri! Dasar pengkhianat!”
Aku hanya bisa diam dan memandangi taksi yang Nana tumpangi menjauh.
“I’m so sorry my best friend...”
ucapku lirih.
Ae Rin POV END
Nana POV
Aku menyesal. Aku mengatakannya. Pengkhianat! Ya, kata itulah yang ku lontarkan
pada sahabatku. Tapi kini, aku menyakiti hatinya. Menyakitinya karena rasa
cemburuku padanya. Ku liat bayangan Ae Rin dari kaca spion. Wajahnya tertunduk
lesu. Menandakan dia memang bersalah. Lebih tepatnya aku yang salah paham
padanya.
Sampai di rumah, aku mengurung diri di kamar seharian dan hanya keluar bila
perutku lapar.
Nana POV END
A-I POV
Besoknya Ae Rin mendatangi Nana di rumahnya. Ditekannya bel dan segera memasang
senyum khasnya berharap temannya luluh dan tidak marah lagi dengannya. Dia
ingin menjelaskan bahwa kemarin adalah sebuah kesalahpahaman. Ae Rin harap Nana
bisa mengerti.
Pintu rumahpun terbuka. Dibaliknya, berdiri sang empunya rumah, Nana. Begitu
tahu siapa yang datang, diusirnya tamu itu dari rumahnya.
Pintu kembali ditutup kali ini dengan dibanting. Cukup keras, hingga kusen
jendela pun bergetar.
A-I POV END
Nana POV
Aku berlari ke kamarku saat Ae Rin ku usir ketika bertamu ke rumahku. Ada
perasaan lega telah mengusirnya. Setidaknya aku telah mengubah mood burukku
menjadi sedikit lebih baik.
‘Biarkan saja. Biarkan dia menangis. Biar
tahu bagaimana rasanya sakit hati.’
Senyum evil menghiasi wajahku. Namun dalam hati aku tak tega. Masa iya
membiarkan teman sebaik Ae Rin menangis. Teman macam apa aku ini? Arrggghh! Ae
Rin, jeongmal mianhae!
Nana POV END
Ae Rin POV
Butiran bening itu menghiasi kelopak mataku dan mengalir di pipiku. Ku tatap
pintu rumah itu dengan mata sembab. Tidak bergeming! Diam. Aku tidak menyangka
Nana akan sekasar itu. Lalu seperti sadar dari mimpiku, ku hapus air mata dan
berlari sekencang-kencangnya tanpa arah. Yang dipikiranku hanya satu, mengapa
Nana semarah itu? Tak tahukah dia, kalau dia salah paham?
Aku berhenti di taman, yang kebetulan sepi. Tidak ada orang di sini. ‘Akhirnya aku bebas menangis!’
“Aaaaa!!! Kim Nana! Kau jahat! Jaahhaaatt!!! Hiks...”
Aku lega akhirnya aku bisa menangis tanpa ada orang yang memperhatikanku.
“Hiks! Nana, aku tahu aku salah. Tapi, tak bisakah kamu tidak mencapku sebagai
pengkhianat! Aku benciiii Naaanaa! Hiks.. Hiks...”
“Hey! Bisakah kau diam? Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis! Apalagi
kau teriak-teriak mengangguku. Berhentilah!” kata suara dari sebrang dengan
volume yang lumayan keras.
Aku melongo. Ku hentikan tangisku dan menoleh ke sumber suara. Oh tidak! Ada orang! Mengapa tadi aku
tidak melihatnya? Ah peduli amat.
Ku lanjutkan tangisku dan aku kaget ternyata orang itu berjalan menuju ke
arahku. Sekarang dia berdiri di
depanku. Aku menunduk tak berani menatap wajahnya. Ku kumpulkan keberaniaanku
untuk meminta maaf karena tangisanku telah mengganggunya.
“Maafkan aku. Hiks...Aku tidak tahu kalau ada orang di taman ini. Hiks...,”
ujarku.
“Ya sudah tak apa. Kau tidak dengar ya? Aku bilang aku paling tidak suka
melihat gadis menangis sendirian!” suara itu masih terdengar sama. Bervolume
tinggi.
“Ah, iya iya. Maaf. Hiks...Hiks...”ucapku.
Sapu tangan dijulurkannya ke arahku. “Ini. Hapuslah dan jangan menangis lagi!”
laki-laki itu mencoba menghiburku.
Ku terima sapu tangan itu dan ku seka air mataku. Tapi tetap saja, tubuhku
masih gemetaran menahan tangis.
“Terima kasih,” ucapku sambil memberanikan diri menatapnya. Ada perasaan aneh
ketika ku tatap kedua matanya. Hatiku berdebar saat melihatnya. Ya memang
matanya begitu indah.
“Air matamu belum kering. Sorry,”
katanya tenang sambil mengusap kedua pipiku yang basah.
Dan saat tangannya menyentuh wajahku, mataku membulat kaget.
“Bagaimana? Merasa lebih baik?” tanyanya.
Aku mengangguk. Entah mengapa hatiku berdebar lebih kencang daripada
sebelumnya.
“Henry. Siapa namamu?” katanya memperkenalkan diri.
“Aku Ae Rin,” jawabku singkat.
Ae Rin POV END
Henry POV
Hari yang cerah ini membuatku untuk mencari inspirasi melukis. Sayang, rumah
ini terlalu ramai untukku melukis. Mungkin, keluar rumah dan ke tempat sepi itu
ide yang bagus.
“Ma! Aku pergi dulu.,”pamitku.
“Mau kemana?” tanya eomaku.
“Refreshing sebentar ke taman.”
“Ya sudah. Hanya ke taman ya?”
“Iya.”
Aku menyambar kunci mobil dan langsung ngacir
ke taman. Tak lupa kamera untuk memotret objek yang untuk desaign gambarku.
#SKIP
At Park...
Benar kan dugaanku? Taman ini indah dan aku akan mendapatkan inspirasi melukis.
Kesempatan ini langsung ku gunakan dengan mengarahkan kamera ke suatu objek
yang menurutku bagus.
Goresan pensilku terus menari-nari di atas kertas putih. Sketsanya sudah ku
dapat, tinggal mempolesnya sedikit menjadi gambar yang bagus. Ketika aku sedang
fokus mengendalikan pensilku, suara teriak disertai tangisan orang mengganggu
konsentrasiku.
Aku masih berusaha tak bergeming dan memusatkan pikiranku untuk gambarku, tapi
mendengar suara tangisannya, ada rasa kesal dan iba. Mengapa dia menangis
meraung-raung? Yang ku tahu, orang menangis seperti itu tandanya dia punya
problem tapi tidak tahu harus bercerita kepada siapa dan bertindak apa. Banyak
alasan lain yang memenuhi kepalaku, tapi sekarang ini bukan waktunya mencari
jawaban atas pertanyaanku.
Suara itu terdengar lagi. Saking kesalnya, ku bentak si yang punya suara.
“Hey! Bisakah kau diam? Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis!
Apalagi kau teriak-teriak mengangguku. Berhentilah!” bentakku.
