Labels

Friday 19 April 2013

Anugrah Untukku

Bismillah...


Jadwal kosong, lanjutkan menulis!!!


Kali ini cerita tentang anugrah yang Allah berikan untukku. Apa itu?






Awalnya aku juga tidak tahu. Tapi sekarang dan perlahan aku tahu dan mengerti. Allah menganugrahkan aku sebagai anak perempuan yang bisa dibilang sebagai siswa yang mampu bersaing karena sering menempati di peringkat 10 besar. Ya, aku berusaha jadi anak pintar yang selalu mendapatkan ranking. Walau sebenarnya, ayah ibuku tidak mengharuskan aku bersekolah hanya untuk peringkat. "Yang penting ilmu. Ranking hanya bonus," kata ibuku. Semoga dengan terus meningkatkan rankingku-sebagai bonus belajar juga-aku dapat melanjutkan cita-citaku kelak. Amin.


Next...


Aku memiliki hobi menulis, dan pembuktian sebagai aku sebagai penulis pemula yang masih amatiran adalah dengan mengirimkan naskahku pada event-event menulis (Tapi masih berbentok antologi) Dan Alhamdulillah, aku kini memiliki tiga buku antologi.



Lanjut....



Gadis yang memiliki tubuh yang indah pasti bolehlah dikatakan sempurna. Sayang, aku tidak memiliki itu. Tulang belakangku memiliki kelainan. Ya, aku pengidap skoliosis atau kelainan tulang belakang. Awalnya minder? Pasti. Malu? Banget. Alhamdulillah, semua itu hilang karena orang-orang terdekatku selalu mensupport agar bangga dengan anugrah yang satu ini.




Sebenarnya masih banyak. Tapi hanya ini yang bisa ku tulis malam ini.
Sleep!!!

And never stop dreaming!

Wednesday 17 April 2013

Ujian Hidup adalah Kasih Sayang Allah

FF ini terinspirasi dari kisah nyataku dan kisah nyata salah seorang temanku yang sama-sama pengidap skoliosis.


Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Dia selalu menguji kita dengan ujian karena Allah tahu, kita adalah hamba-Nya yang paling kuat untuk melewati ujian tersebut. Dan ketika seorang hamba dinyatakan ‘LULUS’ ujian, maka di sinilah derajat manusia tersebut, Insya Allah akan ditinggikan oleh-Nya.
 

Aku dilahirkan 16 tahun lalu sebagai anak perempuan yang normal. Fisikku, Alhamdulillah sempurna dan tidak kurang dari satu apapun juga. Semenjak kecil sampai menginjak dewasa, aku benar-benar merasa hidupku sempurna. Tapi perasaan itu berubah ketika ku duduk di bangku SMP.
Aku berpikir picik yang menganggap Allah sangat tidak adil saat aku didiagnosa dokter ahli tulang dan saraf tulang belakang. Dokter bilang bahwa aku mengidap kelainan tulang belakang, skoliosis. Astagfirullah. Penyakit apa itu? Sungguh, itu adalah hal yang tidak pernah terduga dan terpikirkan olehku. Aku memang awam akan penyakit itu. Sedikit yang ku tahu mengenai skoliosis, yang berarti kelainan tulang belakang yang menyebabkan tulang itu melengkung ke samping, kiri atau kanan.
Aku drop. Aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi. Kepesimisanku merubahku menjadi orang yang mudah menyerah dan selalu berkeluh kesah. Terlebih banyak orang yang mulai menilaiku karena kelainan yang ku derita. Setiap hari, ingin ku menangis sembari mengeluhkan penyakitku secara langsung ke Allah. Aku bertanya, ‘Ya Allah, apa maksud Engkau memberikan penyakit ini untukku?’ Pertanyaan yang ku lontarkan selalu sama, setiap malam sebelum ku tidur karena lelah menangis.
Syukurlah, aku masih memiliki orang tua yang mampu memberiku semangat dengan motivasi yang mereka berikan. Saat mendengarku menangis, ayahku selalu menasihatiku bahwa ujian ini hanya sementara. Jika dilewati dengan sungguh-sungguh dan percaya akan adanya keajaiban, Insya Allah, apa yang diharapkan akan terjadi. Aku mendengarnya seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Tidak berbeda dengan ayahku, ibuku juga melakukan hal yang sama. Hanya beliau lebih keras dan tegas untuk menyadarkanku dari kata ‘pesimis’.
Ayah dan ibuku lalu mencari pengobatan alternatif untuk kesembuhan tulang belakangku. Alhamdulillah, jalur alternatif itu cocok dan tidak seperti yang ku bayangkan. Dipikiranku waktu belum mengenal pengobatan alternatif adalah cara ‘tabib’ menangani pasiennya adalah dengan tehnik tusuk jarum dan ternyata baru ku tahu itu adalah pengobatan akupuntur.
Dan pengobatan ini bisa dibilang lebih mengenaskan daripada akupuntur. Seminggu sekali, aku harus menahan rasa sakit seperti ranting pohon yang ingin dipatahkan. Dengan optimis, aku percaya bahwa ini adalah proses pembentukkan diriku agar menjadi orang yang lebih ‘sempurna’. Setelah beberapa bulan terapi, diriku merasakan perubahan-perubahan yang baik.
Keajaiban memang benar adanya. Dia datang di saat yang tidak pernah ku duga. Setengah bulan lebih sehari hari berpuasa, aku mendapatkan sesuatu yang ganjil. Punggungku awalnya lebih besar sebelah kanan, karena dulu tulangku ‘ngumpet’ ke sebelah kanan, yang didiagnosa dokter tak bisa normal lagi, perlahan-lahan menyusut. Aku menyadarinya ketika sedang tidur-tidur ayan di kamar sambil membaca Shalawat Nabi. Malam itu adalah malam ke-17 bulan Ramadhan, malam diturunkannya Al-Qur’an, kitab suci umat Islam atau yang lebih sering didengar, malam Nuzulul Qur’an.
Aku teriak memanggil ayah dan ibu. Aku ceritakan semuanya kepada mereka. Ibu melihat dan memegang punggungku. Mereka mengucapkan syukur termasuk aku. Sungguh malam yang penuh berkah Allah, saat kitab suci Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW. Malam di mana aku percaya bahwa Allah memang sayang padaku. Malam di mana aku melupakan untuk selama-lamaya dan menjauhi sikap pesimisme.
Kini aku benar-benar yakin. Semua yang terjadi padaku itu adalah bentuk sayang Allah untukku. Semua yang sudah ku alami selama ini adalah proses Allah mengubahku menjadi manusia yang lebih baik lagi. Semua yang ku harapkan dan ku inginkan memang tidak pernah menjadi kenyataan. Namun, Allah tahu yang ku butuhkan bukan yang ku inginkan. Dengan bukti nyata, Allah memberiku anugrah ‘kekurangan’ dalam fisikku, tapi tidak untuk bidang akademisku.


Cerita nyata ini ada karena dari Surah Al Insyirah ayat ke-5 dan 6.

