---“Kamu mau tahu apa
alasanku melakukan itu semua?” tanya pria itu. Wanita di sampingnya mengangguk.
“Karena aku mencintaimu, sayang. I love you
so much.”---Henry.
Note : FF yang butuh
waktu cuma dua minggu! (Rekor, karena biasanya selesai 1 bulan lebih -_-)
Seperti biasa, Thanks buat Hangeng Oppa sama Mochi Lau Oppa! Karena kalian, aku
bisa menulis fanfiction ini.
Cast : Park Jung Ae
a.k.a Jung Ae Lau (?), Henry Lau, Tan Hangeng.
Genre : Romance, little
sad (?) and ...(kau tahu apa keterangan untuk cerita tentang kehidupan setelah
menikah. Kalau iya, kasih tahu aku karena aku tak tahu apa istilahnya. -_-
#gubrak)
“Oppa! Sarapanmu sudah siap! Kajja makan!” teriak seseorang
pada suaminya.
“Hhmm... iya chagi.
Sebentar lagi!” Terdengar balasan dari arah kamar.
Lima menit berlalu... Setelah
selesai menata makanan, orang yang ditunggu-tunggu tidak juga keluar.
“Oppa! Kau sudah
bangun, kan? Kajja makan! Aku menunggumu di sini.”
Tidak ada jawaban.
Karena penasaran, yeoja itu segera menghampiri suaminya yang masih ada di
kamar.
“Ckckckck.... Oppa
bangun!” teriak Jung Ae.
“Ada apa? Ah, kau
chagi. Sebentar lagi, ya sayang! Aku masih ngantuk,” ucap pria itu sambil
menarik kembali selimutnya.
“Aishh! Kau ini!
Banguun Oppa! Sudah siang!” Kali ini Jung Ae menarik selimut tebal yang
membalut tubuh suaminya.
Usahanya tidak sia-sia.
Walaupun masih terkantuk-kantuk, pria bermata sipit itu akhirnya bangun dan
segera duduk di tepi tempat tidur.
“Cepat mandi Oppa terus
sarapan! Sudah siang ini! Nanti kalau terlambat gimana?” perintah Jung Ae
sembari menggerutu.
“Arrasso!” jawabnya
parau.
“Aku tunggu di meja
makan, Oppa!”
“Chagi...” panggil pria
itu.
Langkah Jung Ae terhenti.
“Nde? Kau perlu apa?”
“Itu,” ucapnya
menggantung.
“Apa?”
Pria itu tidak menjawab.
Dia langsung berdiri mendekati Jung Ae dan mengecup bibir istrinya pelan.
“Oppa!” teriak Jung Ae
melepaskan ciuman suaminya.
“Morning kiss, chagi! Kamu lupakan ini lagi!” gerutunya.
“Yak! Kau ini! Ku kira
apa! Sana cepat mandi!” kata Jung Ae mendorong tubuh suaminya ke kamar mandi.
“Aku mencintaimu,
chagi!” teriak pria itu seiring dengan menutupnya pintu kamar mandi.
Jung Ae hanya
tersenyum. Dia juga merasakan hal yang sama, meskipun perasaan terhadap
suaminya itu baru tumbuh di bulan ketujuh mereka menikah.
FLASHBACK!
“Aku hanya ingin kau mengerti satu hal, chagi.”
Pria itu menghela
napasnya perlahan. Dia menatap lawan bicaranya lekat dan ingin menghapus air
matanya karena bulir-bulir bening menggenang di pelupuk matanya yang bengkak.
Tapi itu jelas tidak mungkin dilakukannya. Padahal tanpa dia tahu, lawan
bicaranya juga mengharapkan sentuhan jari tangannya itu menghapus air mata yang
terus keluar tanpa kendali.
“Oppa... Please!”
Pria itu menggeleng. “Aku mencintaimu.
Aku hanya tidak ingin kau membantah perintah orangtuamu, chagi.”
“Kau egois! Keras kepala! Aku
membencimu, Hangeng-sii!” Tangis wanita itu menjadi.
“Mianhae. Tapi bagiku ini
jalan terbaik untuk kita,” ucap pria itu pelan.