Hening. Akupun lega dan melanjutkan gambarku. Tapi lima detik kemudian dia
menangis lagi. Marah karna dia tidak tahu diri dan membuatku kesal dari tadi,
ku tinggalkan gambarku. Aku bangkit dengan hati yang teramat pake sangat
dongkol.
Ku lihat dia menyadari kedatanganku. Dia berubah jadi sedikit tenang, tapi
tangisnya tidak reda.
Aku memang paling tidak suka melihat orang menangis, terlebih perempuan. Dan
sekarang, aku telah berdiri di depat gadis itu. Dia tertunduk.
“Maafkan aku. Hiks...Aku tidak tahu kalau ada orang di taman ini. Hiks...,”
katanya lirih.
“Ya sudah tak apa. Kau tidak dengar ya? Aku bilang aku paling tidak suka
melihat gadis menangis sendirian!” balasku yang masih kesal.
Tapi begitu melihat wajahnya, aku terkesima. Rasa kesalku berubah menjadi iba.
Ku keluarkan sapu tangan dari saku dan kuberikan padanya.
“Terima kasih,” ucapnya.
Aku seolah bisa membaca kesedihan gadis yang berada di depanku. Kuberanikan
diri untuk menghapus air matanya.
“Air matamu belum kering. Sorry,”
kataku.
Matanya membulat ketika tanganku mengambil sapu tangan dan mengusap kedua
pipinya. Kalau dilihat lebih dekat, dia cantik. Aku baru melihat gadis secantik
gadis ini. Aku berkenalan dengannya. Ae Rin, nama gadis ini. Cantik, seperti
wajahnya. Aish, apa-apaan sih kau Henry!
Kamipun mengobrol. Dari ceritanya, aku mengerti mengapa dia sesedih tadi. Kesalahpahaman.
Faktor utama sebuah ikatan pertemanan meregang.
“Sudah merasa lebih baik?” tanyaku.
“Ne. Gomawo sudah mau mendengarkan ceritaku,”ujar gadis itu tersenyum.
Henry POV END
A-I POV
Senja semakin merangkak. Setelah hatinya sedikit lebih tenang, Ae Rin
memutuskan untuk pulang. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Henry,
namja yang baru saja dikenalnya, tapi mampu membuatnya nyaman saat menceritakan
kejadian tadi pagi.
“Henry-ssi, aku pulang dulu. Gomawo atas waktunya,” pamit Ae Rin.
“Cheonma. Rumahmu di mana, Ae Rin?”
“Tidak jauh dari sini. Hanya butuh sekitar 20menit-an dari taman ini. Wae?” tanya
gadis itu.
“Bagaimana kalau ku antar kau pulang? Sekalian agar aku tahu rumahmu,” tawar
Henry.
Deg!
Baik sekali, pikir Ae Rin. Yeoja itupun
mengiyakannya.
“Apa tidak merepotkan Henry-ssi?
“Tidak. Aku malah senang kalau kau tidak menolak ajakkanku. Aku ambil
barang-barangku dulu ya,”katanya tersenyum.
Omona! Pipi chubby-nya mengembang saat dia tersenyum. Gantengnya dia, pikir Ae Rin. Dia terpukau ketampanan namja yang
belum 24 jam dikenalnya. Henry menghilang beberapa menit. Menit ketiga dia
kembali. Melihat Ae Rin masih duduk, dia mencoba mengajaknya pulang.
“Hey! Kau melamun, Ae Rin-ssi?” Tidak direspon Ae Rin.
Henry bingung. Dia merasa ada yang salah dengan Ae Rin. Namja itu melihat Ae
Rin aneh, karena tiba-tiba Ae Rin tersenyum sendiri.
“Yeoboseo! Ada orangkah dihadapanku?” tanya Henry sambil berdiri di hadapan Ae
Rin.
Gadis itu terperangah. Henry tertawa melihat ekspresi kaget Ae Rin.
“Yak! Henry-ssi! Kau mengagetkanku!” kesal Ae Rin.
“Kau aneh. Aku tinggal sebentar, kau malah duduk sambil senyum-senyum sendiri.
Kau kenapa? Apa yang kau pikirkan?” balas Henry bertubi-tubi.
Ae Rin diam. Dia tidak ingin namja itu tahu kalau dari tadi, dia membayangkan
wajah Henry yang imut.
“Aku? Aku.. aku tidak memikirkan apapun,” jawabnya terbata. Gugup!
“Oh, ya ya! Aku tahu. Kau melamunkan aku kan? Hayo ngaku!” ledek Henry.
“Huuu! Sok tau kau, Henry-sii! :P” ledek Ae Rin sambil memeletkan lidahnya.
Ae Rin ingin sekali bilang, Iya
Henry-ssi. Aku melamunkan pipimu yang chubby kayak mochi. Tapi itu tidak
mungkin. Dia tidak bisa membayangkan jika itu benar-benar dia ucapkan. Rasa
malu, pasti menghantuinya sepanjang malam.
#SKIP
At Ae Rin’s house...
“Mau mampir dulu, Henry-ssi?” tawar Ae Rin ketika mobil sudah berhenti di depan
rumah Ae Rin.
“Hmm, gak usah. Aku pulang saja. Sudah sore, nanti orang rumah mencariku. Boleh
minta nomor telepon?”tanya Henry.
Ada perasaan ragu. Memberikan nomor pribadinya ke orang belum dia kenal lama
adalah perbuatan pantang oleh Ae Rin. Tapi itu tidak berlaku sekarang. Dia
pikir, Henry berbeda. Dan bisa menjadi teman yang setia mencurakan isi hatinya.
Tanpa diminta dua kali Ae Rin memberikan nomornya ke Henry.
“Thanks, Ae Rin,” ucap Henry sambil
menyimpan dan misscall Ae Rin.
“Ok. Hati-hati ne,” kata Ae Rin.
“Siipp!” lagi-lagi sambil tersenyum dan membuat pipi chubbynya mengembang. Ae
Rin turun dari mobilnya. Perlahan mobil Henry menjauh dan hilang dari pandangan
Ae Rin.
Ah Henry! Kenapa perasaanku kacau saat
bersamamu?! Keluh hatinya melonjak girang.
A-I POV END
Henry POV
At Henry’s home...
“Kau dari mana, sayang?” tanya eoma.
“Dari taman.”
“Dari taman? Kenapa malam baru pulang. Kamu tahu gak? Pergi dari pagi gak ada kabar
dan pulang malam,” omel eoma.
“Aku emang tadi ke taman Ma. Aku...”
TRING!!
Ku rogoh kantong celanaku. Ponselku menandakan ada pesan masuk. Ae Rin! Ada apa
dia meng-sms-ku? Entahlah. Yang jelas tanganku melejit menekan tombol untuk
membuka pesan darinya.
From: Ae Rin
Thanks Henry-ssi. Kau sudah mengantarku pulang tadi. Ku harap kita berteman baik. Your friend, Ae Rin.
Aku tersenyum. Ku balas: You’re welcome.
I hope too. Now, we’re friends. Ok!
Semenit kemudian dia membalas, ^_^
Chingu!