Oleh itu, maka (tetapkanlah kepercayaanmu) bahwa sesungguhnya tiap-tiap kesukaran disertai kemudahan, (Sekali lagi ditegaskan): bahawa sesungguhnya tiap-tiap kesukaran disertai kemudahan. (Q.S Al Insyirah:5-6)

Tuesday 16 April 2013

Penyesalan


   Tadinya FlashFiction ini pengen aku jadiin cerpen. Tapi bingung ngelanjutinnya gimana. Jadi dihentiin aja sampai sini.Happy reading! ^^


   “Aku mencintaimu, Rafty,” suara itu memang terdengar pelan tapi sangat keras dan langsung menikam jantungku. Tak terbayangkan bagaimana kagetnya aku saat Diaz menyatakan perasaannya padaku.   Aku memang menyukai Diaz, temanku yang selalu ada dalam keadaan apapun. Tapi kukira, dia tidak memiliki rasa untukku. Makanya waktu Ryan menyatakan cintanya untukku, langsung kuterima cintanya. Sekarang, tanpa alasan apapun, dia datang menemuiku dan langsung bilang, ‘Aku mencintaimu....’   Aku diam menatap matanya lalu menunduk menyembunyikan mukaku. Diapun bisu dalam beberapa menit, menungguku mengeluarkan kata-kata yang sangat diinginkannya. Oh, petaka! Mengapa baru sekarang dia menyatakannya? Mengapa tidak dari dulu sebelum aku sama Ryan? Dan mengapa penyesalan selalu datangnya terlambat?   “Rafty...” suara Diaz yang menggantung memecahkan keheningan diantara kami.   Aku kembali mengangkat mukaku. Mata kamipun bertabrakkan.   “Maafkan aku, Diaz. Aku tak bisa,” kataku sambil menangis.
   “Tapi kenapa? Apakah kamu tak mencintaiku?”   Dengan mata yang berlinang air mata aku menatapnya dan saat itupun aku membisu.   “Jawab Ty!”   “Aku.. Aku.. Aku.... Bukan aku tidak mencintaimu. Tapi....”   “Tapi apa? ”   Tanpa kujawab semua pertanyaannya, aku langsung pergi meninggalkan Diaz sendiri. Diaz hanya dapat menoleh ke belakangnya, arah dimana aku meninggalkan Diaz seorang diri. Dengan wajah tak bersalah ia langsung mengejarku dan meminta alasan mengapa aku pergi begitu saja meninggalkannya.
   “Aku mohon, jawab aku” dengan nada melas.
   “Aku.. ”   “Katakan.. apakah kamu mencintaiku?”   Aku hanya tertunduk dan menimbun air mata yang sudah berada di ujung kelopak mataku. Suasana menjadi hening dalam sekejap. Akupun mulai menggerakkan bibirku dengan berat hati aku menjawab. 

  “Tidak.” Dengan suara yang agak pelan.   Diaz menghela nafas panjang. Mungkin karena jawaban yang ia harapkan tidak ia dapatkan. Tapi apa daya, aku telah bersama Ryan tak mungkin aku memutuskan hubunganku dengan Ryan dan berpacaran dengan Diaz.   Disela-sela keheningan itu, Diaz berusaha memastikan jawabanku dan mencoba memecahkan keheningan, “ Jika kamu tidak mencintaiku, tatap mataku dan katakan AKU TIDAK MENCINTAIMU”.Aku langsung tersentak dan mencoba berfikir apa yang harus kulakukan. Dengan helaan napas aku mengankat wajahku ke arahnya. Aku mencoba mendalami tatapan matanya. Mencoba memahami perasaannya lewat matanya. Mencoba merubah semuanya yang sudah terjadi. Dan aku putuskan aku mengikuti sarannya. Mataku yang masih berkaca-kaca berusaha menatapnya seraya berkata, “Aku... Aku... Aku.. Aku tidak mencintaimu dan tak akan pernah mencintamu. Puas? Dan sekarang tolong persilahkan aku pergi!”   “Baiklah..” kata Diaz dengan nada yang pasrah dan tak berdaya.

   Aku berbalik dan meninggalkannya. Air mata ini terus mengalir. Diaz maafkan aku. Perlulah kau tahu, aku sangat mencintaimu. Tuhan, mengapa penyesalan ini selalu datang terakhir? jerit hatiku.Suara dentuman keras membuatku kaget. Suara itu berasal tidak jauh dari tempatku berbicara dengan Diaz tadi. Akupun berbalik. Ketika aku melihat siapa korbannya, akupun menjerit sejadi-jadinya.

A-I

SOMEDAY



---Suatu hari nanti, aku akan membuktikan janjiku padamu. I try to promise you.---Henry Lau
Fanfiction ini untuk orang yang selalu hadir dimimpiku. Mungkin terlalu lebay, tapi inilah perasaan yang kupendam untuknya. Thanks for Super Junior specially Henry Lau, our Mochi Oppa. because of you, I can write this fanfic.
So, Happy reading my readers!
Cast: 
Henry Lau
Choi Hye Mi
Park Min Ra
and others
J
“APA? Pindah ke Seoul?! Ani. Aku betah di sini!” bentak seorang namja.
            “Tapi kau harus ikut kami, sayang. Hanya dua tahun saja. Itu tidak lama, kok. Kamu setuju ya?” bujuk eoma namja tersebut.
            “Mama tidak mengerti! Pindah rumah sama aja pindah sekolah dan aku harus mencari teman baru lagi. Itu susah, Ma,”tolak Henry.
            “Mama yakin, kamu bisa mencari dan menemukan teman di Seoul.”
            “Mungkin. Tapi tidak ada yang sebaik Hye Mi! Pokoknya aku tidak ikut. Terserah Mama, mau pindah atau nggak. Yang penting aku tetap pada pendirianku,” ucap Henry kesal sambil masuk ke kamarnya.
            Eoma Henry hanya bisa terdiam dan memikirkan cara untuk membujuk putranya. Ditekanlah nomor seseorang. Terlihat wajah sumringah di wajahnya.

J
Di kamar, Henry sibuk sendiri dengan biolanya. Telinganya disumpal earphone agar saat eoma atau orang memanggilnya, dia tidak mendengar. Di sisi lain (depan pintu kamar Henry) ada seorang yeoja yang dengan kesalnya memanggil-manggil namanya. Nihil. Tidak direspon oleh Henry. *yaiyalah, orang pake earphone.gimana mau denger XD*
“Mochi!!! Buka pintunya!” teriak yeoja itu.
Henry melepas earphonenya, tapi malas untuk membuka pintu. Diapun melanjutkan permainan biolanya.
JEDEEERR!
Pintu kamar Henry terbuka. Henry yang kaget hanya bisa bengong. Tapi itu hanya sebentar. Sebab, begitu tahu Hye Mi yang datang, dia meneruskan permainan biolanya. Hye Mi menggelengkan kepalanya. Dia lalu mencoba merampas biola yang sedang dimainkan Henry.
“Hey! Apa-apakan kau?! Mengambil biola sama dengan mencuri! Kau harus kulaporkan pada polisi!” marah Henry.
“Mochi, dengar! Aku begini karena kamu ngacuhin aku. Sekarang biolanya mau kukembalikan tapi kamu dengerin aku atau ku buang lewat sini?!” tanya Hye Mi.
“Hufftt... Baiklah. Aku mendengarkanmu.”
Henry memilih mengalah daripada biolanya rusak karena ingin dilemparkan Hye Mi lewat jendela kamarnya. Melihat itu, Hye Mi tersenyum dengan senyum kemenangan.
“Oke. Kau mau cerita apa?” tanya Henry.
“Mochi, aku sudah tahu semuanya,” ucap Hye Mi. Menggantung.
“Tahu apa? Makanan dari soya kan? Hehe..” ledek Henry.
                “Aishh. Aku serius.”
                 Henry diam. Hye Mi melanjutkan ceritanya.
                “Kamu mau pindah ke Seoul kan, Oppa?” Pertanyaan Hye Mi seketika membuat kaget Henry.
                “Kau tahu dari mana, Hye Mi~yaa? Berita dari mana itu?” tanya Henry panik.
               “Dari mamamu. Kenapa kamu gak bilang jauh-jauh hari? Setidaknya aku bisa mempersiapkan diri untuk jauh dari kamu,” ujar Hye Mi meledek.

