Labels

Tuesday 12 November 2013

Because I Love U


 

---“Kamu mau tahu apa alasanku melakukan itu semua?” tanya pria itu. Wanita di sampingnya mengangguk. “Karena aku mencintaimu, sayang. I love you so much.”---Henry.

Note    : FF yang butuh waktu cuma dua minggu! (Rekor, karena biasanya selesai 1 bulan lebih -_-) Seperti biasa, Thanks buat Hangeng Oppa sama Mochi Lau Oppa! Karena kalian, aku bisa menulis fanfiction ini.
Cast     : Park Jung Ae a.k.a Jung Ae Lau (?), Henry Lau, Tan Hangeng.
Genre  : Romance, little sad (?) and ...(kau tahu apa keterangan untuk cerita tentang kehidupan setelah menikah. Kalau iya, kasih tahu aku karena aku tak tahu apa istilahnya. -_- #gubrak)
 
“Oppa! Sarapanmu sudah siap! Kajja makan!” teriak seseorang pada suaminya.
“Hhmm... iya chagi. Sebentar lagi!” Terdengar balasan dari arah kamar.
Lima menit berlalu... Setelah selesai menata makanan, orang yang ditunggu-tunggu tidak juga keluar.
“Oppa! Kau sudah bangun, kan? Kajja makan! Aku menunggumu di sini.”
Tidak ada jawaban. Karena penasaran, yeoja itu segera menghampiri suaminya yang masih ada di kamar.
“Ckckckck.... Oppa bangun!” teriak Jung Ae.
“Ada apa? Ah, kau chagi. Sebentar lagi, ya sayang! Aku masih ngantuk,” ucap pria itu sambil menarik kembali selimutnya.
“Aishh! Kau ini! Banguun Oppa! Sudah siang!” Kali ini Jung Ae menarik selimut tebal yang membalut tubuh suaminya.
Usahanya tidak sia-sia. Walaupun masih terkantuk-kantuk, pria bermata sipit itu akhirnya bangun dan segera duduk di tepi tempat tidur.
“Cepat mandi Oppa terus sarapan! Sudah siang ini! Nanti kalau terlambat gimana?” perintah Jung Ae sembari menggerutu.
“Arrasso!” jawabnya parau.
“Aku tunggu di meja makan, Oppa!”
“Chagi...” panggil pria itu.
Langkah Jung Ae terhenti. “Nde? Kau perlu apa?”
“Itu,” ucapnya menggantung.
“Apa?”
Pria itu tidak menjawab. Dia langsung berdiri mendekati Jung Ae dan mengecup bibir istrinya pelan.
“Oppa!” teriak Jung Ae melepaskan ciuman suaminya.
Morning kiss, chagi! Kamu lupakan ini lagi!” gerutunya.
“Yak! Kau ini! Ku kira apa! Sana cepat mandi!” kata Jung Ae mendorong tubuh suaminya ke kamar mandi.
“Aku mencintaimu, chagi!” teriak pria itu seiring dengan menutupnya pintu kamar mandi.
Jung Ae hanya tersenyum. Dia juga merasakan hal yang sama, meskipun perasaan terhadap suaminya itu baru tumbuh di bulan ketujuh mereka menikah.
FLASHBACK!
“Aku hanya ingin kau mengerti satu hal, chagi.”
Pria itu menghela napasnya perlahan. Dia menatap lawan bicaranya lekat dan ingin menghapus air matanya karena bulir-bulir bening menggenang di pelupuk matanya yang bengkak. Tapi itu jelas tidak mungkin dilakukannya. Padahal tanpa dia tahu, lawan bicaranya juga mengharapkan sentuhan jari tangannya itu menghapus air mata yang terus keluar tanpa kendali.
            “Oppa... Please!”
            Pria itu menggeleng. “Aku mencintaimu. Aku hanya tidak ingin kau membantah perintah orangtuamu, chagi.”
            “Kau egois! Keras kepala! Aku membencimu, Hangeng-sii!” Tangis wanita itu menjadi.