Eoma merasa ada yang aneh denganku karena terus senyum-senyum sendiri saat
menerima pesan dari Ae Rin.
“Henry..”
“Ne Mah,” jawabku singkat.
“Are you okay? Dari tadi Mama liatin,
kamu senyum-senyum sendiri. SMS dari siapa itu? Jangan-jangan yeojachingumu
ne?”tanya eoma.
“Ani. She is my new friend. Kami baru
aja berkenalan di taman. Dan aku pulang terlambat karena harus mengantarnya
pulang juga.”
“Ah, masa? Kayaknya ada hubungan lain kamu sama dia?”ledek eoma.
Aku melirik ke arah eoma yang sekarang tersenyum meledekku. Aku menggeleng
malu. “Iya. Kami hanya berteman, kok, Ma.”
“Oh. Ya sudah. Sekarang mandi. Kita makan malam bareng. Mama siapkan ya.”
Aku mengangguk dan berlari ke kamarku.
Henry POV END
Ae Rin POV
Karena lelah seharian menangis di taman, sampai rumah dan setelah makan, aku
langsung ke kamar dan langsung tidur. Tapi sebelum tidur ku beranikan diri
untuk mengirimkan pesan singkat ke Henry sebagai ucapan terima kasih. Aku
senyum-senyum sendiri lagi saat dia membalas SMSku. Ah, rasanya seperti
bermimpi. Aku masih tidak percaya, ada orang lain yang masih peduli padaku.
Heran? Ya memang. Aku heran pada diriku sendiri karena dengan mudahnya
bercerita pada orang yang benar-benar belum ku kenal. Tapi saat menumpahkan
unek-unekku tentang Nana pada Henry di taman tadi, rasanya... nyaman. Belum
pernah merasa seperti itu ketika berbicara dengan seorang laki-laki. Bahkan
dengan Hangeng Oppa pun, aku sungkan untuk bercerita.
Mungkin gak ya, aku bertemu lagi dengan
Henry? Semalam suntuk aku gelisah tidak bisa tidur karena Henry. Racun apa
yang telah hinggap dikepalaku hingga pening? Entah. Yang jelas. Aku senang dan
nyaman saat bersama Henry. Kutulis kisahku bersama Henry dalam buku biru harianku.
Ae Rin POV END
A-I POV
Senyum tidak pernah lepas dan masih terus hinggap di wajah gadis itu saat
seminggu setelah berkenalan dengan Henry. Perlahan, Ae Rin bisa melupakan
masalahnya dengan sahabatnya lagi. Senyum Ae Rin berkembang ketika hari ini
Henry mengajaknya jalan. Sejak kejadian di taman itu, mereka semakin akrab. Dengan
segera Ae Rin bersiap-siap dan menunggu Henry di halte dekat taman yang
seminggu lalu mereka kunjungi. Tiba-tiba mata Ae Rin melihat sosok yang sangat
dikenalinya. Mungkinkah dia bermimpi? Tidak! Sosok itu nyata dan sedang
berjalan sendiri sambil melamun tanpa melihat disekelilingnya. Mata Ae Rin
masih mengamati sosok itu. Dia sampai tidak sadar kalau Henry sudah
disampingnya sekitar 3 detik yang lalu.
“Hi, Ae Rin!” sapaan itu membuat Ae Rin kaget.
“Yak! Henry-ssi! Kau selalu membuatku kaget!”balas Ae Rin.
Henry tertawa.
“Salah sendiri, kau yang melamun. Sedang lihat apa?” tanya Henry.
“Ah, enggak. Bukan apa-apa.”
“Oh. Ayo naik, kita pergi sekarang!”
“Iya. Ta.. tapi. Oh celaka! Kau tunggu di sini, Henry-ssi!” ujar Ae Rin panik.
Henry kaget karena Ae Rin malah berlari ke sebrang jalan. “Kau mau kemana?”
teriaknya.
Ae Rin tidak menoleh. Henry yang sadar ada mobil yang melaju kencang hanya bisa
berteriak, “Ae Rin-ah!!” Terlambat. Gadis itu terpental beberapa meter setelah
mobil itu menabraknya. Tapi Ae Rin berhasil mendorong tubuh seseorang yang
sedari tadi dia perhatikan di halte. Henry berlari ke arah Ae Rin yang
tergeletak lemah. Darah segar mengalir dari kepalanya. Orang yang berhasil
selamat dari tabrakkan itu menangis keras saat tahu yang mendorong tubuhnya
tadi adalah Ae Rin. Masih dalam pandangan tidak percaya dengan apa yang barusan
terjadi, tangan orang itu memangku kepala Ae Rin yang masih mengeluarkan darah.
Dengan cekatan, Henry-dibantu orang yang selamat karena didorong Ae Rin
tentunya- membawa Ae Rin ke rumah sakit. Dalam perjalanan, orang itu terus
menangis dan memangil nama Ae Rin agar dia segera bangun. Henry mengemudikan
mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang ada dipikirannya sekarang adalah Ae Rin
harus sampai di rumah sakit agar dia tidak kehabisan darah.
“Dokter! Suster! Tolong temanku! Dia korban tabrak lari!” teriak orang itu
ketika mereka tiba di rumah sakit.
Henry tertegun. Teman Ae Rin? Apakah dia
Nana?tanyanya dalam hati. Dia kembali tersadar saat tubuh Ae Rin dibawa
oleh para perawat untuk segera ditangani dokter.
“Maaf, kalian tidak boleh masuk. Silakan menunggu di luar,” ucap salah seorang
suster saat tubuh Ae Rin di bawa masuk ke ruang perawatan.
“Tapi.. Ah, tolong selamatkan nyawa temanku!”
“Akan kami usahakan. Silakan menunggu di luar. Akan kami kabari nanti.”
Orang itu hanya bisa pasrah dan kembali menangis. Dia tidak bisa tenang sampai
akhirnya tangannya merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ditekannya nomor seseorang.
“Oppa.. Ae Rin! Dia korban tabrak lari. Ae Rin menyelamatkanku dari mobil maut
itu. Aku? Di rumah sakit X. Iya, Oppa aku tunggu,”ucapnya lirih.
Klik sambungan diputus.
Henry hanya bisa tertunduk saat ini. Semua
ini salahku. Kalau saja aku mencegahnya dia lari, pasti kejadiannya tidak
seperti ini, jerit hatinya.
“Nana, bagaimana keadaan Ae Rin sekarang?” tanya seorang laki-laki.
Nana hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menangis tanda ia tidak tahu.
“Sabar, Nana. Aku yakin, dia bisa bertahan,” ujar si laki-laki sambil memeluk
Nana.
A-I POV END
Nana POV
Aku berutang nyawa pada orang yang kuanggap si pengkhianat itu. Ya... Aku
berutang nyawa pada Ae Rin, sahabatku sendiri. Aku menyesal sudah menganggapnya
pengkhianat gara-gara dia sedang asyik ngobrol dengan Hangeng Oppa. Pantaskah
aku menyebut diriku sahabatnya? Rasanya tidak! Oh my God, Please help her!I never forgive me if something bad happen
with my best friend!