“Yak! Chagi! Gak ada sedih-sedihnya amat sama pacarmu ini. Tapi tenang aja. Aku memutuskan untuk di Paris. Kalau mamaku mau pindah ya terserah. Aku gak akan mau pindah. Aku kan sudah mendengarkan ceritamu. Sekarang, kembalikan biolaku!”
Hye Mi tersenyum hambar. Dia mengembalikan biola Henry dan mencoba memikirkan cara bagaimana agar pacarnya yang manja ini mau ikut mamanya pindah ke Seoul. Hye Mi sendiri sebenarnya takut, kalau Henry pindah berarti dia harus melakukan LDR (Long Distance Relantionship). LDR? Selama ini Hye Mi tidak pernah berpikir untuk melakukan itu. Dia takut sikap manja Henry makin menjadi. Dekat aja udah begini, gimana kalau jauh? Bisa jadi sikap kekanak-kanakkannya malah semakin parah.
Henry menghentikan permainan biolanya. Dia bingung melihat Hye Mi yang diam menundukkan wajahnya. Henry mendekatkan dirinya ke Hye Mi. Dan ketika dia mengangkat wajah Hye Mi, dia kaget karena Hye Mi menangis.
“Chagi, kamu menangis?” tanyanya panik.
“Mataku hanya kelilipan, Mochi. Eh, iya. Aku boleh ngasih saran gak?”
“Apa?”
“Kamu ikut pindah ke Seoul.”
            Henry tidak percaya apa yang baru diucapkan oleh Hye Mi. Dia tertawa. Tapi tawaan Henry dibalas oleh tatapan tajam Hye Mi.
            “Tidak lucu, Mochi!” marahnya.
            “Tidak lucu dari mana? Tadi sudah aku bilang kan? Aku gak mau pindah. Aku tetep di sini, Hye Mi~yaa.”
            “Tapi Oppa. Kamu harus ikut mamamu. Lagian di Seoul kan hanya sebentar. Cuma 2 tahun. Itu kan tidak lama.”
            “Aku mau kau jawab pertanyaanku.”
             Hye Mi mengangguk. “Oke.”
            “Kau tahu kalau aku di Seoul, mamaku menyuruhku untuk apa?” tanyanya.
            “Mamamu menyuruh kamu melanjutkan kuliahmu di sana dan juga perusahaan yang dibangun oleh papamu. Aku gak mau kamu jadi pembangkang orang tua. Makanya aku mohon ke kamu, kamu ikut dia ke sana. Ya, ya ya?” pinta Hye Mi.
            Jadi, Mama gak bilang yang sebenarnya ke Hye Mi kalau aku mau dijodohkan dengan anak temannya, gumam Henry. Aku ke Seoul sama aja akan menyakiti hati Hye Mi. TIDAK AKAN KU BIARKAN ITU TERJADI! APAPUN RESIKONYA.
            “Oppa? Gwenchana? Kok melamun? Hellow! Ada nyawakah di raga pacarku ini?”
            “Eh, Hye Mi. I’m sorry.
            What for?” Hye Mi bingung melihat Henry yang tiba-tiba pucat pasi.
            Henry tidak mau menceritakan yang sebenarnya pada Hye Mi. Tegakah dia menyakiti Hye Mi? Tentu tidak, jerit hatinya.
            “Sudah sore. Oppa, aku mau pulang. Pikirkan kata-kataku tadi ya, Mochi~ah. Bye!” pamit Hye Mi.
            “Aku antar kau, Hye Mi. Please wait for a minute.” Dibalas anggukan oleh Hye Mi.
#SKIP
            Tape di mobil Henry tidak berhenti memutar lagu kesukaan Hye Mi. Someday. Lagu boyband favoritenya, Super Junior.
            “Oppa...”
            “Hmm..  Kenapa chagi?”
            “Kalau sudah ada di Seoul dan ketemu member Super Junior terutama Yesung salamkan salamku ya?”
            “Chagi, harus berapa kali kau harus dibilangin, sih? Aku tidak akan pernah mau untuk pindah ke Seoul. Arra?” ucap Henry kesal. Dia memang tidak habis pikir, mengapa Hye Mi sangat antusias menyuruhnya pindah ke Seoul? Entahlah.

J
            Merci!”
            ’Egalement.”
            “Masuk dulu, Oppa,”tawar gadis itu.
            “Lain kali aja, aku pulang ya.”
            “Ne. Hati-hati Oppa! Dan tolong, pikirkan saranku untuk pindah ke Seoul.”
           Henry mengangguk lemah. Dia kesal, tapi tidak mungkin dia marah.  Sesudah Hye Mi menutup pintu mobilnya, perlahan roda bergerak meninggalkan rumah Hye Mi.

#SKIP
3 bulan kemudian,

Hye Mi berhasil membujuk Henry untuk pindah ke Seoul. Hari ini Hye Mi mengantarkan Henry dan keluarganya ke airport. Mata sembab. Hanya itu yang berhasil Henry berikan pada gadis cantik di depannya. Jauh 180 derajat dengan Henry, Hye Mi justru selalu tersenyum. Berusaha menguatkan dan menghibur Henry.
“Chagi, tunggu aku di sini,ya. I’ll be back!” janji Henry.
“Yak! Mochi, my Oppa! Jangan jadi namja cengeng! Malu tahu diliatin banyak orang tuh.”
Henry mengacak-acak rambut Hye Mi gemas. Hye Mi hanya bisa tertawa melihat pacar, hmm koreksi. Calon mantan pacarnya kesal dengan sindirannya. Biarlah! Biarlah dia tertawa sebelum air mata di matanya jatuh. Ya menangis! Menangis adalah ritual utama Hye Mi saat Henry sudah pergi. Meninggalkan dirinya tanpa pernah berharap kembali.
“Oppa..” kata Hye Mi sambil memberikan sesuatu.
Henry menerimanya dengan hati was-was. “Apa ini?”
“Buka setelah sampai di Seoul.”
“Oke. Maaf chagi, aku harus pergi... Kalau saja ini bukan permintaanmu, aku tidak...”
“Cukup! Nanti kamu tertinggal pesawat! Kajja masuk!”perintah Hye Mi.
Henry mengangguk. Kalau Hye Mi tidak berada di tempat umum, tentu dia sudah tertawa lepas karena anggukan Henry persis seperti waktu mereka kecil dulu.
I love you,” ucap Henry sambil mencium kening Hye Mi.
Love you too my Mochi.”
Bayangan Henry perlahan hilang dari hadapannya. Di tersenyum merasakan air membasahi pipinya. Akhirnya aku bisa bebas menangis. Henry Lau, my chingu. I still become the best friend for you.
Setelah puas menangis, Hye Mi pulang dengan mata merah.
J
Sesampainya di Seoul, Henry mempercepat langkahnya ke hotel. Berpisah dengan orangtuanya yang harus menyelesaikan urusan pribadi mereka. Ah, paling mereka mau bertemu client mereka di restaurant, pikir Henry.
Tak perlu waktu lama, dia sudah berada di depan kamar hotelnya. Belum sempat mengganti pakaiannya, tangan dan matanya kini mencari surat yang diberikan Hye Mi tadi di bandara. Where are you, Hye Mi’s letter? Henry hampir saja lupa. Surat dari Hye Mi ada di tas yang dibawa eomanya. Aduh, mengapa jadi lupa begini ya? Pikir Henry.
“Mah, di tas kecil yang Mama bawa ada surat dari Hye Mi, gak? Mama di mana sih? Aku ke sana ya, ngambil suratku!”
Eoma pun memberitahukan Henry di mana dia sekarang.
Henry sebenarnya malas pergi ke sana. Tapi demi surat Hye Mi, dia rela keluar dari kamarnya yang hangat ini ke tempat yang di mana orangtuanya berada.
“Henry!” teriak appanya.
Ok. Henry, dengar! Kalau Papa Mamamu mengajakmu makan, bilang saja sudah kenyang. Ambil surat itu dan bergegaslah kembali ke hotel. Begitu hati kecilnya bicara.
“Mana suratnya, Ma?” tanya Henry.
Eoma Henry langsung menyerahkan surat itu ke Henry. Henry menerimanya dengan mata berbinar. Diapun bergegas pamit ke hotel.
Tapi belum sempat dia mengeluarkan kata, appanya melarang untuk pergi sebelum dia makan sesuatu dari restaurant ini.
“Aku sudah makan, Pa!”
“Pokoknya kamu harus makan dulu di sini. Sebentar lagi Min Ra datang membawa makanan yang di pesan,” jelas appanya.
Henry pasrah. Tiba-tiba dia ingat appanya menyebut nama seorang yeoja. Jangan-jangan dia orangnya,gumam Henry.
“Permisi!! Pesanan datang!” kata seorang perempuan.
Henry mengangkat kepalanya. Matanya beradu pandang dengan gadis yang membawa makanan yang dipesan appanya. Gadis itu tersenyum sekilas pada Henry.
“Henry. Kenalin, ini Min Ra,” kata eomanya.
“Henry.”
“Min Ra, imnida.”
Perkenalan singkat, tapi cukup membuat kesal hati Henry. Gadis dihadapannya ini memang tidak kalah cantiknya dengan Hye Mi. Tapi dia merasa orangtuanya tidak adil jika harus menjodohkannya dengan anak teman mereka. Henry tahu dia salah. Karena selama 5 tahun menjalin kasih dengan Hye Mi, dia tidak memberitahu appa dan eomanya. Dia hanya takut hubungannya ditentang oleh orangtuanya, karena mereka mengenal Hye Mi sebagai kawan sepermainannya sedari kecil.
            Ada rasa bersalah di hati Henry. Kalau saja dari dulu dia tidak menyembunyikan hubungannya dengan Hye Mi kepada orangtuanya, pasti dia tidak harus menerima perjodohan ini. Henry melihat orangtuanya akrab sekali dengan gadis itu. Hatinya gerah. Matanya mensiratkan ketidaksukaannya dengan Min Ra.
Selama di restaurant itu, Henry sama sekali tidak menyentuh makanannya. Dia memilih meminum coklat panas yang dia pesan. Minuman yang menjadi fovoritnya dan Hye Mi di Paris saat musim dingin tiba. Sambil menyeruput pelan coklat panasnya, dia membaca surat dari Hye Mi. Perlahan, matanya mengikuti kata demi kata yang ditulis Hye Mi.