            “Mianhae. Tapi bagiku ini jalan terbaik untuk kita,” ucap pria itu pelan.
            “Dengan membuatku menderita? Mengapa tidak sekalian saja kau membunuhku?! Biar rasa sakit itu tidak menjalar sampai ke hati dan seluruh perasaanku padamu! Jawab aku, Oppa! Mengapa kau tidak..... arghhh!” jerit gadis itu memegang perutnya.
            “Jung Ae? Gwenchana?”
            “Arrgh!!! A..Ap...appo! Oppa!”
            “Kau kenapa? Asam lambungmu naik lagi?”
            “Molla. Tapi perutku sakit, Oppa! jebal!!!!”
Seketika, pandangan gadis itu gelap.
----
“Chagi... kau sadar?”
“Arkhh... Oppa! Aku di mana?” erangnya.
“Kau di rumah sakit...”
Gadis yang sudah lama phobia dengan rumah sakit itu mendengarnya kaget dan berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya. Namun usahanya sia-sia karena seseorang menahannya.
“Oppa! Aku mau pulang! Bawa aku pulang, Oppa! Aku takut.. Hiks..hiks!”
            “Gwenchana chagi. Kau harus banyak istirahat dulu.”
            “Shiro! Aku enggak betah, Oppa! Tadi aku cuma sakit perut biasa aja kan? Aku mau pulang!” isaknya tertahan.
            “Kau tahu? Apapun permintaanmu, akan kuturuti, chagi. Tapi aku mohon, rehatlah dulu di sini, sampai dokter mengizinkanmu pulang. Okay?” kata pria itu memeluk Jung Ae.
            “Oppa janji?”
            “I’m promise! Saranghayo, chagi! Sekarang, kau tidur, ya. Aku di sini menunggumu,” ucap pria itu mencium gadisnya.
---       
“Aku sangat mencintainya. Tapi aku juga harus merelakannya menikah denganmu, saeng-ssi!” ucap Hangeng lirih sambil menatap seorang gadis yang masih tergolek lemas di depannya.
“Aku mengerti perasaanmu, Hyung! Maafkan aku,” ucap pria lain pelan.
“Kau tidak salah. Ini sudah takdir. Aku hanya tidak ingin melihatnya sedih.”
“Tapi apa yang kamu buat terhadap Jung Ae, justru telah menyakiti hatinya, Hyung!” tegas pria itu.
“Anio! Ini jalan yang terbaik untukku, untukmu dan untuk Jung Ae. Kau tahu? Sampai kapanpun aku tidak akan pernah dan bisa untuk melupakannya, Henry!”
            Lawan bicaranya, hanya bisa diam tertunduk. “Apa aku harus membatalkan pernikahanku dengannya untukmu, Hyung?” tanya Henry pelan.
            “Andwe!”
            “Waeyo? Bukankah kamu mencintainya, eoh? Tak sakitkah hatimu  jika nanti Jung Ae bersamaku? Aku tidak mau dianggap sebagai orang ketiga dalam hubungan kalian! Bisakah kamu mengerti itu?” ucap Henry emosi.
            Hangeng diam dan menatap intens orang yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri. Tiba-tiba...
“Hyung! Hidungmu...” Henry yang melihat itu segera mengeluarkan sapu tangan sembari menyapu noda darah yang mengalir dari hidung kakaknya sekilas dan bergegas memanggil dokter. Tapi Hangeng mencegahnya.
“Aku tidak apa-apa, saeng-ssi. Henry, aku mengerti apa yang kau rasakan. Maafkan sikap egoisku. Kau tahu kan, aku melakukan ini karena umurku tak lama? Aku...aku mohon padamu. Tolong jaga Jung Ae untukku. Buatlah dia bahagia bersamamu. Aku yakin, kau adalah pria yang tepat untuk Jung Ae. Karena alasan inilah aku memilihmu, Henry-ssi! Aku harap kau bisa mengerti.”
“Maaf Hyung. Aku tak bisa.”