Aku menangis tiada henti. Hangeng Oppa berusaha menghiburku. Gagal. Air
mata masih terus mengalir dari kedua kelopak mataku.
“Sorry ganggu. Kamu Nana temannya Ae
Rin?” tanya seorang pria.
Aku dan Hangeng Oppa kompak mengangkat kepala sambi melihat intens si pria itu,
lalu mengangguk.
“Iya, aku temannya Ae Rin,” ucapku lirih.
“Aku tidak menyangka, Ae Rin melakukan ini sampai rela mempertaruhkan nyawanya
untuk menyelamatkan orang yang sudah menganggapnya pengkhianat hanya karena
orang itu salah paham dengan Ae Rin.”
Mataku tercengang saat dia berkata seperti itu padaku. Telingaku panas mendengarnya.
Ingin sekali kubekap mulut lelaki itu. Tapi kata-kata yang dia ucapkan memang
benar. Dan aku mengakui bahwa tindakanku salah besar.
“Jika aku jadi Ae Rin, mungkin aku tidak akan menolongmu saat itu karena untuk
apa menolong orang yang sudah tidak menganggap kita sebagai sahabatnya lagi.
Hanya akan merugikan diri sendiri.”
Pedas sekali kata-kata yang dikeluarkannya. Sebenarnya lelaki ini siapanya Ae
Rin, sih? Hatiku dongkol mendengarnya.
“Kau sebenarnya siapa sih? Aku memang pernah marah sama Ae Rin karena
keegoisanku. Tapi aku masih menganggapnya sahabat dan...”
“Pengkhianat. Itu kan yang ingin kamu ucapkan? Nana, seharusnya kau bisa
merubah sikapmu itu. Jika masih menganggap Ae Rin pengkhianat dan bukan lagi
sahabatmu, tolong, jauhi Ae Rin! Jangan sampai membuatnya menderita.”
Air mataku jatuh lagi saat mendengar tuturan dari mulut lelaki tadi.
“Maaf, tuan. Tolong tinggalkan kami berdua. Aku tahu kau tidak suka dengan
sikapnya Nana, tapi mohon pengertiannya karena sekarang ini bukan waktu yang
tepat untuk berdebat,” Hangeng Oppa membelaku.
Mata pria itu menatap tajam Hangeng Oppa dan dia mengangguk tanda mengerti.
Sementara aku, ditemani Hangeng Oppa, menunggu di luar dengan harap-harap
cemas. Berharap Ae Rin masih bisa diselamatkan. Dan dalam hati aku berjanji
untuk merubah sikapku dan meminta maaf atas kesalahanku pada Ae Rin.
#SKIP
Sosok berpakaian putih itu akhirnya keluar juga. Aku dan Hangeng Oppa bergegas
menghampiri dokter itu. Tapi, langkah kami didahului oleh pria yang telah
mengeluarkan kata-kata pedasnya tentang sikapku pada Ae Rin.
Nana POV END
Henry POV
“Bagaimana keadaannya, dok?” tanyaku berbarengan dengan orang yang baru ku tahu
namanya.
Dan dia adalah Kim Nana, teman Ae Rin yang sudah mengecap Ae Rin pengkhianat.
Kami berpandangan sekilas, lalu seolah membuang muka, ku alihkan pandanganku ke
dokter yang memeriksa Ae Rin.
Dokter menghela napas panjang. Dia menggeleng. Aku panik. Pasti ada sesuatu hal
buruk yang terjadi pada Ae Rin.
“Teman kalian...” kata dokter menggantungkan pembicaraan.
“Ae Rin kenapa, Dok? Tidak ada hal buruk yang menimpanya, kan?” tanyaku.
“Ada. Dia berhasil kami selamatkan. Hanya saja..”
“Dokter, tolong jangan setengah-setengah membertitahukannya,” sergah Nana.
Aku menoleh ke arah Nana. Wajahnya panik. Ah!
Dia panik karena pasti merasa bersalah bukan karena menganggap Ae Rin
sahabatnya,pikirku.
“Ae Rin berhasil melewati masa kritisnya. Hanya saja karena benturan di kepala
yang cukup keras membuatnya dia sedikit amnesia. Dia lupa dengan kejadian yang
baru menimpanya. Tapi sewaktu dalam penanganan kami, dia mengigau dengan
menyebut nama seseorang. Adakah diantara kalian yang bernama Henry Lau?”
“Saya, dok.”
“Ok, Henry. Kuharap kamu bisa membantu mengembalikan ingatan Ae Rin. Dia juga
sudah siuman, dan kalian boleh menjenguknya. Tapi jangan langsung diajak
ngobrol panjang atau apapun itu yang akan membuatnya berpikir keras untuk
mengingat sesuatu. Saya permisi dulu,” jelas dokter panjang lebar.
“Iya dokter. Terima kasih,” kataku sembari masuk ke kamar di mana Ae Rin dirawat.
At Ae Rin’s room...
Perlahan gagang pintu ku putar pelan. Aku, Nana dan pria yang terus disamping
Nana masuk dengan sangat hati-hati agar tidak menganggu Ae Rin. Ae Rin menoleh
ke arah kami dan dia tersenyum.
“Henry-ssi...” panggilnya pelan.
“Ne, Ae Rin. You fine?” tanyaku
sambil duduk di sebelah ranjangnya.
“Of course. But, can you tell me about
this?”balasnya sambil menunjuk ke kepala.
Aku mengangguk. “Yeah. Tapi nanti
ketika kau sudah sembuh.”
Mata Ae Rin berbinar. Dia lalu menoleh ke arah Nana yang sedang menangis dan
pria tadi. Keningnya berkerut, mencoba mengingat sesuatu.
“Apa aku kenal denganmu?” tanya Ae Rin ke Nana.
Nana diam tak menjawab. Dia masih menangis. Ae Rin mencoba mencari jawabannya
dengan menatapku.
“Henry-ssi, apa aku mengenal mereka?”
Aku bingung tidak tahu harus menjawab apa.
“Hmm... Tidak.”
“Masa sih? Sepertinya aku mengenal
mereka. Wajahnya sungguh tidak asing. Tapi siapa, ya?” Ae Rin mencoba
mengingat-ngingat.
“Aaa! Kepalaku! Kepalaku sakit. Henry-ssi, jebal?!”
Ae Rin berteriak-teriak kesakitan minta tolong. Aku panik. Pria yang bersama
Nana langsung memanggil dokter yang tadi menangani Ae Rin. Aku dibantu Nana
mencoba menenangkan Ae Rin. Entah karena kesakitan atau ada hal lain yang
membuat dia histeris, terlebih saat dia melihat Nana. Ae Rin lalu pingsan
karena saking kelelahan mengerang menahan sakitnya.
Henry POV END
A-I POV
“Bagaimana keadaan Ae Rin, dok?”
“Ada sesuatu yang membuatnya memaksa untuk mengingat semua kejadian yang dia
alami. Jika dalam waktu dekat ini saraf otaknya stabil dan tidak mengegang
karena akibat kecelakaan 10 jam yang lalu, dia akan segera pulih dan cepat
untuk mengembalikan pikirannya,” jelas dokter panjang lebar.