“Dengan membuatku menderita?
Mengapa tidak sekalian saja kau membunuhku?! Biar rasa sakit itu tidak menjalar
sampai ke hati dan seluruh perasaanku padamu! Jawab aku, Oppa! Mengapa kau
tidak..... arghhh!” jerit gadis itu memegang perutnya.
“Jung Ae? Gwenchana?”
“Arrgh!!! A..Ap...appo! Oppa!”
“Kau kenapa? Asam lambungmu
naik lagi?”
“Molla. Tapi perutku sakit,
Oppa! jebal!!!!”
Seketika, pandangan
gadis itu gelap.
----
“Chagi... kau sadar?”
“Arkhh... Oppa! Aku di
mana?” erangnya.
“Kau di rumah sakit...”
Gadis yang sudah lama
phobia dengan rumah sakit itu mendengarnya kaget dan berusaha untuk bangun dari
tempat tidurnya. Namun usahanya sia-sia karena seseorang menahannya.
“Oppa! Aku mau pulang!
Bawa aku pulang, Oppa! Aku takut.. Hiks..hiks!”
“Gwenchana chagi. Kau harus
banyak istirahat dulu.”
“Shiro! Aku enggak betah,
Oppa! Tadi aku cuma sakit perut biasa aja kan? Aku mau pulang!” isaknya
tertahan.
“Kau tahu? Apapun
permintaanmu, akan kuturuti, chagi. Tapi aku mohon, rehatlah dulu di sini,
sampai dokter mengizinkanmu pulang. Okay?” kata pria itu memeluk Jung Ae.
“Oppa janji?”
“I’m promise! Saranghayo, chagi! Sekarang, kau tidur, ya. Aku di
sini menunggumu,” ucap pria itu mencium gadisnya.
---
“Aku sangat mencintainya. Tapi aku juga harus merelakannya menikah
denganmu, saeng-ssi!” ucap Hangeng lirih sambil menatap seorang gadis yang masih
tergolek lemas di depannya.
“Aku
mengerti perasaanmu, Hyung! Maafkan aku,” ucap pria lain pelan.
“Kau tidak salah. Ini
sudah takdir. Aku hanya tidak ingin melihatnya sedih.”
“Tapi apa yang kamu
buat terhadap Jung Ae, justru telah menyakiti hatinya, Hyung!” tegas pria itu.
“Anio! Ini jalan yang
terbaik untukku, untukmu dan untuk Jung Ae. Kau tahu? Sampai kapanpun aku tidak
akan pernah dan bisa untuk melupakannya, Henry!”
Lawan bicaranya, hanya bisa
diam tertunduk. “Apa aku harus membatalkan pernikahanku dengannya untukmu,
Hyung?” tanya Henry pelan.
“Andwe!”
“Waeyo? Bukankah kamu
mencintainya, eoh? Tak sakitkah hatimu
jika nanti Jung Ae bersamaku? Aku tidak mau dianggap sebagai orang
ketiga dalam hubungan kalian! Bisakah kamu mengerti itu?” ucap Henry emosi.
Hangeng diam dan menatap
intens orang yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri. Tiba-tiba...
“Hyung! Hidungmu...”
Henry yang melihat itu segera mengeluarkan sapu tangan sembari menyapu noda
darah yang mengalir dari hidung kakaknya sekilas dan bergegas memanggil dokter.
Tapi Hangeng mencegahnya.
“Aku tidak apa-apa,
saeng-ssi. Henry, aku mengerti apa yang kau rasakan. Maafkan sikap egoisku. Kau tahu kan, aku melakukan ini karena
umurku tak lama? Aku...aku mohon padamu. Tolong jaga Jung Ae untukku.
Buatlah dia bahagia bersamamu. Aku yakin, kau adalah pria yang tepat untuk Jung
Ae. Karena alasan inilah aku memilihmu, Henry-ssi! Aku harap kau bisa mengerti.”
“Maaf Hyung. Aku tak
bisa.”
“Aku tak memaksamu.
Tapi aku mohon bantuanmu untuk membuat Jung Ae bahagia karena tersakiti olehku.