“Aku tak memaksamu. Tapi aku mohon bantuanmu untuk membuat Jung Ae bahagia karena tersakiti olehku. Aku melakukan ini karena aku mencintainya seumur hidupku,” ucap Hangeng tersenyum getir.
Henry tertegun mendengarnya. Dia tentu tidak mungkin untuk bilang tidak. Dia sangat menyanyangi orang menyebalkan ini.
“Kau mau melakukan ini untukku kan?” tanya Hangeng dengan mata memohon.
Henry seolah-olah terhipnotis oleh kelakuan kakaknya. Entah sadar atau tidak, dia mengangguk pelan dan dibalas senyuman indah dari lelaki yang masih mengelap darah di hidungnya dengan sapu tangan.
Henry tak bisa menahan kesedihanya. Dia memeluk kakaknya erat dan berharap semua yang dikatakan kakaknya itu tidak menjadi kenyataan.
“Gwenchana, Henry... gwenchana!”
“Sekali lagi, maafkan aku, Hyung! Aku masih berharap kamu masih bisa menarik kata-katamu.”
“Hey! Kenapa kau bicara seperti itu?” ucap Hangeng melepaskan pelukannya.
“Karena aku yakin satu hal.”
“Apa itu?”
“Gadis yang bernama Park Jung Ae itu hanya mencintai kakakku yang bernama Tan Hangeng,” jawab Henry sambil melihat Jung Ae dan Hangeng bergantian.
Hangeng sudah menduga itu. Sedikit kaget memang, tapi dia kembali tersenyum pada adiknya itu. Senyumnya semakin mengembang saat Jung Ae mulai sadar dari tidurnya. Sebenarnya, gadis itu tidak tertidur tadi. Dia mendengar jelas pembicaraan antara pacarnya dengan orang yang kata orangtuanya adalah tunangannya itu. Gadis itu menangis tertahan. Tak mau membuat pacarnya curiga.
            “Oppa?” panggilnya pelan.
            “Ne chagi. Aku di sini.”
            Gadis itu tersenyum. “Apa aku boleh pulang, Oppa? Aku takut.”
            “Jangan takut, chagi. Kata dokter, besok kau sudah bisa pulang.”
“Kenapa harus besok?” tanya Jung Ae kecewa.
“Sekarang kan udah malem, kau tidur lagi, ya.”
            “Tapi...”
            “Sssstt! Tidur chagi, sleep well!” ucap Hangeng mengecup kening gadisnya pelan.
            “Oppa temani aku ya! Jangan kemana-mana!”
            “Ne,” ujarnya singkat. Tangannya menggenggam erat tangan gadisnya hingga dia tertidur.
Melihat kemesraan kakaknya dengan gadis di depannya membuat Henry tak tega menuruti permintaan kakaknya. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.
“Hyung, aku izin keluar sebentar,” pamit Henry berbisik ke Hangeng. Pria itu takut menganggu Jung Ae.
“Ne. Jangan lama-lama.”
Henry membalasnya dengan senyum simpul dan mengangguk.
FLASHBACK END!
“Chagi! Kamu melamun, eoh?” tanya Henry yang sudah siap dengan pakaian dinasnya.
            “Eh... a...anio, Oppa! Aku tidak melamun. Kau sudah rapi, rupanya!” balas Jung Ae sambil merapikan dasi suaminya itu.
            “Jinjja? Kau sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Ada apa? Mau cerita?”
            Pria itu intens menatap mata indah istrinya.
            “Sudah selesai. Kajja, kita sarapan!” ajak Jung Ae seolah-olah tidak memperdulikan pertanyaan Henry.
            Ada apa denganmu, chagi? Apakah saat ini kau merindukan Hangeng Hyung? Aaaa! Dasar pabo kau Henry! Mengapa dulu kau mau menerima permintaan konyol Hyungmu itu! sudah jelas-jelas Jung Ae milik kakakmu. Mengapa kau mengambil kebahagian wanita tak berdosa itu?! Dasar pabo!
            “Oppa? Kenapa kau hanya jadi patung di sana? Kajja makan!” panggil Jung Ae pada Henry.