Henry, Nana dan Hangeng menghela napas lega. Tapi tentu saja, rasa cemas masih meliputi
ketiganya.
“Sayangnya, setelah saya periksa tadi, Ae Rin masih harus banyak istirahat dan
kalian tidak boleh membawakan sesuatu yang memaksa dia untuk mengingat banyak.”
Tiga orang yang sedang duduk di depan dokter tercengang. Mereka saling pandang
satu sama lain.
“Maksudnya?” tanya mereka kompak.
“Dalam seminggu ini, jangan beritahu dia apa yang sebenarnya terjadi pada Ae
Rin. Oh, ya. Untuk menjaga agar sarafnya tidak menegang seperti tadi, usahakan
agar Ae Rin tidak bertemu dengan orang yang benar-benar dikenalnya atau
kenangan buruk tentang orang-orang yang dikenalnya.”
“Maksud dokter ada sesuatu yang menganggunya. Dan memori yang bisa menyebabkan
saraf Ae Rin kembali tegang adalah kenangan buruk yang sudah lama membekas
dalam ingatannya?” tanya Henry.
Dokter hanya bisa mengangguk lemah. Henry melirik ke arah Nana dan Hangeng.
Nana menitikan air matanya karena dia tahu, Ae Rin seperti ini karena dirinya.
#SKIP
Seminggu kemudian....
“Henry-ssi. Kapan ya aku bisa pulang? Aku nggak betah di sini,” ucap Ae Rin
lirih.
“Hmm.. aku nggak tau. Yang jelas, kau harus segera sembuh dulu baru bisa
pulang,” jawab Henry sekenanya.
Ae Rin terdiam sedih. Bukan itu jawaban yang diinginkannya.
“Ae Rin, kau kenapa?”
“Aku sedih Henry-ssi. Aku gak bisa mengingat apapun. Kecuali orangtuaku yang
ada di Jepang dan dirimu. Aku merasa aku mempunyai teman selain dirimu. Tapi
kenapa aku gak bisa mengingatnya, ya?”
“Aku tau kenapa kau hanya mengingatku. Kau juga pasti tau hal itu.” Henry
tersenyum nakal pada Ae Rin.
“Emangnya apa? Kok, aku nggak tau tuh?” tanya gadis itu sambil menatap Henry.
“Masa sih, gak tau.”
“Yee, emang bener. Aku nggak tau yang kau maksud. Emangnya apa?”
“Pipi chubbyku. Ya, kan?” kata Henry
setengah meledek.
Sontak saja wajah gadis yang terbaring lemah itu kaget. Lalu tersenyum dengan
pipi memerah.
A-I POV END
Ae Rin POV
Sudah seminggu ini aku masih tidak bisa mengingat apapun kecuali memoriku
dengan Henry dan masa kecilku sewaktu tinggal di Jepang. Aku juga gak bisa
percaya kalau aku jadi korban tabrak lari yang membuatku harus dirawat dengan
luka di kepala dan membuatku sedikit amnesia. Sedikit? Itu kata dokter. Bagiku,
amnesia yang kualami sungguhlah parah dan sangat menyiksaku. Aku bosan dan
benar-benar ingin pulang. Apalagi setelah orangtuaku kembali ke Jepang karena
urusan dinas mereka.
“Henry-ssi. Kapan ya aku bisa pulang? Aku nggak betah di sini,” ucapku lirih.
“Hmm.. aku nggak tau. Yang jelas, kau harus segera sembuh dulu baru bisa
pulang,” jawab Henry sekenanya
Ah, alasan itu terus yang diberikan Henry. Aku hanya bisa pasrah dengan
keadaanku sekarang.
“Ae Rin, kau kenapa?”
“Aku sedih Henry-ssi. Aku gak bisa mengingat apapun. Kecuali orangtuaku yang
ada di Jepang dan dirimu. Aku merasa aku mempunyai teman selain dirimu. Tapi
kenapa aku gak bisa mengingatnya, ya?”
“Aku tau kenapa kau hanya mengingatku. Kau juga pasti tau hal itu.” Henry
tersenyum nakal padaku.
“Emangnya apa? Kok, aku nggak tau tuh?” tanyaku sambil menatap Henry.
“Masa sih, gak tau.”
“Yee, emang bener. Aku nggak tau yang kau maksud. Emangnya apa?”
“Pipi chubbyku. Ya, kan?” kata Henry
setengah meledek.
Aku kaget mendengarnya. Mengapa dia bisa
berpikiran seperti itu? Henry menatapku intens. Aaah! Aku sampai tidak
berani menatapnya. Karena malu, kualihkan pandanganku ke luar jendela di
samping tempat tidurku.
“Ae Rin-ah...”panggil Henry.
“Ne,” jawabku singkat tapi tetap melihat pemandangan di luar jendela.
“Liat aku,”
Aku masih tidak berani menatapnya. Dan tanpa kuduga Henry menutupi pemandangan
di luar dengan tubuhnya. Dia duduk di dekatku. Ku beranikan diri menatapnya.
Hasilnya? Salting dan... yah begitulah.
“Kau nampak kikuk Ae Rin? Wae?” tanya Henry.
Napasku tercekat. “Hmm... anio.”
“Ae Rin. I’m so sorry.”
Aneh. “Untuk apa?”
Henry diam. Dia menghela napas.
“Karena aku membaca ini,” jawab Henry sambil menunjuk buku kecil berwarna biru.
Buku yang tidak asing bagiku. Tapi aku lupa itu buku apa dan punya siapa.
Apakah itu punyaku? Entah aku tidak tahu. Aku menatap Henry bingung. Dan Henry
bisa membaca pikiranku.
“Buku siapa? Bukuku kah itu?” tanyaku pada Henry.
Henry mengangguk dan mengembalikan buku itu padaku. Aku membacanya. Dan
ternyata memang benar, buku itu buku catatan harianku. Ada sedikit rasa kesal
ketika tahu Henry dengan lancangnya membaca buku itu. Tapi amarahku padam saat
dia bilang, “Aku hanya ingin tau banyak tentangmu. Siapa tau, dalam buku itu
ada hal yang bisa mengembalikan ingatanmu.”
“Tapi...”
“Kau boleh marah karena itu.”
“Aishh! Bukan itu.”
“Lalu?”
“Mengapa kau mau membantuku?”tanyaku.
Henry diam. “Tapi, terima kasih sudah membantuku mengingat dan berusaha
mengembalikan memoriku,”lanjutku.
Henry masih diam. Dan aku masih bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah.
Ae Rin POV END
Henry POV
Pasti Ae Rin akan marah. Dan aku harus terima itu. Biarlah dia marah karena aku
sudah membaca buku diarynya. Tapi
yang ku dapatkan adalah dia tidak marah seperti yang ku khawatirkan. Dia hanya
berkata, “Mengapa kau mau membantuku?”tanyanya. Ingin seketika aku bilang,
‘Karena aku mencintaimu.’ Aku tahu mungkin terlalu cepat. Namun, ini adalah
momen yang tepat dan semoga Ae Rin juga mau menerima perasaanku. Pede sekali kau Henry!Kalau Ae Rin tidak
sehati denganmu bagaimana?tanya hatiku. Ah, peduli amat! Toh aku bisa
melihat sepertinya Ae Rin juga menyukaiku. Memang sih bukan sebagai pacar tapi
teman. Hiks! Aku menggalau! L
“Hello Henry-ssi?” Aku tersadar saat Ae Rin menepuk pelan tanganku.
“Eh..” Respon yang tidak bagus.
“Yak! Kau melamun dan tidak mendengarkan ceritaku dari tadi? Sungguh jahat
sekali kau!”
“Hmm.. hm... Mianhae. Emang tadi kau cerita apa?” tanyaku terbata.
“Sepertinya aku sudah mulai bisa mengingat sesuatu. Tapi masih sedikit karena
kepalaku suka sakit saat mencoba mengingatnya. Ah, Henry-ssi! Apa kau kenal
Nana dan Hangeng? Apa aku juga mengenalnya? Jebal, bantu aku mengingat! Karena
aku yakin mereka itu orang terdekatku dulu. Hiks... siapa sebenarnya mereka?
Aku benci memoriku yang tidak bisa mengingat. Hiks,” Ae Rin melemparkan buku
kecil itu ke luar jendela lalu terisak.
“Ae Rin-ah...” panggilku lirih sambil memeluknya erat. Mencoba menenangkan
emosinya. Dia makin larut dalam tangisnya.
“Hiks...Henry, bantu aku. Hiks...Sungguh aku tidak suka dengan keadaanku
sekarang,” ujar Ae Rin sambil menangis.
Aku tidak tega dan merasa iba. Sekarang memang benar-benar pasti. Aku memang
mencintai Ae Rin
“Aku yakin kau bisa mengingat semuanya Ae Rin. Aku akan membantumu
mengembalikan ingatanmu. Aku janji,” ucapku lirih sambil melepaskan pelukan
kami.
Ku hapus air matanya dengan punggung tanganku. Ae Rin sedikit bisa tersenyum.
“Gomawo.”
#SKIP
Sudah dua bulan Ae Rin masih betah untuk menginap di rumah sakit. Ingatannya
masih belum pulih, tapi dia masih berusaha untuk mengembalikan ingatannya.
Setidaknya dia sedikit lebih ceria dibandingkan seminggu setelah dia kecelakaan
dua bulan lalu.
“Kau mau mencoba mengingat lagi, Ae Rin?” tanyaku.
“Iya. Semoga yang ini aku bisa mengingatnya,” jawabnya.
Hampir sejam aku mencoba melatih Ae Rin untuk mengingat. Hasilnya? NOL BESAR!
Dia tidak mampu mengingat apapun kecuali aku dan orangtuanya. Padahal sudah
berulang-ulang dia membaca buku biru yang dulu menjadi temannya yang pernah dia
lemparkan ke luar jendela. Dia frustasi.
“Aku lelah terus-menerus begini. Huuuftt!”
“Jangan menyerah Ae Rin! aku tau kau pasti bisa. Fighting!”
Ae Rin tersenyum. Manis seperti dulu waktu pertama kali aku bertemu dengannya
di taman.
“Akan ku coba lagi,” katanya sambil
membaca buku biru itu.
Henry POV END
A-I POV
September, bulan indah di tahun ini-menurut author lho ini-kini menjadi anugrah
terindah untuk Ae Rin. Dua minggu lalu, Ae Rin diperbolehkan pulang. Dan kini,
sedikit demi sedikit dia bisa mengingat kejadian yang menyebabkan dia amnesia.
“Coba ulangi!” perintah Henry.
“Hmm, saat itu di halte ini aku sedang menunggumu yang mau mengajakku jalan.
Karena kau belum datang, ku alihkan pandangan ke taman itu waktu kita pertama
kali bertemu. Saat itu aku melihat seorang gadis yang ku kenal, dulu kalau
sekarang aku lupa. Hehehe. Gadis itu berjalan di sebrang jalan itu sambil
melamun dan dia tidak menyadari ada mobil di belakangnya yang melaju kencang.
Kemudian aku berlari ke sana untuk mendorong tubuhnya. Untungnya, dia selamat.
Dan sialnya, aku jadi amnesia,” jelas Ae
Rin panjang lebar sambil tersenyum.
Henry yang sedari tadi duduk di kursi halte tempat Ae Rin menunggunya dulu
mendengarkan dengan intens. Dia nampak puas dengan kemajuan mengingat gadis
yang berdiri di depannya. Gadis yang bisa membuatnya jatuh hati. Gadis yang
sangat dicintai dan disayanginya. Tapi bukan sebagai sahabat melainkan sebagai
kekasihnya.
Ae Rin ikut duduk di samping Henry. Sambil membaca buku biru catatannya, dia
berharap agar Henry tidak berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya yang
menulis sosok Henry dalam buku biru itu karena tentu saja akan membuatnya malu.
Sayangnya, hal itu tidak terjadi.
“Ae Rin~ah!” panggil Henry.
Ae Rin menoleh. Matanya menatap lekat-lekat pria yang sudah banyak membantunya.
“Ada yang ingin ku sampaikan padamu.” Menggantung.
“Ne?”
“Seharusnya sudah ku katakan sewaktu aku ingin mengajakmu jalan tiga bulan yang
lalu. Tapi karena insiden kecelakaan itu baru sekarang aku bisa
mengungkapkannya.”
Ae Rin menutup bukunya. Dia makin penasaran. “Ada apa sebenarnya?”
Henry menghela napas. Inilah saatnya,
Henry!ucap hatinya. Dia menoleh ke Ae Rin dan berkata, “Aku... Aku
mencintaimu, Ae Rin.”
Ae Rin ternganga. Ae Rin pikir Henry pasti bercanda. Matanya masih menatap
Henry menunggu kalimat yang akan diucapkan Henry selanjutnya walau sebenarnya
dia sudah tahu Henry mau bilang apa. ‘Aku bercanda ding.’ Sayangnya, dia salah
besar.
“Saat pertama kali bertemu denganmu di taman itu, memang aku merasa kesal
karena suara tangismu yang mengangguku. Tapi setelah aku tau banyak tentangmu
aku merasakan ada sesuatu yang lain. Aku sadar perasaan itu hanyalah euforia
sesaat. Sayangnya aku salah besar. Dan aku benar-benar sayang dan sangat
mencintaimu. Mungkin itu lebay. Tapi itulah perasaanku sekarang. Ae Rin...”
Ae Rin masih mematung. Henry melanjutkan, “Maukah kau jadi yeojachinguku?”
A-I POV END
Ae Rin POV
“Maukah kau jadi yeojachinguku?” pertanyaan itu terlontar dari mulut Henry,
pria yang sering muncul dimimpi dan alam nyataku.