Aku melakukan ini karena aku mencintainya seumur hidupku,” ucap Hangeng
tersenyum getir.
Henry tertegun
mendengarnya. Dia tentu tidak mungkin untuk bilang tidak. Dia sangat
menyanyangi orang menyebalkan ini.
“Kau mau melakukan ini
untukku kan?” tanya Hangeng dengan mata memohon.
Henry seolah-olah
terhipnotis oleh kelakuan kakaknya. Entah sadar atau tidak, dia mengangguk
pelan dan dibalas senyuman indah dari lelaki yang masih mengelap darah di
hidungnya dengan sapu tangan.
Henry tak bisa menahan
kesedihanya. Dia memeluk kakaknya erat dan berharap semua yang dikatakan
kakaknya itu tidak menjadi kenyataan.
“Gwenchana, Henry...
gwenchana!”
“Sekali lagi, maafkan
aku, Hyung! Aku masih berharap kamu masih bisa menarik kata-katamu.”
“Hey! Kenapa kau bicara
seperti itu?” ucap Hangeng melepaskan pelukannya.
“Karena aku yakin satu
hal.”
“Apa itu?”
“Gadis yang bernama
Park Jung Ae itu hanya mencintai kakakku yang bernama Tan Hangeng,” jawab Henry
sambil melihat Jung Ae dan Hangeng bergantian.
Hangeng sudah menduga
itu. Sedikit kaget memang, tapi dia kembali tersenyum pada adiknya itu. Senyumnya
semakin mengembang saat Jung Ae mulai sadar dari tidurnya. Sebenarnya, gadis
itu tidak tertidur tadi. Dia mendengar jelas pembicaraan antara pacarnya dengan
orang yang kata orangtuanya adalah tunangannya itu. Gadis itu menangis
tertahan. Tak mau membuat pacarnya curiga.
“Oppa?” panggilnya pelan.
“Ne chagi. Aku di sini.”
Gadis itu tersenyum. “Apa aku
boleh pulang, Oppa? Aku takut.”
“Jangan takut, chagi. Kata
dokter, besok kau sudah bisa pulang.”
“Kenapa harus besok?”
tanya Jung Ae kecewa.
“Sekarang kan udah
malem, kau tidur lagi, ya.”
“Tapi...”
“Sssstt! Tidur chagi, sleep well!” ucap Hangeng mengecup
kening gadisnya pelan.
“Oppa temani aku ya! Jangan
kemana-mana!”
“Ne,” ujarnya singkat.
Tangannya menggenggam erat tangan gadisnya hingga dia tertidur.
Melihat kemesraan
kakaknya dengan gadis di depannya membuat Henry tak tega menuruti permintaan
kakaknya. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.
“Hyung, aku izin keluar
sebentar,” pamit Henry berbisik ke Hangeng. Pria itu takut menganggu Jung Ae.
“Ne. Jangan lama-lama.”
Henry membalasnya
dengan senyum simpul dan mengangguk.
FLASHBACK END!
“Chagi! Kamu melamun, eoh?” tanya Henry yang sudah siap
dengan pakaian dinasnya.
“Eh... a...anio, Oppa! Aku
tidak melamun. Kau sudah rapi, rupanya!” balas Jung Ae sambil merapikan dasi
suaminya itu.
“Jinjja? Kau sepertinya sedang
memikirkan sesuatu. Ada apa? Mau cerita?”
Pria itu intens menatap mata
indah istrinya.
“Sudah selesai. Kajja, kita
sarapan!” ajak Jung Ae seolah-olah tidak memperdulikan pertanyaan Henry.
Ada
apa denganmu, chagi? Apakah saat ini kau merindukan Hangeng Hyung? Aaaa! Dasar
pabo kau Henry! Mengapa dulu kau mau menerima permintaan konyol Hyungmu itu!
sudah jelas-jelas Jung Ae milik kakakmu. Mengapa kau mengambil kebahagian
wanita tak berdosa itu?! Dasar pabo!
“Oppa? Kenapa kau hanya jadi patung
di sana? Kajja makan!” panggil Jung Ae pada Henry.