Henry tersenyum dan menyusul istrinya yang menunggunya di meja makan.
---
“Chagi, aku pergi dulu.”
“Hati-hati, Oppa! Jangan lupa siang ini, kau harus makan bekalmu!” balas Jung Ae mengantar suaminya sampai teras.
            “Arrasso!” jawab Henry singkat sambil mencium kening Jung Ae.
Pria bermata sipit itu mengulum senyumnya sebelum masuk dalam mobilnya.
            Tak butuh waktu lama, sosok mobil berwarna hitam itu menghilang dari pandangan Jung Ae.
---
“Aigoo! Aku lupa kalau besok tepat setahun aku dan Henry menikah.”
Wanita itu histeris saat melihat kalender digital yang tidak sengaja dia lihat.
“Selama ini aku kan belum pernah membuatnya bahagia. Aku kasih apa ya? Hmmm... sepertinya dia akan menyukai itu...” ujarnya sembari tersenyum.
            Jung Ae segera ke dapur dan melakukan sebuah kejutan untuk Henry. Butuh tiga jam dia mempersiapkan semua itu. Memang tidak mewah. Tapi Jung Ae berharap, Henry bisa tersenyum bahagia seperti apa yang sudah pria itu lakukan untuk membuatnya bisa tersenyum kembali.
@9.30 PM KST
Selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak, Jung Ae segera masuk ke kamarnya. Rasa bosan mulai menghampiri wanita itu. Terkadang, dia berharap kalau Henry lebih baik tak bekerja dan menemaninya di rumah. Tapi itu tidak mungkin mengingat jabatan suaminya yang tinggi di kantornya.
            Jung Ae menghela napasnya. Tiba-tiba dia teringat dengan sosok lelaki penyayang yang pertama kali mengajarkan arti cinta sesungguhnya. Air matapun tumpah seketika dari sepasang mata berwarna coklat itu.
FLASHBACK!
Jung Ae masih diam dengan pandangan nanarnya. Entah sudah berapa liter (?) air mata yang dia keluarkan hingga tak mampu lagi untukknya menangis. Hanya suara berat yang mampu dia ucapkan sambil menatap seorang pria yang terlelap di dalam sebuah kotak.
            “Oppa... sudah malam! Oppa kan belum makan. Kita makan yuk! Aku sudah buatkan makanan kesukaanmu,” ucapnya pelan.
            Lawan bicaranya tentu tidak bisa dan ‘takkan pernah merespon apapun yang dia ucapkan. Gadis itu masih terus memaksa namjachingunya agar segera bangun untuk makan. Dan kelakuannya membuat Henry tak tega.
            “Jung Ae...”
            “Henry... Kenapa Oppa enggak mau bangun, ya? Padahal, ini kan sudah lewat jam makan malam,” tanyanya pada Henry
            Gadis itu kembali mengguncang pelan tubuh namjachingunya. “Oppa, lihat! Semua orang di sini memakai baju dengan warna favoritemu. Kau suka kan? Bangun dong Oppa! Please...” bujuk Jung Ae.
Nihil. Lalu dia frustasi karena usahanya sia-sia belaka.
            “Arrrghhh! Oppa! Kalau kau enggak mau makan, aku juga enggak akan memasakan makanan kesukaanmu lagi! Oppa.... Please! Banguuun, Oppa!”
            Henry yang melihat itu langsung membawa gadis itu menjauh dari peti kakaknya. Jung Ae kembali menangis dan berusaha menolak Henry yang berusaha memisahkannya dari namjachingunya.
            “Aku masih mau di sini! Jangan ganggu aku dengan Hangeng Oppa!” marah Jung Ae.
            “Jung Ae, dengar...”
            “Hiks...hiks...enggak! Aku enggak mau dengar ocehanmu lagi! Aku tahu, kau itu bohong! Iya, kan?”