Aku bingung. Aku memang menyukai Henry. Kukira Henry hanya menganggapku sebagai
teman. Dan omongannya tadi hanya sebuah candaan. Tapi ternyata...
“Kau boleh untuk mengatakan, ‘Tidak’ Ae Rin. Janganlah takut. Aku hanya ingin
menyampaikan perasaanku padamu. Aku juga tidak memaksamu untuk jadi pacarku.
Tapi aku butuh jawabanmu sekarang. Please!
‘Cause I cann’t doing something without your answer.”
Aku mengalihkan pandangan saat Henry selesai dengan ucapannya.
“Ae Rin... Please!” Henry meminta
sekali lagi.
Aku kembali melihat matanya. Sekarang dia memang benar-benar serius. Matanya
tidak terlihat kalau sekarang dia sedang bercanda. Mukanya lumayan panik
menanti jawabanku. Akupun geli melihatnya. Aku tersenyum dan menganggukan
kepalaku. “Nado, saranghae.” Henry mendesah lega. Dia memelukku.
“So?”
“Kau harus panggil aku Oppa.”
Aku tertawa. “Kalau aku tidak mau?”
“Kau boleh panggil aku My lovely.”
“Anio,” ucapku menggelengkan kepala.
“Lalu?”
“My handsome mochi.”
Henry kesal. Dia tidak setuju aku memanggilnya dengan sebutan kue itu. Aku
tertawa keras saat dia bersungut-sungut karena mendengar penjelasanku, “Nama itu
terinspirasi dari kedua pipimu yang tembem kayak MOCHI.”
Henry semakin kesal dan memanyunkan bibirnya. Semakin ke depan, semakin tawaku
meledak.
#SKIP
Setahun sudah aku resmi menjadi pacarnya Henry. Dan selama itu pula aku sudah
berhasil untuk meningat sebagian besar memori masa laluku. Sekarang
permasalahannya adalah aku masih belum tahu siapa gadis yang ku tolong dan
orang yang bernama Nana dan Hangeng.
Pagi ini, aku dan Henry sibuk membersihkan rumahku. Karena ini hari Minggu dan
Henry sedang libur kuliah, dia bersedia membantuku membersihkan rumah yang
keadaannya sudah seperti kapal pecah. Henry hanya bisa menggelengkan kepala
saat membersihkan rumahku yang berantakkannya minta ampun.
“Ae Rin~ah! Tak bisakah kau merawat rumahmu sendiri?” tanyanya.
Aku menggeleng. Sebenarnya rumahku berantakkan bukan karena aku malas. Tapi
karena waktu itu aku terlalu memforsir diriku agar bisa mengingat kembali dalam
satu tahun. Karena sering merasakan sakit di kepala, aku suka tidak bisa
mengendalikan emosiku dan ku obrak-abrikkan seluruh isi benda yang ada di
rumahku. Itu ku lakukan jika Henry masih kuliah dan dua hari tidak datang ke
rumahku.
Aku rasa,di luar kamarku keadaannya jauh lebih baik daripada di dalam kamarku.
Setelah selesai merapikan dan membersihkan rumah, Henry menawarkan untuk
membantuku membersihkan kamar. Tapi aku menolaknya dan menyuruhnya untuk makan.
Henry tidak mau sampai seluruh bagian di rumahku bersih total.
Dan inilah reaksi Henry saat melihat kamarku,
“Omona! Ini kamar yeoja atau kapal pecah?”
Dia melirikku. Aku hanya cengar-cengir melihatnya.
“Sudah ku bilang, mending tidak usah membersihkan tempat ini. Lagian aku tidak
suka tidur di sini. Aku lebih suka tidur di kamar orangtuaku,” kataku membela
diri.
Henry gemas sambil mengacak-ngacak rambutku. Dengan nada pasrah akhirnya dia
berkata, “Aku tidak yakin sekarang aku ada di kamar seorang gadis. Tempat ini
cocok dipanggil gudang bukan kamar. Pokoknya habis ini, kau harus menyiapkan
banyak makanan.”
Tawaku meledak. Henry dengan cekatan merapikan kamarku. Aku ikut membantunya.
Malu sih, karena tanggapan buruk yang dilontarkan sesorang tentang kamar
sendiri. Apalagi yang sekarang mengomentari kamarku ini adalah pacarku sendiri.
Namun nampaknya Henry tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena dia tahu, pasti
dulunya kamarku tidak seburuk ini.
Ae Rin POV END
Henry POV
Aku merebahkan diriku di atas sofa biru ini. Ah! Lelah juga setelah seharian
penuh membantu Ae Rin membersihkan rumahnya. Syukurlah saat ini semuanya sudah
selesai. Hufft! Kegiatan ini lumayan membuat badanku pegal-pegal. Kusumpalkan headset di telinga sembari ku pejamkan
kedua mataku sebentar. Lagu jazz yang mengalir lembut membuatku sedikit
melupakan rasa lelahku.
Mataku berair karna mengantuk. Niatku yang hanya tidur ayan, tapi malah
keasyikkan untuk melanjutkan mimpiku sore ini.
Aku terbangun saat Ae Rin membelai pipiku.
“Oppa, bangun!”
“Hmmm...” ucapku singkat.
“Oppa...!” Ae Rin masih mencoba membangunkanku.
“Ne?” suaraku sedikit parau.
“Mandilah dan segera makan. Kau nampak lelah setelah membantuku membersihkan
rumah.”
Bukannya bangun, tapi aku malah kembali mengatupkan mataku.
“Oppaa! Bangun!!”
“Anio.”
“Isssh, kau ini. Perlukah aku bawakan air ke sini dan menyirammu agar segera
bangun?”
Aku mengangguk. Ae Rin frustasi.
“Yak! Tunggulah! Aku ambilkan sekarang.”
Aku memeletkan lidah. “Nggak masalah, kamu pasti gak bakal tega menyiramku
dengan air,kan?”
“Aku menyerah,” kata Ae Rin akhirnya.
Dia beranjak pergi meninggalkan diriku di sofa. Tapi dengan sigap aku menahan
langkahnya. Dia menoleh, “Ada apa? Kau lapar dan mau makan kan, Oppa?”
Aku menggeleng dan menariknya agar duduk kembali.
“Terus kau mau apa?” tanyanya.
Aku menatap wajah dan matanya. Masih seperti dulu. Perlahan aku menarik
tubuhnya dalam pelukanku dan berbisik, “Menjadi milikmu seutuhnya. Ae Rin,
jeongmal saranghae.”
Henry POV END
A-I POV
Gadis itu memejamkan matanya saat merasakan kehangatan dari tubuh Henry. Entah
mengapa ada sedikit perasaan tentram dan damai di hatinya. Tiba-tiba, Ae Rin
merasakan sakit di kepalanya. Seolah-olah, dia bisa melihat kejadian yang sama
dulu saat seseorang memeluknya erat seperi Henry sekarang. Dia juga melihat
wajah seorang perempuan yang ditolongnya di jalan. Wajahnya sama seperti
perempuan yang menjenguknya dulu. Lalu Ae Rin juga ingat, dia pernah memberikan
jam tangan kepada perempuan itu. Siapa namanya? Ah, Ae Rin lupa! Dia mengerang
pelan, berharap Henry tak mengetahuinya. Tapi makin lama kepalanya serasa
pusing. Dunia seperti berputar cepat. Karena tidak kuat, gadis itupun pingsan.