Dear My Mochi Oppa,
Aku tahu, kamu pindah bukan karena harus ikut dengan orangtuamu untuk kuliah di sana dan meneruskan perusahaan Papamu, Henry~ah. Kamu harus bertunangan juga dengan anak teman Mamamu juga kan? Saat mendengarnya dari Mamamu kemarin secara langsung, hatiku sakit Oppa. Mungkin kalau saja dari awal kita tidak menyembunyikan hubungan kita di depan orangtuamu, Mamamu tidak akan memaksamu pindah. Ya kan? Tapi apa daya, sudah terlambat. Mereka hanya menganggap kita berteman akrab sejak kecil. Tidak lebih dari itu.
Kini ku harap kamu mau menuruti perintah orangtuamu. Maaf, aku tidak bisa mencegahmu pergi. Tapi jangan artikan aku tidak mencintaimu. At least I stiil love you, my Mochi. Always! Ever and forever. And I hope you can find a happiness with Min Ra.
Satu lagi. Hilangkan sikap kekanak-kanakkanmu pada siapapun terutama Min Ra. Oh ya, hubungi aku ketika sudah sampai di Seoul. Tapi tidak dengan suara marah padaku seperti terakhir kamu mengantarkan aku pulang. Promise?
Your friend as your first love

Choi Hye Mi

Saat membaca surat itu, matanya panas. Hatinya tidak karuan. Dia ingin marah. Entah dengan Hye Mi, kedua orangtuanya atau Min Ra. Kalau aja dia tidak ada, perjodohan inipun juga tidak ada kan?
        Henry mengambil ponsel dan mengetik nomor yang sudah dia hapal mati. Setelah ditekannya nomor tersebut, dia meninggalkan kursinya.
            “Mau ke mana?” tanya eomanya.
            Tidak dijawab Henry karena dia marah dengan eomanya.
            “Henry-ssi!” panggil eoma.
            “Biarkanlah dia sendiri. Pasti dia mau menelepon Hye Mi.”ujar appa.
J
            “Yeoboseo?”
            Hening...
            “Henry~ah. Kamu sudah sampai Seoul? Selama di sana apakah kamu bertemu member Super Junior? Apa...”
            “Apa maksud isi suratmu?” potong Henry.
            Kini giliran Hye Mi yang diam.
            “Jawab Hye Mi~yaa!”
            “A..aku.. aku...”
           “Kau ingin melepasku begitu saja dengan membiarkan aku menikah dengan perempuan lain yang tidak kucintai? Sebenarnya apa sih yang ada dipikiranmu sekarang? Aku tahu aku salah karena aku tidak jujur ke Mama dan Papa tentang hubungan kita. Tapi caramu seperti ini tidak akan membuat permasalahan selesai!”
            Air mata Hye Mi mengalir deras. Ditahannya tangisnya, dikuat-kuatkannya suaranya yang bergetar melawan tangis. Dia tidak seperti yang dipikirkan Henry. Dia hanya ingin Henry tidak menolak keinginan orangtuanya. Terlebih Hye Mi tahu, kalaupun dia menikah dengan Henry, dia hanya akan membuat Henry bersedih karena vonis dokter akan penyakitnya. Hye Mi menderita kanker hati. Dan selama ini, dia tidak memberitahu Henry tentang penyakitnya.
            “Oppa...”
            “Apa alasanmu?! Aku mau mendengarnya!” bentak Henry.
           “Oppa! Please! Aku akan menceritakan alasanku mengapa aku begitu. Tapi kalau kamu membentakku seperti ini, tidakkah kamu pikir aku sakit mendengar bentakkanmu itu, hah! Lebih baik, kita tidak usah lagi saling kenal!”
Tut...
Sambungan di putus sepihak. Henry terpana, dia menyesal telah kasar dengan Hye Mi. Gara-gara hatinya yang lagi bad mood, dia harus membentak Hye Mi. Perasaan bersalah muncul. Pasti Hye Mi telah marah dan tidak mau memaafkan kesalahannya.
            Sementara di sebrang sana. Gadis yang dikenal dengan senyum dan pribadi mandiri serta selalu ceria, kini berbanding terbalik. Tidak ada lagi senyum di wajah cantiknya. Tidak ada lagi sikap dewasa yang tegar di raganya. Hatinya sakit saat menerima telepon dari Henry. Dia tidak habis pikir Henry akan setega itu membentaknya. Kini boneka memberian Henry diulang tahunnya yang ke-17 basah oleh air mata Hye Mi karena menangis.
          “Aku melakukan ini karena aku mencintaimu Mochi. Sungguh, tidak ada laki-laki lain yang terspesial di hatiku. Hanya kamu my lovely, cinta pertama dan terakhir untukku. Aku harap, suatu hari nanti kamu bisa mengerti keputusanku. Oh, kepalaku! Tuhan! Sakit... sakit! Aku mohon jangan sekarang sebelum sampai Henry merubah sikap kekanak-kanakannya. Please! Just waiting for two years my Lord! Please! Aaa! Oppa! Jebal!” sambil menangis melawan sakitnya dia berteriak-teriak meninta tolong. Lalu pandangan gadis itu gelap.