            “Jung Ae... Aku lelah mengatakan ini padamu. Aku hanya ingin kamu tahu satu hal. Hangeng Hyung sudah senang di sana. Ketahuilah, dia sangat mencintaimu. Kamu juga pernah bilang, kamu sangat mencintainya, kan? Kalau iya, pasti kamu ingin dia tidak merasakan sakit. Dan aku mohon padamu. Relakan dia tidur dengan tenang. Karena dengan cara inilah, Hyung tidak merasakan sakit lagi.”
Gadis itu terdiam sambil menangis. Dia tahu, dengan Hangeng pergi untuk selamanya, pria itu tentu sudah tidak perlu bersusah payah melawan sakitnya. Tapi kepergian pacarnya secara cepat seperti ini, cukup membuatnya frustasi.
            “Aa...aku hanya masih enggak percaya, dia meninggalkanku, Henry! Aku takut!” isaknya.
            Henry menarik tubuh Jung Ae ke dalam pelukannya dan membiarkan air mata gadis itu membasahi bajunya.
“Aku mengerti. Tapi ini jalan terbaik untuk Hangeng Hyung karena sekarang dia bisa bebas dari penyakitnya. Arra?” tanya Henry melepaskan pelukkannya.
“Ne, arrasso,” jawab Jung Ae pelan.
Ia lalu mengusap air mata gadis itu dengan ujung ibujarinya.
“Jangan menangis di depan pacarmu ya. Balaslah senyumnya,” bisik Henry.
“Gomawo.”
Gadis itu kembali mendekati namjachingunya yang tertidur pulas. Tubuhnya bergetar menahan tangis. Dia tidak mau menangis lagi di depan pacarnya. Sebisa mungkin dia tersenyum untuk membalas senyuman manis yang tersunggingkan dari wajah pacarnya.
            “Oppa, kau sudah senang sekarang, kan? Aku yakin, kau sudah tidak merasakan lagi sakitmu. Aku selalu mencintaimu, Oppa! Sleep well!” ucap Jung Ae mencium pelan kening pacarnya.
Entah karena apa, dada Henry sesak tiba-tiba saat melihat kejadian itu.
FLASHBACK END!
Suara mobil berhenti di luar membuat Jung Ae tersadar dari tangisnya. Itu pasti Henry! Wanita itu buru-buru mengambil sapu tangan dan menghapus air matanya. Dia tidak mau Henry tahu dirinya menangis karena teringat oleh Hangeng.
            Jung Ae langsung keluar kamarnya dan segera membukakan pintu untuk suaminya. Sebisa mungkin ia tersenyum agar Henry tak curiga akibat menangis tadi.
            “Oppa, kau sudah pulang? Kajja kita makan. Aku sudah masak makanan kesukaanmu,” ajak Jung Ae sambil menyambut Henry dan meraih tas kantornya.
            “Enggak usah kamu bawain chagi. Biar aku aja!” jawab Henry.
            “Enggak apa-apa Oppa! Ini sudah tugasku,” balas Jung Ae tersenyum.
“Tapi itu berat, lho! Sini, biar aku aja.”
“Aissh, ini belum seberapa, kok,” ucap Jung Ae sambil mengambil tas itu dari tangan suaminya.
            Henry tersenyum simpul. Dia membiarkan Jung Ae membawa tasnya. Meladeni sikap keras kepala wanita itu sama saja menambah masalah.
“Ya udah, kita masuk yuk!” ajak Henry dan dibalas anggukan oleh Jung Ae.
---
Selesai makan malam, Jung Ae segera membereskan meja makan dilanjutkan mencuci piring kotor bekas makannya dan Henry.
            “Chagi...”
            “Ne?”
“Besok kamu tahu enggak hari apa?” tanya Henry antusias.
“Hari Rabu. Kenapa emang?”
Henry agak kecewa mendengarnya karena sepertinya Jung Ae lupa dengan ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.
            “Besok kita jalan, yuk!”
            “Emang ada acara apa kau mengajakku jalan? Bukannya seharusnya besok masuk kerja?” tanya Jung Ae sambil mematikan keran air dan mengelap tangannya dengan serbet.