#SKIP
Ae Rin terbangun saat seorang gadis membelai rambutnya dengan lembut. Dia
mengerjapkan kedua matanya, berharap bisa melihat orang itu dengan jelas.
Keningnya masih berkerut mencoba mengingat-ngingat. Dia yakin, orang yang ada
di sampingnya kini adalah orang yang sama dalam bayangannya tadi dan juga orang
yang berhasil dia selamatkan dulu.
A-I POV END
Nana POV
Seharian ini aku tidak bisa berhenti menangis. Hangeng Oppa selalu berusaha
menbujukku agar tenang, tapi nihil. Mataku masih tetap menatap Ae Rin. Ah,
sahabatku yang dulu sangat baik dan selalu pengertian dengan sikapnya yang
mandiri kini terbaring lemah di kamar tidurnya. Mungkin sudah sejam yang lalu
dia tak sadarkan diri. Dan semua ini tidak akan terjadi kalau saja... Air
mataku tumpah lagi. Tak sanggup ku jelaskan perasaanku sekarang.
Aku tersadar saat katup mata Ae Rin terbuka. Dalam keadaan setengah sadar, dia
kembali mengerjapkan matanya untuk bisa melihat dengan jelas. Aku tersenyum dan
mengusap air mata dengan punggung tanganku.
“Ae Rin,” ucapku.
Sayangnya dia masih belum ingat siapa aku. Dia menoleh ke arah laki-laki yang
pernah kutemui di rumah sakit beberapa bulan yang lalu, mencoba meminta
jawaban.
“Apa aku mengenalmu?” tanya Ae Rin.
Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Tidak lebih dan tidak kurang.
“Apakah kamu orang yang bernama Nana?”
Aku terkejut. Senang. Tapi masih dengan hati was-was.
“Iya. Aku Nana, Ae Rin. temanmu. Kamu ingat aku kan?”
Ae Rin diam saja. Lalu dia melanjutkan, “Kenalkah kamu dengan gadis yang ku
tolong di taman?”
Aku mengangguk.
“Berarti kamu sahabatku. Sahabat baikku. Ah! Terima kasih Tuhan. Kau telah mengembalikan
ingatanku.”
Ae Rin memelukku. Erat, seperti dulu dia memelukku saat ulang tahunku setahun
yang lalu.
“Kamu mengingatku sepenuhnya?”
“Iya. Ingat ini, ‘Orang sepertimu tidak akan dapat kutemui
karena tidak ada yang lain selain dirimu yang selalu menemani hari-hariku dan
bisa memberikan warna dalam hidupku.’?”
Aku melepaskan pelukannya dan mengangguk lagi. Dia juga masih ingat akan motto
persahabatan kami.
“Ae Rin, aku minta maaf, ya.”
“Untuk apa?” tanyanya
“Karena aku, persahabatan kita menegang. Karena aku, kamu jadi korban tabrak
lari. Dan karena aku,...”
“STOP Nana!” Ae Rin memotong kalimatku. Dia melanjutkan, “Sahabatku dari dulu
dan sekarang adalah kamu.”
Aku memeluk Ae Rin lagi. Menangis dipelukkan sahabat yang dulu pernah ku anggap
si pengkhianat ini.
“So, my friends. We started our
friendship again! Dimulai hari ini,” kata Ae Rin ke arahku, Hangeng Oppa
dan laki-laki itu, Henry.
Aku dan Hangeng Oppa tersenyum dan mengiyakan pernyataan temanku itu. Tapi
tidak untuk Henry.
“Just friend?”
Ae Rin menoleh ke arah Henry. Dengan setengah menggoda dia bilang, “Of course. Why not?”
Kami terbahak saat melihat ekspresi Henry yang menekukkan wajahnya. Kasian...
-_-
Nana POV END
Ae Rin POV
My problem is over. Yeah, aku sudah
bisa mengingat sahabat-sahabatku, Nana dan Hangeng Oppa. Aku juga sudah
berhasil mengembalikan memoriku yang hilang. Dan yang terpenting, aku tidak
akan bisa mengingat dan menyembuhkan penyakit amnesiaku jika tidak ada My Mochi Oppa, Henry Lau.
“Thanks, Oppa.”
“Untuk?”
“Kesetiaanmu, kesabaran dan perhatianmu padaku. Gomawo.”
Dia hanya mengangguk.
“Nana....”
“Ne?”
“Hope you never forget me. 'Cause you
always could be special someone in my heart. My best friend.”
“Ada juga yang lupa itu kau Ae Rin~ah. Bukannya Nana,” kata Henry.
“Aku kan lupanya karena beneran lupa...” kataku cemberut.
“Yak! Henry~ssi! Kau membuat Ae Rin sedih. Minta maaf atau ku suruh kau yang
tidak-tidak dan tidak pernah terbayangkan olehmu.”
Henry ketakutan. Dia segera menghampiriku dan meminta maaf sebelum Nana mengeluarkan
kutukannya. Nana dan Hangeng Oppa tertawa melihatnya. Ah, hidup ini indah jika
kita melihat dari segi keindahannya.
“Ae Rin, aku minta maaf.”
“Aku tidak memaafkanmu,” kataku sambil memeletkan lidah dan berusaha berlari
menjauhinya.
“Yak! Jangan begitu dong, chagi.”
“Wwwllleeee. Aw! Oppa! Lepaskan, aku!” kataku setengah meronta.
Henry tidak membiarkanku lolos. Dia malah membawaku pergi ke taman tempat kita
pertama kali bertemu.
“Kau gak bosen, Oppa ke taman ini?” tanyaku sambil duduk di kursi taman.
“Anio. Aku senang di sini.”
“Kenapa emangnya?”
“Karena ini adalah tempat pertama kali aku bertemu denganmu. Lagipula,
pemandangannya indah. Melebihi My Dreamland,” jelas Henry.
“Kau punya dreamland sendiri Oppa?”
“Iya.”
“Kalau boleh tau, apa pulau impianmu itu, Oppa?” tanyaku penuh selidik.
“Mencintai kamu sepenuhnya, Ae Rin,” jawabnya tersenyum.
Khas. Sama seperti dulu. Pipinya mengembang seperti mochi. Ah, ini dia bagian
yang aku sukai dari dia.
“Chagi...”
“Apa?”
“Saranghae. You’re my speciall someone.
‘Cause no one like you, honey. At least I still love you.”
Henry tiba-tiba memeluk dan mencium keningku.
“Me too, My Lovely. I love you so much.”
Ae Rin POV END
A-I POV
Pemandangan sore hari di taman ini menjadi berkali lipat lebih cantik dari
biasanya. Sepasang insan yang telah puas memadu kasih di taman itu kini
bergegas. Meninggalkan taman indah itu untuk pulang.
A-I POV END
A-I,
with SJ
23 MEI 2013