J
Semenjak menelepon Hye Mi lima bulan lalu, Henry kehilangan kontak dengan gadis itu. Menghubungi Hye Mi balik sudah dia lakukan setiap hari namun yang didapat adalah suara operator.
Hye Mi~yaa maafkan aku. Aku janji aku tidak akan membentakmu lagi. Aku juga akan merubah sikapku untukmu. Asal kamu juga janji untuk tidak membenciku. Chagi, aku rindu denganmu. Aku rindu dengan senyuman khasmu. Tapi mengapa semenjak kejadian itu, aku tidak bisa menghubungimu lagi? Kau kemana Chagi? Mengapa seakan kau menghilang begitu saja? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi? Hye Mi, saranghae!lamun Henry.
“Henry-ssi!” ucap seseorang.
Henry menoleh ke sumber suara. Suara Min Ra. Dengan mendengus kesal dia menghampiri yeoja itu.
            “Ada perlu apa? Aku tak punya banyak waktu!” tanya Henry acuh.
            “Hmm, aku disuruh ahjuma mengantarkan ini.”
            “Apa ini?” tanyanya.
            “Surat dari seseorang di Paris. Tapi aku tidak tahu siapa yang mengirimkannya. Dia hanya menuliskan Miss H,”kata gadis itu panjang lebar.
            “Gomawo.”
            “Ne,” ujarnya singkat sambil memperhatikan intens Henry.
            Pikiran Min Ra membayangkan betapa gantengnya wajah si chubby ini. Dia terus melihat Henry. Sementara Henry sediri? Tangannya membuka surat itu perlahan namun pasti. Dia tidak sabar membaca tulisan Hye Mi. Walaupun dia tidak melihat Hye Mi langsung, tapi setidaknya rasa rindu Henry terobati. Baginya, membaca surat dari Hye Mi sama aja bertemu dengan Hye Mi.
            Baru membaca sekilas, Henry merasa seseorang memperhatikannya dengan lekat. Saat menoleh, matanya langsung menangkap objek yang sangat tidak disukainya. Min Ra. Ngapain dia masih di sini? Gadis itu tersenyum pada Henry. Persis seperti Hye Mi. Untuk sesaat, dia terpesona oleh senyuman Min Ra. Tapi bayang-bayang Hye Mi membuatnya sadar. Gadis dihadapannya ini bukanlah pacarnya. Mata Min Ra masih intens menatap Henry. Dilihat seperti itu, membuat Henry gerah. Marahlah dia dengan gadis cantik itu.
            “Apa urusanmu denganku belum selesai?” tanya Henry dan membuat Min Ra kaget.
            “Hmm... Ani. Urusanku sudah selesai kok.”
            “Lalu mengapa kau jadi patung di situ?!”
            Min Ra kikuk. Dia tahu, dari awal sebenarnya Henry tidak suka bertemu dengannya. Dia ingin meminta maaf karena telah menganggu Henry. Namun belum sempat dia mengeluarkan kata-kata dengan keras Henry membentaknya keluar.
            “Jika kau tidak keberatan, silakan keluar!”
            Min Ra diam. Rasanya dia ingin menangis, tapi masih dikuatkannya hatinya untuk tersenyum.
            “Apa kau tuli? Kubilang keluar dari kamarku!”
            “Hmm, hmm”
            “KELUAR!”
            BRAKK!
            Pintu kamar Henry ditutup dengan keras otomatis Min Ra tidak bisa membendung air mata yang sedari tadi ditahannya.
            “Sebenci itukah kau padaku Henry-ssi? Hiks...!”
           Min Ra kemudian pamit pulang pada eomanya Henry. Perempuan separuh baya itu heran karena mata Min Ra yang merah. ketika ditanya mengapa, gadis itu hanya bisa menjawab, “Aku tidak apa-apa ahjuma. Mataku hanya gatal.”

J
          Masih terlihat jelas senyum gadis itu yang tidak pernah luntur walaupun keadaannya jauh lebih buruk dari pada kemarin. Hampir setahun sudah, Hye Mi dirawat di rumah sakit. Sungguh! Dia tidak betah di tempat ini. Tapi  demi mengurangi rasa sakit dan menghindari Henry yang katanya selalu menelepon serta menemuinya beberapa hari lalu di rumahnya, dia rela menghabiskan waktunya di tempat yang dia benci.
Surat yang ditulisnya lima bulan lalu untuk Henry sudah dia dapatkan balasannya beberapa jam setelah suratnya dinyatakan sampai ke Seoul. Hye Mi yang membaca surat permintaan maaf Henry merasa kalau perlahan sikapnya berubah. Dia senang membaca setiap kalimat yang ditulis Henry dengan sedikit perubahan. Hye Mi pun ingin sekali membalas surat itu. Sayangnya, dia tidak mungkin menulis surat jika setiap detik darah segar mengalir dari hidungnya.
            “Appa, kapan aku bisa pulang? Aku tidak betah di sini?” tanya Hye Mi pada appanya.
            “Sebentar lagi, kamu boleh pulang, sayang. Bersabarlah. Nanti Appa izin dulu sama dokternya ya,”jelas appa Hye Mi sambil mengelus rambut Hye Mi.
            Wajah pucatnya beusaha Hye Mi sembunyikan. Dia tidak ingin melihat ayahnya sedih karena penyakitnya.
            “Hye Mi, apa kamu tidak memberitahu Henry? Dari awal kamu masuk rumah sakit, sepertinya dia tidak datang menjengukmu. Lalu ketika dia ke rumah ingin bertemu kamu, kamu juga membujuk Appa agar Henry tidak tahu keadaanmu yang sebenarnya. Apakah Henry sudah tidak peduli lagi sama kamu, sahabat kecilnya?” tanya appa lembut.
            Hye Mi diam. Lalu menangis. Sang ayah yang melihat itu sungguh tidak tega. Dipeluklah tubuh putri semata wayangnya. Hye Mi merasakan hangatnya dekapan sang ayah. Diapun sedikit tenang.
            “Maafkan Appa. Appa tidak bermaksud membuatmu menangis.”
            “Tidak Appa. Appa tidak salah. Aku memang sengaja tidak membuat Henry tahu tentang penyakitku. Aku juga mau Henry tidak lagi menganggapku pacarnya tapi hanya sebagai temannya. Aku hanya mau Henry bahagia dan tidak menangis melihat keadaanku sekarang. Aku... aku ingin dia bahagia dengan wanita lain pilihan orangtuanya. Aku melakukan itu karena aku mencintainya. Appa, berjanjilah padaku untuk tetap merahasiakan penyakitku dari Henry.”
            Hye Mi senang melihat ayahnya mengangguk, tanda setuju. Perlahan ayahnya melepaskan pelukkannya. Membiarkan putri kecilnya beristirahat. Dengan perlahan, dia baringkan tubuh Hye Mi di tempat tidurnya.
            “Appa, terima kasih,” ucap Hye Mi.
            “Untuk apa?”
            “Untuk semua yang Appa lakukan padaku.”
            “Sama-sama, sayang. Sekarang Hye Mi tidur ya! Appa akan menjagamu di sini,” kata appa sambil menyelimuti tubuh Hye Mi.
            Hye Mi mengangguk. Mungkin karena lelah setelah menangis tadi, dia cepat terbuai dalam mimpi. Ayahnya hanya bisa menangis di lorong rumah sakit. Dia hanya pasrah dengan keadaan Hye Mi sekarang dan berharap bisa sembuh dari penyakitnya.

J
         Lima hari lagi, Henry akan menikah dengan Min Ra. Semua undangan sudah disebar, termasuk ke Hye Mi di Paris. Hye Mi yang membaca undangan itu hanya bisa tersenyum menahan sakit. Entah karena sakit di kepalanya atau sakit karena laki-laki yang sangat mencintainya sebentar lagi akan menikah dengan orang lain.
            Hye Mi mengambil ponselnya yang sudah lama dia nonaktifkan. Begitu diaktifkan, banyak sekali misscall dari Henry. Selain misscall, ratusan pesan masuk juga dari Henry. Hye Mi memang mematikan ponselnya semenjak Henry menghubunginya setahun lalu. Dia tidak ingin dihubungi oleh Henry selama sikapnya tidak berubah. Lagipula jika dia tetap menyalakan ponselnya, Henry pasti akan segera tahu kalau dia sedang dirawat di rumah sakit. Dia tidak mau semua itu terjadi.
            Hye Mi mencoba mengirim pesan singkat ke Henry.
                To: Henry Lau (Mochi)
                Undanganmu sudah aku terima Oppa. Maaf karena tugasku yang menumpuk aku baru bisa membalas smsmu. Ingat Henry-ssi, kamu harus mengubah sikap manja dan keras kepalamu itu. Oh ya. Sepertinya lima hari lagi aku tidak datang. Perubahan iklim di sini membuatku flu. Dan aku tidak mau fluku semakin parah jika harus berpergian. Ku harap kamu mengerti. Maafkan aku my Friend. Trust me, you can find happiness with Min Ra. You can loving her. You can live without me.
Love:Choi Hye Mi as your friend.
            SENT!
            Hye Mi meletakkan ponselnya. Berharap Henry tidak membalasnya.
            Sementara di Seoul, Henry yang menerima sms itu dari Hye Mi. Dia kaget karena lama tidak ada kabar, sekarang dia mendapatkan kabar dari pacarnya, Hye Mi. Tidak mau membuang waktu, dia segera menelepon Hye Mi.
            “Hye Mi~yaa!” saat telepon diangkat dari sebrang.
            “Hi, Mochi Oppa,” jawab Hye Mi lemah.
            “Mengapa lama tidak ada kabar? Kau masih marah padaku?” tanya Henry.
            “Aku sudah memaafkanmu, asal sekarang kamu menelepon dengan tidak lagi membentakku. Maaf Mochi, aku tidak bisa datang ke Seoul. Aku flu di sini. Aku takut fluku makin parah ketika aku berpergian jauh. Jeongmal mianhae!” ujar Hye Mi bohong. Gadis itu mengusap hidungnya dan dia kaget saat darah mengalir layaknya air keran.
            Henry menangis. “Kalau kau gak bisa ke Seoul, biar aku yang menikah di Paris. Asal kau datang diacara itu.”
            “Jangan, Mochi. Pasti persiapan di Seoul lebih matang daripada di Paris. Sebentar ya, aku mau ke kamar mandi. Tutup saja dulu. Nanti aku yang akan meneleponmu,” ujar Hye Mi sambil memegang kepalanya.
            “Tidak usah. Kau bawa saja handponemu ke kamar mandi. Aku menunggu sampai kau selesai, chagi.”
            “Mochi kau lupa! Sekarang hubungan kita sudah berakhir. Dan jangan panggil aku chagi lagi. Aaa!!! Appa... Jebal!”teriak Hye Mi sambil berusaha menjauhkan ponselnya dari mulut.
            Henry sempat mendengar teriakkan Hye Mi. Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan Hye Mi? Dia cemas, tapi tak tahu harus berbuat apa. Dipanggilnya Hye Mi, tapi tidak ada jawaban selain sayup-sayup teriakkan seorang gadis.
            “Hye Mi! Hye Mi! Kau kenapa? Jawab Hye Mi!”
            -Appa jebal!!! Kepalaku pusing!
            *Hye Mi! Kamu kenapa?!
            -Kepalaku pusing, Appa. Pusing!!! Aaa!!
            *Hye Mi! Bangun sayang! Bertahanlah, Appa panggilkan kamu dokter.
            Ya, hanya suara itu yang sempat ditangkap oleh telinga Henry. Ada apa ini sebenarnya. Dia memutuskan sambungan dan berlari menemui appa, eomanya.

J
“Pa, Ma. Aku mau pulang ke Paris!” ucap Henry memotong pembicaraan appa eomanya.
            “Apa maksudmu?” tanya eomanya bingung.
            “Aku mau ke Paris sekarang!”  tegas Henry.
            “Sebentar lagi kau menikah, Henry. Untuk apa ke Paris?”
            “Aku hanya ingin tahu keadaan pacarku di Paris.”
            “Siapa pacarmu? Apa dia yang menyuruhmu ke sana?” marah appa Henry.
            “Hye Mi, Pa, Ma! Hye Mi pacarku. Kami sudah lama berpacaran. Dan sejak setahun lalu aku menghubunginya di restaurant dia tidak ada kabar lagi. Tadi dia sempat menghubungiku lewat pesan dan aku balik meneleponnya. Tapi di tengah-tengah kami ngobrol, ada suara jeritan Hye Mi dan samar-samar suara minta tolong. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengannya. Aku mau menyusulnya sekarang!”
            Orangtua Henry diam. Mereka tidak habis pikir, Hye Mi yang mereka anggap hanya sebagai teman biasanya Henry ternyata adalah seseorang yang spesial di hati anak mereka. Perasaan bersalah timbul. Namun tidak dapat membatalkan untuk menikahkan Henry dan Min Ra.
            “Aku harap kalian mengerti. Dia adalah cinta pertamaku, Pa, Ma. Jadi tolong, biarkan aku pergi menemuinya di Paris,” mohon Henry.
            Henry pasti berpikir, dia akan kena omel orangtuanya. Tapi dia hanya bisa pasrah jika itu terjadi. Tanpa diduga, eomanya menghampirinya dan berkata, “Mama ikut kamu ke Paris. Kita berangkat sekarang.”
            Henry tak percaya. “Mama serius?” tanyanya. Mamanya mengangguk tanda setuju.
            “Pa, izinkan aku pergi. Aku mohon,” pamit Henry.
            Papanya menatap lekat Henry. Kemudian mengangguk.
            “Pergilah. Kejar cintamu, Henry.”
            “Terima kasih, Pa.”

 Setelah bersiap-siap, mereka bertiga menuju Incheon Airport untuk take off ke Paris. Tiba-tiba seorang gadis mencegat mobil mereka.
            “STOP!”
            Ternyata Min Ra.
            “Mau apa lagi dia?” gumam Henry.
            Henry turun dari mobil dan menyuruh Min Ra pulang. Tapi Min Ra tidak mau.
            “Apa maumu, Min Ra?” tanya Henry marah.
            “Aku ikut denganmu ke Paris.”
            “Untuk apa?”
            “Pokoknya aku mau ikut! Izinkan aku pergi ke Paris bersamamu.”
            “Baiklah, naik!”
            Gadis itu senang karena keinginannya bisa dituruti Henry.
#SKIP
At hospital...
            “Maaf, kamar pasien yang bernama Choi Hye Mi di mana ya?” tanya Henry.
            “Di kamar 8 A lantai tiga.”
            “Ok. Merci.”
            ’Egalement.
            Henry, Min Ra dan orangtuanya segera naik ke lantai 3 dan mencari kamar Hye Mi.

J
            Tok... Tok... Tok!
            Pintu kamarpun dibuka. Munculah ayah Hye Mi dengan mata sembab karena menangis sejak 5 lima jam yang lalu.
            “Ahjusshi, gimana keadaan Hye Mi?” tanya Henry.
            Ayah Hye Mi memeluk Henry.
            “Ahjusshi!”
            Ayah Hye Mi melepaskan pelukannya dan menarik Henry masuk ke kamar pasien. Betapa terkejutnya Henry melihat keadaan Hye Mi sekarang. Gadis itu bukanlah gadis yang dia kenal. Gadis itu bukanlah Hye Mi yang terakhir kali dilihatnya setahun lalu. Henry hampir tidak percaya kalau gadis yang terbaring lemah dan kini dihadapannya adalah Hye Mi, pacarnya.
            Mata Hye Mi belum mau terbuka tapi sesungguhnya dia tidak tidur. Dia bisa merasakan kedatangan Henry. Tubuhnya bergetar hebat karena masih merasakan sakit. Perlahan Hye Mi membuka matanya. Dan itu membuat Henry sedikit senang.
            “Hye Mi~ah! Aku di sini, sayang. Aku di sini!” panggil Henry sambil memegang tangan Hye Mi.
            “Oppa.. My Mochi, Oppa?”panggil Hye Mi.
            “Ne, chagi. aku di sini!”
            Air mata Hye Mi mengalir. Dia senang bisa bertemu Henry. Matanya memandang ke sekelilingnya dan terhenti karena tertuju pada seorang perempuan lain. Perempuan itu mungkin juga seusianya dan dia yakin bahwa perempuan itu adalah sepupunya yang tinggal di Seoul, Park Min Ra.
            “Min Ra-ssi?”
            Henry dan orangtuanya terkejut saat mendengar Hye Mi memanggil Min Ra. Darimana mereka kenal, pikir mereka.
            “Min Ra-ssi, kemarilah!” perintah Hye Mi.
            Min Ra menghapus air matanya. Dia lalu memeluk Hye Mi. Melihat itu semua, Henry hanya menatap kedua gadis itu aneh. Tidak mengerti.
            Min Ra adalah anak pamannya dari pihak ibu. Mereka bermarga Park. Mendiang ibu Hye Mi mengganti marganya saat menikah dengan ayahnya Hye Mi yang bermarga Choi. Mereka terpisah sejak kecil karena Hye Mi dan ibunya harus ikut dengan  ayahnya yang dipindahtugaskan ke Paris.
            Hye Mi lalu menjelaskan semua itu ke Henry dan keluarganya. Ayah Hye Mi sebenarnya tahu kalau gadis itu Min Ra. Hanya karena waktu mereka berpisah, Min Ra masih kecil. Jadi dia tidak terlalu ingat betul dengan keponakkannya.

Sewaktu mamanya Henry menceritakan Min Ra kepada Hye Mi, dia jadi ingat sepupunya yang berada di Seoul. Maka dari itu, dia sangat antusias jika Henry menikah dengan sepupunya yang tidak sedang melawan sakit seperti dirinya. Dia berpikir, jika Henry bersama Min Ra, Henry akan menemukan kebahagiaan dengan sepupunya itu yang tentu tidak mungkin diberikan olehnya.
            “Maafkan aku Hye Mi. Dari awal, aku tidak tahu kalau Henry itu pacarmu,”ucap Min Ra lirih.
            “Kamu tidak salah Min Ra-ssi,” balas Hye Mi tersenyum.
            Setelah puas melepas kangen dengan sepupunya, Min Ra beranjak keluar.
            “Mau kemana?”
            “Aku ke toilet dulu Hye Mi. Nanti aku pasti ke sini,” ujar Min Ra.
            Min Ra lalu mengajak pamannya, ayah Hye Mi, untuk membicarakan sesuatu. Sementara di kamar Hye Mi, Henry dan orangtuanya berusaha menghibur Hye Mi agar lupa dari penyakitnya

J
“Sebenarnya Hye Mi sakit apa ahjusshi?” tanyaMin Ra begitu mereka berada di luar rumah sakit.
            “Seperti ibunya, kanker darah. Dan menurut dokter hidupnya sudah tidak lama lagi.”
            Mendengar penuturan pamannya, Min Ra hanya bisa menangis. Dia lalu berniat untuk menemui dokter yang selama ini merawat Hye Mi.
#SKIP
            “Jadi tidak ada cara untuk bisa menyembuhkannya, dok?”
            “Maaf, sekali lagi saya tegaskan, hanya dengan cangkok sumsum tulang belakanglah yang bisa menyembuhkannya. Jikalau adapun, itupun sangat berbahaya untuk Hye Mi,”jelas dokter Kim.
            Dengan langkah gontai, Min Ra keluar dari ruangan dokter itu. Maafkan aku Hye Mi. Aku tidak bisa membantumu.,gumam hatinya.
            Min Ra kembali ke ruangan Hye Mi. Dilihatnya wajah sepupunya dengan mata sembab. Hye Mi tertidur pulas setelah perawat menyuruhnya minum obat. Min Ra yakin, obat itu untuk meredakan sakit bukan untuk menyembuhkan penyakitnya. Kini diruangan itu hanya ada dirinya, Hye Mi dan Henry. Pamannya dan orangtua Henry sekarang berada di hotel yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit ini.
            Setelah memastikan Hye Mi benar-benar terlelap, Henry memutuskan untuk pindah ke sofa. Dia menghampiri Min Ra yang masih terisak di pojok ruangan itu.
            “Kau tidak ikut ke hotel, Min Ra?” tanya Henry.
            “Ani. Aku di sini saja untuk menjaga sepupuku. Jika kau ingin ke hotel, silakan. Biarlah aku yang menjaganya. Lagipula, kau terihat lelah Henry-ssi.”
            Henry menggeleng. “Aku juga akan menjaganya,” lanjutnya.
            Hening seketika...
            “Jadi, ini alasanmu ikut aku ke Paris Min Ra?”
            “Iya. Aku sempat ditelepon ahjuma. Katanya, kalian sekeluarga ingin menjengguk seseorang yang bernama Hye Mi. Begitu mendengar namanya, aku merasa tidak asing dengan nama itu. Lalu aku bertanya pada ayahku, apakah aku kenal dengan seseorang yang bernama Hye Mi. Dan ayahku menjelaskan kalau aku punya sepupu yang bernama Hye Mi dan dia tinggal di Paris. Maka dari itu, aku menyusulmu dan ingin memastikan kalau yang ingin kau jenguk adalah sepupuku. Ternyata setelah lama berpisah, kami akhirnya bertemu,”jelas Min Ra panjang lebar.
            Henry mengangguk mengerti.
            “Kau mau kemana Min Ra?” tanya Henry saat melihat Min Ra berdiri.
            “Aku akan duduk disebelah ranjangnya Hye Mi. Kau tidur saja di sofa,”kata Min Ra.
            “Kalau begitu aku juga.”