            “Besok aku bisa izin untuk enggak masuk. Lagian pekerjaan untuk besok udah aku selesain tadi. Aku cuma mau menghabiskan waktu denganmu lalu mengajakmu makan di restaurant. Kamu mau kan?”
            “Hmmm...bagaimana ya? Sebenarnya aku ada janji dengan Mama.”
            “Janji? Kamu mau pergi sama Mama? Mau ke mana?” tanya Henry heran.
            “Itu rahasia perempuan. Oppa enggak boleh tahu,” ucap Jung Ae asal.
            Henry menghela napasnya berat. “Oh begitu. Ya sudahlah. Lagian, kita bisa pergi hari Minggu.”
“Mianhae ya Oppa!”
“Enggak apa-apa, kok.” Senyum Henry dengan sedikit dipaksa.
“Gomawo, Oppa! Sekarang, kau mandi ya!” rayu Jung Ae sambil memberikan handuk pada orang yang memiliki kebiasaan susah mandi itu.
“Ne,” jawab Henry singkat seperti menuruti kata orangtuanya.
Jung Ae tertawa tertahan saat suaminya sudah berada di kamar mandi dengan muka kecewa. Yeoja itu tersenyum dengan penuh kemenangan. Dia berhasil mengerjai suaminya.
“Maaf ya Oppa! Aku melakukan ini karena aku mencintaimu,” gumam Jung Ae dalam hati dan segera masuk ke kamarnya.
---
Henry keluar kamar mandi dengan perasaan sedikit kecewa. Tapi sebisa mungkin dia bertahan demi wanita keras kepala yang dicintainya itu. Karena lelah, Henry memutuskan untuk segera tidur. Diliriknya arlojinya. Jam 12 malam! Dia tahu, Jung Ae pasti sudah terlelap. Makanya, dengan sepelan mungkin Henry membuka kenop pintu kamar. Saat masuk, Henry langsung terperangah kaget dengan apa yang dilihatnya. Itu benar Jung Ae? Pria itu tidak bisa melakukan apapun kecuali diam mematung sembari melihat intens wanita yang berdiri cantik di depannya. Tak percaya apa yang baru dilihatnya sekarang.
            “Happy anniversarry 1st Oppa!” ucap Jung Ae sambil memberikan kue ulang tahun bergambar dirinya dengan Henry.
            “Jung Ae... Tapi kan...”
Henry mengambil kue itu dari tangan Jung Ae dan tersenyum melihat apa yang dilakukan istrinya malam ini.
            “Aku tahu. Maaf aku membohongimu, Oppa! Sebagai permintaan maaf, aku mau kau yang meniup lilinnya dan menghabiskan kue itu,” perintah Jung Ae tertawa.
            “Aish! Mengapa harus aku? Lilinnya harus tetap kita tiup berdua dong, chagi. Kalau kuenya kan bisa di makan besok.”
            “Aku bercanda, Oppa!”
            “Arrasso. Sekarang kita tiup lilinnya berdua, ne?” Jung Ae mengangguk.
Hana...dul...set... ppuuuffhh. Lilinpun mati.
            Henry lalu meletakan kue itu di meja. Dia lalu memeluk Jung Ae mesra.
            “Chagi, makasih untuk kejutannya,” ujarnya.
            “Cheonmayo. Kau senang Oppa?” tanya Jung Ae melepaskan pelukannya.
            “Aku enggak senang, tapi aku bahagia.” Jung Ae tersenyum mendengarnya.
“Jung Ae...maaf,” sambung Henry.
“Untuk apa?” tanya Jung Ae heran.
“Maaf karena aku belum sempat memberimu hadiah,” balas Henry kecewa.
            “Kau sudah memberiku hadiah Oppa!”
Henry agak aneh mendengarnya. Lalu Jung Ae melanjutkan,  “Kau tahu? Semua yang kau lakukan untukku semenjak kita menikah, aku belum pernah membalas semua rasa cinta dan sayangmu. Dengan kau mencintaiku, itu adalah hadiah terindah dalam hidupku. Maaf karena aku sempat benci denganmu. Maaf, karena aku juga tidak pernah menjadi pendamping yang baik untukmu. Tapi sekarang aku sadar dan akan mencoba menjadi pelabuhan hati terakhirmu, Oppa! I love you, Henry Lau! Forever!”