Henry tersenyum dan
menyusul istrinya yang menunggunya di meja makan.
---
“Chagi, aku pergi dulu.”
“Hati-hati, Oppa!
Jangan lupa siang ini, kau harus makan bekalmu!” balas Jung Ae mengantar
suaminya sampai teras.
“Arrasso!” jawab Henry singkat
sambil mencium kening Jung Ae.
Pria bermata sipit itu
mengulum senyumnya sebelum masuk dalam mobilnya.
Tak butuh waktu lama, sosok
mobil berwarna hitam itu menghilang dari pandangan Jung Ae.
---
“Aigoo! Aku lupa kalau besok tepat setahun aku dan Henry menikah.”
Wanita itu histeris
saat melihat kalender digital yang tidak sengaja dia lihat.
“Selama ini aku kan
belum pernah membuatnya bahagia. Aku kasih apa ya? Hmmm... sepertinya dia akan
menyukai itu...” ujarnya sembari tersenyum.
Jung Ae segera ke dapur dan
melakukan sebuah kejutan untuk Henry. Butuh tiga jam dia mempersiapkan semua itu.
Memang tidak mewah. Tapi Jung Ae berharap, Henry bisa tersenyum bahagia seperti
apa yang sudah pria itu lakukan untuk membuatnya bisa tersenyum kembali.
@9.30 PM KST
Selesai mengerjakan
pekerjaan rumah dan memasak, Jung Ae segera masuk ke kamarnya. Rasa bosan mulai
menghampiri wanita itu. Terkadang, dia berharap kalau Henry lebih baik tak
bekerja dan menemaninya di rumah. Tapi itu tidak mungkin mengingat jabatan
suaminya yang tinggi di kantornya.
Jung Ae menghela napasnya.
Tiba-tiba dia teringat dengan sosok lelaki penyayang yang pertama kali
mengajarkan arti cinta sesungguhnya. Air matapun tumpah seketika dari sepasang
mata berwarna coklat itu.
FLASHBACK!
Jung Ae masih diam dengan pandangan nanarnya. Entah sudah berapa liter (?) air
mata yang dia keluarkan hingga tak mampu lagi untukknya menangis. Hanya suara
berat yang mampu dia ucapkan sambil menatap seorang pria yang terlelap di dalam
sebuah kotak.
“Oppa... sudah malam! Oppa kan
belum makan. Kita makan yuk! Aku sudah buatkan makanan kesukaanmu,” ucapnya
pelan.
Lawan bicaranya tentu tidak
bisa dan ‘takkan pernah merespon apapun yang dia ucapkan. Gadis itu masih terus
memaksa namjachingunya agar segera bangun untuk makan. Dan kelakuannya membuat
Henry tak tega.
“Jung Ae...”
“Henry... Kenapa Oppa enggak
mau bangun, ya? Padahal, ini kan sudah lewat jam makan malam,” tanyanya pada
Henry
Gadis itu kembali mengguncang
pelan tubuh namjachingunya. “Oppa, lihat! Semua orang di sini memakai baju
dengan warna favoritemu. Kau suka kan? Bangun dong Oppa! Please...” bujuk Jung
Ae.
Nihil. Lalu dia
frustasi karena usahanya sia-sia belaka.
“Arrrghhh! Oppa! Kalau kau
enggak mau makan, aku juga enggak akan memasakan makanan kesukaanmu lagi!
Oppa.... Please! Banguuun, Oppa!”
Henry yang melihat itu
langsung membawa gadis itu menjauh dari peti kakaknya. Jung Ae kembali menangis
dan berusaha menolak Henry yang berusaha memisahkannya dari namjachingunya.
“Aku masih mau di sini! Jangan
ganggu aku dengan Hangeng Oppa!” marah Jung Ae.
“Jung Ae, dengar...”
“Hiks...hiks...enggak! Aku
enggak mau dengar ocehanmu lagi! Aku tahu, kau itu bohong! Iya, kan?”
“Jung Ae... Aku lelah
mengatakan ini padamu. Aku hanya ingin kamu tahu satu hal. Hangeng Hyung sudah
senang di sana. Ketahuilah, dia sangat mencintaimu. Kamu juga pernah bilang, kamu
sangat mencintainya, kan? Kalau iya, pasti kamu ingin dia tidak merasakan
sakit. Dan aku mohon padamu. Relakan dia tidur dengan tenang. Karena dengan
cara inilah, Hyung tidak merasakan sakit lagi.”
Gadis itu terdiam
sambil menangis. Dia tahu, dengan Hangeng pergi untuk selamanya, pria itu tentu
sudah tidak perlu bersusah payah melawan sakitnya. Tapi kepergian pacarnya
secara cepat seperti ini, cukup membuatnya frustasi.
“Aa...aku hanya masih enggak
percaya, dia meninggalkanku, Henry! Aku takut!” isaknya.
Henry menarik tubuh Jung Ae ke
dalam pelukannya dan membiarkan air mata gadis itu membasahi bajunya.
“Aku mengerti. Tapi ini
jalan terbaik untuk Hangeng Hyung karena sekarang dia bisa bebas dari
penyakitnya. Arra?” tanya Henry melepaskan pelukkannya.
“Ne, arrasso,” jawab
Jung Ae pelan.
Ia lalu mengusap air mata gadis itu dengan ujung ibujarinya.
“Jangan menangis di depan pacarmu ya. Balaslah senyumnya,”
bisik Henry.
“Gomawo.”
Gadis itu kembali
mendekati namjachingunya yang tertidur pulas. Tubuhnya bergetar menahan tangis.
Dia tidak mau menangis lagi di depan pacarnya. Sebisa mungkin dia tersenyum
untuk membalas senyuman manis yang tersunggingkan dari wajah pacarnya.
“Oppa, kau sudah senang
sekarang, kan? Aku yakin, kau sudah tidak merasakan lagi sakitmu. Aku selalu
mencintaimu, Oppa! Sleep well!” ucap
Jung Ae mencium pelan kening pacarnya.
Entah karena apa, dada
Henry sesak tiba-tiba saat melihat kejadian itu.
FLASHBACK END!
Suara mobil berhenti di luar membuat Jung Ae tersadar dari tangisnya. Itu pasti
Henry! Wanita itu buru-buru mengambil sapu tangan dan menghapus air matanya.
Dia tidak mau Henry tahu dirinya menangis karena teringat oleh Hangeng.
Jung Ae langsung keluar kamarnya
dan segera membukakan pintu untuk suaminya. Sebisa mungkin ia tersenyum agar
Henry tak curiga akibat menangis tadi.
“Oppa, kau sudah pulang? Kajja
kita makan. Aku sudah masak makanan kesukaanmu,” ajak Jung Ae sambil menyambut
Henry dan meraih tas kantornya.
“Enggak usah kamu bawain
chagi. Biar aku aja!” jawab Henry.
“Enggak apa-apa Oppa! Ini
sudah tugasku,” balas Jung Ae tersenyum.
“Tapi itu berat, lho!
Sini, biar aku aja.”
“Aissh, ini belum
seberapa, kok,” ucap Jung Ae sambil mengambil tas itu dari tangan suaminya.
Henry tersenyum simpul. Dia
membiarkan Jung Ae membawa tasnya. Meladeni sikap keras kepala wanita itu sama
saja menambah masalah.
“Ya udah, kita masuk
yuk!” ajak Henry dan dibalas anggukan oleh Jung Ae.
---
Selesai makan malam, Jung Ae segera membereskan meja makan dilanjutkan mencuci
piring kotor bekas makannya dan Henry.
“Chagi...”
“Ne?”
“Besok kamu tahu enggak
hari apa?” tanya Henry antusias.
“Hari Rabu. Kenapa
emang?”
Henry agak kecewa mendengarnya
karena sepertinya Jung Ae lupa dengan ulang tahun pernikahan mereka yang
pertama.
“Besok kita jalan, yuk!”
“Emang ada acara apa kau
mengajakku jalan? Bukannya seharusnya besok masuk kerja?” tanya Jung Ae sambil
mematikan keran air dan mengelap tangannya dengan serbet.
“Besok aku bisa izin untuk
enggak masuk. Lagian pekerjaan untuk besok udah aku selesain tadi. Aku cuma mau
menghabiskan waktu denganmu lalu mengajakmu makan di restaurant. Kamu mau kan?”
“Hmmm...bagaimana ya?
Sebenarnya aku ada janji dengan Mama.”
“Janji? Kamu mau pergi sama
Mama? Mau ke mana?” tanya Henry heran.
“Itu rahasia perempuan. Oppa
enggak boleh tahu,” ucap Jung Ae asal.
Henry menghela napasnya berat.
“Oh begitu. Ya sudahlah. Lagian, kita bisa pergi hari Minggu.”
“Mianhae ya Oppa!”
“Enggak apa-apa, kok.”
Senyum Henry dengan sedikit dipaksa.
“Gomawo, Oppa!
Sekarang, kau mandi ya!” rayu Jung Ae sambil memberikan handuk pada orang yang
memiliki kebiasaan susah mandi itu.
“Ne,” jawab Henry
singkat seperti menuruti kata orangtuanya.
Jung Ae tertawa
tertahan saat suaminya sudah berada di kamar mandi dengan muka kecewa. Yeoja
itu tersenyum dengan penuh kemenangan. Dia berhasil mengerjai suaminya.
“Maaf ya Oppa! Aku
melakukan ini karena aku mencintaimu,” gumam Jung Ae dalam hati dan segera
masuk ke kamarnya.
---
Henry keluar kamar mandi dengan perasaan sedikit kecewa. Tapi
sebisa mungkin dia bertahan demi wanita keras kepala yang dicintainya itu.
Karena lelah, Henry memutuskan untuk segera tidur. Diliriknya arlojinya. Jam 12
malam! Dia tahu, Jung Ae pasti sudah terlelap. Makanya, dengan sepelan mungkin
Henry membuka kenop pintu kamar. Saat masuk, Henry langsung terperangah kaget
dengan apa yang dilihatnya. Itu benar Jung Ae? Pria itu tidak bisa melakukan
apapun kecuali diam mematung sembari melihat intens wanita yang berdiri cantik
di depannya. Tak percaya apa yang baru dilihatnya sekarang.
“Happy anniversarry 1st Oppa!” ucap Jung Ae sambil memberikan kue
ulang tahun bergambar dirinya dengan Henry.
“Jung Ae... Tapi kan...”
Henry mengambil kue itu
dari tangan Jung Ae dan tersenyum melihat apa yang dilakukan istrinya malam
ini.
“Aku tahu. Maaf aku
membohongimu, Oppa! Sebagai permintaan maaf, aku mau kau yang meniup lilinnya
dan menghabiskan kue itu,” perintah Jung Ae tertawa.
“Aish! Mengapa harus aku?
Lilinnya harus tetap kita tiup berdua dong, chagi. Kalau kuenya kan bisa di
makan besok.”
“Aku bercanda, Oppa!”
“Arrasso. Sekarang kita tiup
lilinnya berdua, ne?” Jung Ae mengangguk.
Hana...dul...set... ppuuuffhh. Lilinpun mati.
Henry lalu meletakan kue itu
di meja. Dia lalu memeluk Jung Ae mesra.
“Chagi, makasih untuk
kejutannya,” ujarnya.
“Cheonmayo. Kau senang Oppa?”
tanya Jung Ae melepaskan pelukannya.
“Aku enggak senang, tapi aku
bahagia.” Jung Ae tersenyum mendengarnya.
“Jung Ae...maaf,”
sambung Henry.
“Untuk apa?” tanya Jung
Ae heran.
“Maaf karena aku belum
sempat memberimu hadiah,” balas Henry kecewa.
“Kau sudah memberiku hadiah
Oppa!”
Henry agak aneh
mendengarnya. Lalu Jung Ae melanjutkan, “Kau
tahu? Semua yang kau lakukan untukku semenjak kita menikah, aku belum pernah
membalas semua rasa cinta dan sayangmu. Dengan kau mencintaiku, itu adalah hadiah
terindah dalam hidupku. Maaf karena aku sempat benci denganmu. Maaf, karena aku
juga tidak pernah menjadi pendamping yang baik untukmu. Tapi sekarang aku sadar
dan akan mencoba menjadi pelabuhan hati terakhirmu, Oppa! I love you, Henry Lau! Forever!”
Henry diam tanpa kata. Dia
hanya mencium Jung Ae lembut dan berkata, “I
love you too, honey! Walau aku tidak bisa mencintaimu seperti kakakku
mencintaimu, aku akan selalu membuatmu bahagia bersamaku, forever.”
Jung Ae tersenyum
mendengarnya.
“Oppa, sudah larut.
Sebaiknya kita tidur,” ajak Jung Ae.
“Kamu mengantuk, eoh?”
“Sebenarnya aku tidak
mengantuk. Aku khawatir dengan keadaanmu yang pastinya sudah sangat lelah dan
ingin tidur.”
Tapi Henry punya rencana lain.
“Ya udah kalau kamu belum ngantuk, kita enggak usah tidur,” kata Henry dengan evil smriknya.
“Maksudmu?”
Henry hanya menatap Jung Ae
dengan evil eyesnya kemudian menutup
pintu dan mematikan lampu kamar.
---
Dua minggu kemudian...
Hari Minggu pagi kali ini,
Jung Ae tidak seperti biasanya. Sejak malam tadi, dia selalu bolak-balik ke
kamar mandi. Wanita itu muntah-muntah dan merasa mual. Perutnya sakit lagi.
Henry khawatir dengan keadaan istrinya itu. Dia takut, asam lambung Jung Ae
kambuh lagi.
Karena takut sakit Jung Ae parah,
Henry langsung membawa istrinya ke rumah sakit. Sesekali Henry menggenggam
tangan Jung Ae agar wanita itu kuat. Jung Ae juga beberapa kali mencium aroma
minyak aromatherapy untuk mengurangi rasa mualnya.
SKIP
Dokter yang selesai memeriksa
Jung Ae segera menemui Henry yang masih menunggu di meja kerjanya. Wajahnya
berbanding 180 derajat dengan Henry yang tegang. Jung Ae lalu ikut bergabung
bersama Henry dan dokter untuk mengetahui penyakitnya.
“Ulsiha (?) apa yang terjadi
dengan istri saya?” tanya Henry khawatir.
“Istrimu tidak apa-apa Henry.
Dia dalam keadaan baik. Hanya saja, dia telah mengandung anakmu,” jawab dokter.
Henry daan Jung Ae terkejut
sekaligus senang mendengarnya.
“Jinjjayo?” tanya Henry tak
percaya.
“Ne. Usia kandungannya masih
dua minggu. Jaga istrimu baik-baik, Henry. Jangan biarkan dia kelelahan. Jangan
lupa menjaga pola makanmu agasshi,” jelas dokter pada Henry dan Jung Ae.l
“Ne. Terima kasih atas bantuannya.”
Mereka pamit pulang. Selama
perjalanan, Jung Ae tak henti-hentinya bersikap manja pada suaminya itu.
“Chagi... ingat pesan dokter
tadi, ya. Jangan banyak beraktivitas dulu. Kalau perlu, semua pekerjaan rumah
aku yang urus. Perbanyak istirahat dan makan makanan sehat.”
“Oppa... Aku ini hanya hamil
bukan sakit. Kalau aku tidak melakukan tugas rumah, dan digantikan olehmu,
pekerjaanmu di kantor bagaimana, heum?”
Henry tertawa.
“Terima kasih ya. Karena kamu,
aku memperoleh kebahagiaan yang sempurna dalam hidupku. Saranghae,” ucap Henry
mencium tangan Jung Ae.
Senyum Jung Ae mengembang.
“Oppa. Terima kasih juga karena kau sudah mencintaiku setulus hatimu dan
mengajarkan arti cinta sesungguhnya padaku.”
“Ne, chagi.”
“Kamu mau tahu apa
alasanku melakukan itu semua?” lanjut Henry.
Jung Ae mengangguk.
“Because I love you so much.”
END
A-I, 20 Oktober 2013