Merekapun menjaga Hye Mi bergantian. Setiap satu jam sekali mereka bergantian untuk tidur dan menjaga Hye Mi. Namun itu tidak lama. Karena ketika sudah ketiga kali terjaga, kali keempat, Min Ra menyerah dan tertidur.
J
            Hye Mi terbangun karena mimpinya semalam sangat indah. Dia lalu tersadar karena dilihatnya sepupunya tertidur di sebelah kanannya. Ingin Hye Mi membangunkannya tapi dia tak tega. Dia lalu menoleh ke kiri, wajah Henry yang tertidur masih sama seperti dulu. Pipi chubbynya, yang sering menjadi bahan cubitan gemas tangannya. Disentuhnya wajah Henry dengan perlahan, takut membangunkannya. Tapi gagal. Henry keburu bangun saat tangan Hye Mi belum selesai mengelusnya.
“Maaf. Aku membangunkanmu.”
            “Tidak masalah. Kau sudah bangun Hye Mi?”tanya Henry.
            “Ne,”jawab Hye Mi singkat.
            Tidak lama kemudian Min Ra pun terbangun. Hye Mi tersenyum padanya. Min Ra senang melihat sepupunya yang sudah bisa tersenyum lagi. 
“Aku mengganggumu ya?” tanya Hye Mi.  
“Tidak Hye Mi. Aku memang sudah seharusnya bangun, kan?”balasnya.
“Apa kalian lapar?” tanya Henry pada Hye Mi dan Min Ra.
Mereka mengangguk.
“Tunggulah sebentar aku akan membawakan kalian makanan,” ucap Henry sambil berlalu.
Selama Henry pergi, Hye Mi berbincang dengan Min Ra. Sampai akhirnya Hye Mi berkata,”Min Ra, apakah kamu mencintai Henry?" 
Pertanyaan Hye Mi membuat Min Ra sedikit terkejut. Dia memang mulai menyukai Henry. Tapi dia tidak mau merebutnya dari Hye Mi.
“Tidak. Begitupun dia padaku. Kami tidak saling mencintai,”jawab Min Ra bohong.
“Tapi kamu akan menikah besok dengan Henry, Min Ra.” 
“Pernikahan itu akan kami batalkan. Dan kami akan merawatmu sampai kau sembuh dan setelah itu kau bisa menikah dengan Henry,” jelas Min Ra tegas. Walau sebenarnya hatinya sakit. 
Terlihat wajah sedih di wajah Hye Mi. Min Ra sadar hal itu. Karena mereka tahu, penyakit Hye Mi sama sekali tidak bisa disembuhkan.
Obrolan mereka berhenti saat Henry kembali sambil membawa tiga makanan.
“Aku suapi, ya?”tawar Henry.
Hye Mi mengangguk. Perlahan Henry menyuapi Hye Mi. Kemesraan mereka dapat mengembalikan senyum Hye Mi yang hampir saja punah. Henry senang gadisnya dapat tersenyum lagi. Tapi tidak untuk Min Ra. Ada sedikit hatinya tidak rela melihat mereka. Cemburukah? Entahlah. Yang jelas selama setahun mengenal Henry, belum pernah dia melihat Henry sebahagia itu. Mata dan hatinya panas. Min Ra mempercepat makannya dan segera pamit keluar.
J
            Berhari-hari Henry dan Min Ra selalu berada di sisi Hye Mi. Hal itulah yang membuatnya lebih segar daripada biasanya. Hye Mi malah lupa akan penyakitnya. Rutinitas sehari-hari mereka setelah makan pagi adalah membawa Hye Mi ke taman untuk menikmati udara segar. Min Ra dan Henry juga sudah membatalkan pernikahan mereka. Semua itu demi kebaikkan Hye Mi semata.
           Hari ini, ketika selesai makan dan ingin ke taman, tiba-tiba Hye Mi merasakan pusing yang teramat sangat. Hidungnya mengeluarkan darah dan dia meronta kesakitan. Min Ra yang melihat itu panik dan segera memanggil dokter. Sementara Henry? Dia berusaha menenangkan gadis itu dengan cara membaringkan Hye Mi di tempat tidur. Tapi Hye Mi terus meronta-ronta menahan sakit sambil menangis. Tangisnya reda saat dirinya kehilangan keseimbangan dan jatuh pingsan. Beruntung, tubuhnya sempat ditangkap Henry.
          Henry kembali membaringkan tubuh gadis mungilnya ke tempat tidur. Hatinya tidak karuan. Dia lalu menciumi kening Hye Mi lama seraya mengatakan, Kamu harus kuat chagi. Tak lama kemudian, dokter datang dan menyuruhnya keluar. Dengan setengah hati dia melangkahkan kakinya keluar. Dia lalu menghubungi ayahnya Hye Mi dan menenangkan Min Ra yang sedari tadi menangis.
           Dokter yang memeriksa Hye Mi keluar setengah jam kemudian. Dia lalu bertanya,“Apa di sini ada ayahnya Hye Mi, Henry dan Min Ra?”
            Ketiga orang yang dipanggil dokter segera mengampiri dokter.
            “Saya Henry dan mereka adalah ayah Hye Mi dan Min Ra,” jelas Henry.
       Dokter menyuruh ketiganya masuk. Mereka langsung masuk dan menemui Hye Mi. Gadis itu tersenyum saat orang-orang yang dicintainya menghampiri dirinya. Ayahnya langsung memeluknya.
            “Appa... Maafkan atas semua salahku. Terima kasih karena sudah merawat dan menyayangi Hye Mi. Maafkan aku, Appa. Aku mencintaimu.”
          Ayahnya hanya bisa terisak mendengar perkataan Hye Mi. Perlahan Hye Mi melepaskan pelukan ayahnya. Kini dia menatap Henry dan Min Ra bergantian. Senyum gadis itu tidak berubah.
            “Henry Oppa!...”
            Henry menahan air matanya. Dia memeluk Hye Mi erat.
           “Maukah kamu menepati janji untukku?” tanya Hye Mi.
           “Demi kau, Hye Mi~yaa. Aku akan menepati janjiku. Suatu hari nanti, aku akan membuktikan janjiku padamu, yaitu merubah sikap kekanak-kanakkanku.”
            “Termasuk janjimu untuk menikahi Min Ra?” tanya Hye Mi.
            Henry melepas pelukannya. Matanya tersirat keraguan.
            “Tidak. Aku akan menikah denganmu, chagi. Aku..”
            “Apa kamu mencintaiku?” tanya Hye Mi serius sambil memotong perkataan Henry.
            I love you soo much, Hye Mi. Forever!” jawab Henry.
            “Oppa, If you love me, please marry her! I know you can find happiness without me. But, the love from her. Berjanjilah!”
            Min Ra yang mendengarnya menangis haru. Dia tak sanggup jika harus berpisah lagi dengan sepupunya.
            “Min Ra-yaa!”
            Min Ra pun menghampiri Hye Mi dan memeluknya erat.
            Don’t cry honey. I love you! And you must promise me,” ucap Hye Mi kepada sepupunya.
            What do you want?”
          “Tolong jaga Oppa Mochi-ku, Min Ra. Aku mohon padamu. Aahh!! I belived you,” jelas Hye Mi memohon sambil menahan sakitnya.
            “Pasti. Aku menyayangimu, Hye Mi. Maafkan aku,” ujar Min Ra.
            Perlahan Hye Mi melepas pelukannya.
            “Oppa... Kamu belum berjanji padaku.”
           At least I still love you. I’m yours, Hye Mi~yaa. And I promise you. Your love can life in my heart. Always! I love you! Aku akan menikah dengan Min Ra karena kamu, chagi,
            “Thanks, my lovely. Saranghae. Sekali lagi, maafkan aku. Aku tidak bisa terus bersamamu.
Hye Mi memeluk erat Henry. Dan tidak dilepas oleh Henry. Hanya untuk beberapa saat saja. Ya, beberapa saat. Karena setelah itu, Hye Mi lemas dan melonggarkan pelukkannya. Matanya terkatup rapat. Napasnya hilang. Dan dokter memvonisnya meninggal. Suara tangis pun meledak. Terlebih Henry yang tidak berdaya saat mengetahui cinta pertamanya pergi untuk selama-lamanya.

J
            Tiga tahun kemudian...
            “Chagi, thanks for everything. I love you,” ucap seorang pria pada istrinya.
            “Ne Oppa. Because of you, my last love and specially Hye Mi, your angel. Tanpanya, kita tidak akan pernah saling mengenal dan mencintai satu sama lain,” ucap sang istri sambil menatap batu nisan yang ada di hadapannya.
            “Oppa...” panggil Min Ra.
            “Wae?” tanya Henry.
            “Kau sudah berhasil merubah sikap burukmu. Aku yakin, Hye Mi pasti senang melihatnya di sana.”
            “Ya. Semoga. Aku juga tidak akan pernah berubah tanpa hadirnya dirimu saat ini, chagi. Min Ra~yaa, saranghae,” ujar Henry.
            “Nado saranghae.”


A-I, inspirasi from Henry Lau
16 April 2013