            Henry diam tanpa kata. Dia hanya mencium Jung Ae lembut dan berkata, “I love you too, honey! Walau aku tidak bisa mencintaimu seperti kakakku mencintaimu, aku akan selalu membuatmu bahagia bersamaku, forever.”
            Jung Ae tersenyum mendengarnya.
“Oppa, sudah larut. Sebaiknya kita tidur,” ajak Jung Ae.
            “Kamu mengantuk, eoh?”
            “Sebenarnya aku tidak mengantuk. Aku khawatir dengan keadaanmu yang pastinya sudah sangat lelah dan ingin tidur.”
            Tapi Henry punya rencana lain. “Ya udah kalau kamu belum ngantuk, kita enggak usah tidur,” kata Henry dengan evil smriknya.
            “Maksudmu?”
            Henry hanya menatap Jung Ae dengan evil eyesnya kemudian menutup pintu dan mematikan lampu kamar.
---
            Dua minggu kemudian...
            Hari Minggu pagi kali ini, Jung Ae tidak seperti biasanya. Sejak malam tadi, dia selalu bolak-balik ke kamar mandi. Wanita itu muntah-muntah dan merasa mual. Perutnya sakit lagi. Henry khawatir dengan keadaan istrinya itu. Dia takut, asam lambung Jung Ae kambuh lagi.
            Karena takut sakit Jung Ae parah, Henry langsung membawa istrinya ke rumah sakit. Sesekali Henry menggenggam tangan Jung Ae agar wanita itu kuat. Jung Ae juga beberapa kali mencium aroma minyak aromatherapy untuk mengurangi rasa mualnya.
SKIP
            Dokter yang selesai memeriksa Jung Ae segera menemui Henry yang masih menunggu di meja kerjanya. Wajahnya berbanding 180 derajat dengan Henry yang tegang. Jung Ae lalu ikut bergabung bersama Henry dan dokter untuk mengetahui penyakitnya.
            “Ulsiha (?) apa yang terjadi dengan istri saya?” tanya Henry khawatir.
            “Istrimu tidak apa-apa Henry. Dia dalam keadaan baik. Hanya saja, dia telah mengandung anakmu,” jawab dokter.
            Henry daan Jung Ae terkejut sekaligus senang mendengarnya.
            “Jinjjayo?” tanya Henry tak percaya.
            “Ne. Usia kandungannya masih dua minggu. Jaga istrimu baik-baik, Henry. Jangan biarkan dia kelelahan. Jangan lupa menjaga pola makanmu agasshi,” jelas dokter pada Henry dan Jung Ae.l
            “Ne. Terima kasih atas bantuannya.”
            Mereka pamit pulang. Selama perjalanan, Jung Ae tak henti-hentinya bersikap manja pada suaminya itu.
            “Chagi... ingat pesan dokter tadi, ya. Jangan banyak beraktivitas dulu. Kalau perlu, semua pekerjaan rumah aku yang urus. Perbanyak istirahat dan makan makanan sehat.”
            “Oppa... Aku ini hanya hamil bukan sakit. Kalau aku tidak melakukan tugas rumah, dan digantikan olehmu, pekerjaanmu di kantor bagaimana, heum?”
            Henry tertawa.
            “Terima kasih ya. Karena kamu, aku memperoleh kebahagiaan yang sempurna dalam hidupku. Saranghae,” ucap Henry mencium tangan Jung Ae.
            Senyum Jung Ae mengembang. “Oppa. Terima kasih juga karena kau sudah mencintaiku setulus hatimu dan mengajarkan arti cinta sesungguhnya padaku.”
            “Ne, chagi.”
“Kamu mau tahu apa alasanku melakukan itu semua?” lanjut Henry.
Jung Ae mengangguk.
            “Because I love you so much.”
END


A-I, 20 Oktober 2013

No comments: