-Aku
akui, aku memang cemburu padamu dan ‘dia’. Tapi dengan rasa cintaku dan
mengerti dirimu sepenuhnya membuatku sadar sesuatu. So, It’s Okay Oppa. I’m
Understand.- Hye Rin Lau
Note : FF
ini buat numpahin ‘uneg-uneg’ (?) ku sama Henry Oppa dan Rahmalia! :P
Kenapa? Kalian pasti tahu Henry
lagi sibuk-sibuknya syuting drama di China, ya,
kan? Sebenernya ini hanya pengen
nulisin galauku aja karena foto-fotonya Oppa di
lokasi syuting sama lawan mainnya.
#curhat Terus juga sebel sama Rahma soalnya
udah ngeshare tuh foto ke TL
facebook! Dia enggak tahu apa kemaren baru aja bela-
belain kagak ngeliat tuh foto di
Fans Page Strings! -_- #curhat kedua
Terakhir
mungkin agak aneh kali ya liat fotonya Oppa yang begitu. (Maklum aja ya guys,
selama ini enggak pernah liat Henry dengan adegan panas itu :P) So, happy reading! Hope u like it!
N.B.à Don’t be a
plagiator! :P
Cast :
Henry Lau, Han Hye Rin a.k.a Hye Rin Lau (?) dan... aku lupa namanya siapa
Zhang Xin Yi- kah? Entahlah gak mau
ngebahas! #curhat ketiga -_- Tapi disini aku
samarin kok, tokohnya ^^ (Choi Ji
Hee)
Genre :
Romance
Warning!
Judulnya agak enggak sesuai dengan ceritanya! Banyak
typo bertebaran! So, be carefull!
---
Mataku panas melihat fotonya di jejaring sosial.
Aish, menyebalkan sekali! Seharusnya aku tahu kalau ini adalah resiko menjadi
istri seorang artis. Tapi, tak bisakah foto-foto itu tidak di sebar di dunia
maya? Andai dia tahu itu membuatku... tersiksa! Ah, sudahlah! Masih mending dia
selalu menghubungiku lewat telepon di sela-sela jadwal kesibukkannya. Bukankah
itu yang aku butuhkan? Tahu bagaimana kabarnya, dan dia tahu bagaimana keadaanku.
Sudah satu bulan dia pergi untuk
syuting di Cina. Dan sudah dua kali pula aku melihat foto suamiku sendiri
bersama lawan mainnya di film tersebar di jejaring sosial weibo. Banyak temanku
yang kebetulan adalah fansnya selalu menghubungiku saat foto itu menyebar di
dumay.
“Hye Rin-ssi! Bagaimana kabarnya Oppa
saat ini? Apakah dia masih lama di Cina? Salamkan salamku untuk Henry Oppa, ne?” SMS seorang temanku yang tergila-gila pada Henry, suamiku.
Salah satu SMS untuk dia lagi. Tak
adakah SMS dari temanku yang hanya untuk menanyakan kabarku?
Huufft!
Aku membalasnya dengan malas, “Dia
baik. Aku gak tahu, mungkin lama. Pasti.”
SENT!
Aku mematikan ponsel dan laptopku,
mencegah diri untuk tidak lagi membuka jejaring sosial sampai seminggu ke
depan. Ya, aku akui. Aku seseorang yang mudah sekali cemburu. Bagaimana seorang
istri tidak cemburu jika ada perempuan lain yang bermesraan dengan suaminya
sendiri walaupun itu hanya acting?
Ya, hanya ACTING! Normal bukan? Tapi
akan kuusahakan untuk menyembunyikan itu di depan orang-orang banyak,
termasuk... Henry.
Sebelum mematikan laptop, aku
melihat ada tanda notification berubah merah. Pertanda ada yang mengirimkan
sesuatu di TL-ku. Karena penasaran, aku membukanya. Dan...
“Omonaaa, Oppaaa!” pekikku
tetahan, kaget dengan apa yang kulihat.
Seorang temanku mengirimkan foto
terbaru di lokasi syutingnya Henry. Dan
bisa kalian tebak, itu foto dirinya bersama lawan mainnya itu.
Secepat kilat ku nonconnect-kan laptopku dengan internet
dan mematikannya dengan sedikit kasar karena kesal dengan apa yang tadi
kulihat.
SUDAH TIGA KALI. Aku menghela napas
berat. Mungkin kata sabar harus sering banyak kuucapkan.
“Harusnya wanita itu aku. Kenapa sih,
harus ada scine memuakkan itu?
Sempet-sempetnya di foto lagi! Bolehkah egoku datang untuk melarangmu mengambil
job itu?” ujarku lirih sambil menenggelamkan mukaku ke bantal.
Lagu Hate U Love U yang kuputar dari MP3 perlahan membuatku tertidur
pulas.
---
Seminggu
kemudian...
Aku
mengambil ponsel yang kusimpan di box kecil dan segera mengaktifkannya. Kangen
juga aku sama benda mungil berwarna biru itu. Begitu aktif, muncul puluhan SMS
yang isi dan pengirimya sama. Pengirimnya tentu saja Henry.
“Chagi, kenapa ponselmu tidak aktif, eoh? Jangan kamu matikan lagi ya karena aku susah untuk
menghubungimu. Setiap hari! Saranghae, my
love :*”
Aku
tersenyum kecut.
‘Mana
mungkin? Henry kan, orang sibuk. Meneleponku saja dua hari sekali. Itu juga
kalau kemarin aku duluan yang meneleponnya.’
ajikkkaji motaejun geu mal
mogi meyeo sikeunhan geu mal
nuguboda saranghae
ojik neowa na nannana nannana nanna
Ponsel
yang berada di tanganku bergetar. Hampir saja aku membanting benda kecil itu
karena kaget. Tanpa melihat siapa yang menelepon, aku buru-buru mengangkat
panggilan itu.
“Yeoboseo?” ujarku sedikit parau.
Arrggghhh!
Suara kodok itu masih tetap setia mengacaukan suara asliku. Sudah lima hari ini
aku demam. Walau panasnya sudah turun dari kemarin, tapi batuknya masih belum
mau minggat juga. Iisshh! Menyebalkan sekali bukan?
Ada
hening sedikit lama. Apakah ucapanku tadi tidak jelas? Kuulangi lagi
menjawabnya. Tentu dengan suara kodok menyedihkan itu. “Yeoboseo? Ehem...”
“Chagi, kamu sakit?”
Aku
tahu siapa lawan bicaraku. Henry.
“Errhmm...
anio Oppa. Hanya demam dan batuk sedikit. Tapi sekarang aku enggak
apa-apa. Mianhae, aku baru
mengaktifkan ponselku tadi pagi,” jawabku lirih.
“Kamu yakin? Udah ke dokter?” tanyanya
lumayan panik.
“Sssuu...belum
Oppa. Kau kan tahu kalau aku takut ke
dokter sendirian. Mama lagi enggak ada di rumah. Sudah seminggu Mama pulang.”
“Tapi Rin-ah...”
“Oh iya, Oppa sudah makan? Jangan lupa makan dan minum vitamin, ne?” tanyaku memotong kalimatnya sambil
mengalihkan pembicaraan.
Aku mencoba untuk mengobrol lama
dengannya, tapi tiba-tiba kepalaku mendadak pusing. Perutku juga mual.
Sepertinya efek karena aku belum makan dari semalam karena ketiduran. Ah, Hye
Rin, pabo!
“Argh!” desisku menahan sakit. Aku
lupa menjauhkan mulutku dari ponsel. Alhasil, Henry kembali menanyakan
keadaanku.
“Kamu kenapa?”
Aku diam. Kalau aku bilang ke
Henry, dia pasti panik. Lagipula dia bilang akan pulang lima hari lagi dari
jadwal yang seharusnya dua minggu kedepan. Itu pasti karena dia memforsir
dirinya untuk syuting sampai malam. Aku enggak mau menambah bebannya sekarang.
“It’s okay, Oppa! Aku lupa kalau aku meninggalkan kompor untuk
mengangkat teleponmu. Pas balik lagi ke dapur, masakkannya hangus. Hehehe...”
ujarku bohong.
“Jinjja?”
“Iya. Mianhae Oppa, aku harus membersihkan itu. Kau juga bukannya harus
mulai syuting lagi?”
“....”
Ponsel ku jauhkan dari telinga. Aku
hanya menatap layarnya sampai sambungan diputus oleh Henry.
Kepalaku masih terus berdenyut.
Mual di perutku juga tidak berhenti. Aku mencoba memasukkan sedikit biskuit
untuk mengganjal perutku, tapi gagal. Kenyataannya aku harus memuntahkannya itu
berulang kali. Tenggorokkanku terlalu sakit untuk menelan sesuatu. Ditambah
dengan perutku yang melilit membuatku semakin tidak ada kekuatan untuk berdiri.
Mama! Aku perlu bantuannya
sekarang. Ku ambil ponsel untuk menghubungi Mama. Sambungan terhubung. Tapi
sebelum Mama menjawab telepon, bumi seolah-olah berputar hebat dan aku
mendapati pandanganku gelap.
---
“Hye Rin-ah!...”
Panggilan
lembut itu membangunkanku. Aku membuka perlahan mataku dan sedikit kaget dengan
objek yang kulihat.
“Chagi, gwenchanayo?” tanyanya.
Sejak
kapan Henry pulang? Eh, tunggu! Ini bukan di rumah? Ini...
“Ne. Oppa, kapan pulang? Oh ya, aku di
mana?”
“Kamu
di rumah sakit.” Sudah kuduga! Aku bergidik ketakutan mendengar nama tempat
ini.
“Aku
sakit apa, Oppa? Kalau enggak parah,
bawa aku pulang. Aku enggak mau di sini.”
“Andwe. Kamu masih harus di sini. Aku
khawatir sakitmu parah. Kenapa kamu enggak bilang kalau kamu lagi sakit?”
tanyanya khawatir.
Aku
diam saja. Rasa kesal kemarin masih sedikit tertinggal.
“Chagi...” katanya memegang tanganku. “Kamu marah padaku gara-gara
foto itu, eoh?”
Dia tahu, kenapa harus bertanya
lagi? Aku menatapnya dan masih setia menutup mulutku.
“Mianhae, jeongmal mianhae.”
Mulutku baru akan terbuka tapi
kembali bungkam saat sosok wanita masuk ke kamar tempatku di rawat. Aku kaget
melihatnya. Kagetku yang kedua hari ini. Kau tahu siapa ‘dia’? Dia...
“Henry, bagaimana keadaan Hye Rin?”
Henry tak menjawab. Dia malah
mempersilakan perempuan itu untuk duduk di kursi sebelah ranjangku.
“Bagaimana keadaanmu, Hye Rin-ssi?”
Senyum simpul. Hanya itulah yang
bisa kutunjukkan pada wanita itu, Ji Hee Eonni.
“Aku enggak apa-apa, Eonni,” jawabku
sekenanya.
Tring-tring!
Ponsel wanita itu berdering.
“Hye Rin, maaf aku enggak bisa
lama-lama. Aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik, ne?”
“Iya, Eonni. Gomawo,” balasku.
Wanita itu berbalik ke arah Henry.
Henry menghampiriku sebentar. Dia mengecup bibirku singkat. Lalu menghilang
bersama wanita itu.
“Chagi, aku pergi dulu sebentar. Nanti aku pasti ke sini. Urusan
kita belum selesai,” ucapnya tadi sebelum pergi.
Dan aku hanya bisa menyembunyikan
kecemburuanku dengan diam.
‘Oppa,
kapan kau bisa mengerti bahwa aku ‘sakit’ melihat kalian berdua?’
---
‘Huuuaaaa
senangnya....’
Akhirnya
setelah tiga hari ‘mendekam’ di kamar rumah sakit, aku sudah diperbolehkan
pulang oleh dokter. Kesempatan emas itu langsung ku gunakan untuk mengajak Mama
ke kedai ice cream favoriteku.
“Kamu
enggak takut batukmu kambuh, chagi?”
tanya Mama.
“Aku
sudah sehat, kok. Eomma enggak perlu
khawatir,” jawabku.
“Ya
udah, kamu siap-siap. Eomma ke depan
dulu.”
Aku
mengangguk pelan lalu segera ke kamar.
Sebelum berangkat, perlahan ku buka
pintu kamarku untuk melihat Henry yang masih terlelap. Pria itu! Persis seperti
anak kecil. Aku curiga, jangan-jangan dia masih berumur lima tahun yang
terperangkap di pikiran orang dewasa. Aku tertawa tertahan. Wajahnya
mengguratkan kelelahan. Kasihan dia. Pasti capeknya belum hilang setelah pulang
dari Cina kemarin.
“Oppa, aku pergi dulu, ne? Enggak lama, kok. Sleep well,” bisikku mencium keningnya.
Tadinya
aku mau mengajaknya pergi. Tapi lebih baik membiarkannya terbuai dalam mimpi
agar dia enggak mengacaukan suasana dengan kepopuleran artisnya di jalan nanti.
Ah,
bicara soal keartisannya, kenapa perasaan dan pikiranku masih terganggu dengan
foto-foto itu? Oppa, tahukah kau bahwa
aku hanya ingin menjadi milikmu sepenuhnya tanpa ada orang lain yang
mendekatimu? Aku mendengus kesal karena tidak bisa menghilangkan rasa
cemburuku.
“Maaf
karena aku masih suka cemburu padamu,” ucapku sambil menutup pintu kamar.
---
“Eomma, kajja!” ajakku antusias.
“Sebentar
Hye Rin-ah! Oh, ya. Kamu enggak
ngajak Henry?”
Aku
menggeleng. “Kasihan Oppa. Pasti dia
masih lelah, Eomma. Biarkan dia tidur
dulu.”
“Kamu
kasihan sama aku, apa emang sengaja enggak mau pergi sama aku?” Aku terkejut
mendengar suara di belakangku.
“Oppa?” Dia hanya tersenyum.
“Waeyo?”
“Bukannya
kau tidur tadi?”
“Aku
enggak mau sendirian di rumah. Sebentar!” ucapnya sambil mengambil jaket dan
mengunci pintu.
“Kajja kita jalan!” ajaknya.
“Kalau
begitu biar Henry aja ya yang nemenin kamu. Eomma
gak jadi ikut.”
“Lho,
kenapa Eomma?” tanyaku heran.
Mama
tidak menjawab. Hanya memberikan senyum singkat lalu mengambil kunci yang ada
di tangan Henry dan segera masuk ke dalam. Aku menatapnya tak mengerti.
“Chagi-ya! Kamu jadi beli ice cream apa
enggak? Kajja!”
Aku
tersentak mendengarnya. Lalu menganggukkan kepala pertanda aku setuju.
---
Kedai ice cream sedang ramai saat kami datang. Hampir
semua bangku di sana tidak ada yang kosong. Henry menyuruhku untuk menunggunya
di bangku taman selagi dia memesan ice cream kesukaanku. Selagi menunggu, aku
mengeluarkan kameraku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman.
Berspekulasi mendapat sesuatu yang dapat dijadikan objek potretan.
Aku
hampir menjatuhkan benda itu saat melihat objek yang ku lihat di kejauhan. Kali
ini apa lagi? Harus berapa kali lagi aku melihat itu dengan mata kepalaku
sendiri?
‘Henry Oppa’
“....”
“....”
Suaranya
terlalu kecil jika mendengar dari tempatku duduk. Aku memasukkan kamera dan
segera mendekat ke sana.
“Oppaa! Oppaa!! Satu foto lagi, jebal!” teriak kerumunan yang mayoritas
perempuan. Orang yang di panggil Oppa
itu hanya tersenyum sambil mencoba menjauh dari kerumunan itu.
“Maaf
saya buru-buru.”
“Ssaaattuuu....
ajaaa... ya, Oppa! Please!”
Dia
menghela napas berat. Tapi karena banyak yang memaksa, mau tidak mau dia
‘melayani’ permintaan fansnya itu. Perlahan kerumunan itu bubar dengan wajah
sumringah. Aku yang melihatnya seakan seperti sadar akan sesuatu. Mengerti...
Aku
mengalihkan pandangan ke arah lain saat ‘Oppa’
tidak sengaja melihatku.
“Chagi...”
Aku
menoleh ke kanan. Melihat Henry memanggil, aku segera menghampirinya.
“Maaf lama,” katanya sambil
memberiku ice cream.
“Gwenchana. Makasih, Oppa!”
balasku tersenyum.
Henry mengajakku duduk di bangku
taman tadi. Agak heran juga dengan sikapnya yang membuatnya mengunci mulutnya.
Biasanya pria sipit itu bawel dan banyak bicara.
“Kamu melihatnya, ya, tadi?”
tanyanya pelan memulai pembicaraan.
Aneh. Tumben dia bertanya
pertanyaan itu. “Iya. Wae?” tanyaku
yang masih sibuk menyendokkan ice cream ke mulutku.
Dia tidak menjawab.
“Oppa? Something wrong?” tanyaku.
“Mianhae, Rin-ah! Aku
membuatmu sakit lagi,” ujarnya.
“Kau ini bicara apa? Aku sekarang
enggak sakit malah dibilang sakit karenamu.”
“Tapi...”
Aku menyendokkan ice creamku dan
segera menyumpalkannya ke mulut Henry agar dia diam dan tidak melanjutkan
bicaranya. Tapi sepertinya gagal. Dia mencoba bicara tapi terhalang karena aku
selalu menyuapi ice creamku ke mulutnya.
“Oppa, jangan bicara sebelum kau ‘telan’ ice creammu!”
Dia mengangguk sambil menelan ice
cream di mulutnya perlahan.
“Kamu enggak bisa bohong sama aku.”
“Apa yang harus aku sembunyikan, Oppa? Aku mengatakan yang sebenarnya.
Emang bener, kan, aku ini enggak sakit. Aku sehat.”
“Fisikmu memang sehat, tapi hatimu
masih kesal dan terluka, kan?”
Matanya sayu melihatku. Aku
membalasnya dengan tersenyum.
“Aku akui, aku
memang cemburu padamu dan ‘dia’. Tapi dengan rasa cintaku dan mengerti dirimu
sepenuhnya membuatku sadar sesuatu. Oppa
bukan hanya milikku, tapi Oppa ada
hanya untuk menemani seumur hidup aku. Kau tahu, seharusnya aku yang merubah
sikap egoku. Mianhae, Oppa karena aku masih suka kekanakkan.”
“...”
“Saranghae, my love.”
“...”
Ku
tatap matanya dalam. “Oppa, aku
mencintaimu.”
“Chagi...”
“It’s okay, Oppa. I’m understand,” kataku yang tahu apa maksud
matanya.
“...”
“Jeongmal saranghae, Oppa!”
“Thanks my lovely. I love you,” bisiknya memelukku.
---
EPILOG!
Beberapa bulan
kemudian...
“Oppa, aku
mau makan ice cream lagi!” pintaku merajuk karena Henry masih membujukku
pulang.
“Ya! Chagi...
Kamu mau makan ice cream berapa banyak lagi? Kita pulang, ne?” ajaknya lagi.
“Yaahh
Oppa...”
“Besok
kita beli lagi, okay?” tawarnya.
Aku
cemberut. Permintaanku ditolak!
“Sayang,
besok Appa beliin lagi ice creamnya,
ya. Sekarang kita pulang, yuk! Kasihan tuh, Eommamu
dari tadi mulutnya enggak berhenti makan ice cream buat kamu,” ujar Henry tersenyum
sambil mengelus anak kami.
“Oppa, dia enggak mau dengerin
‘bujukkan’-mu. Sepertinya dia ngambek sama ayahnya,” kataku dingin.
“Siapa
bilang? Aku yakin kalau dia sudah lahir, dia akan menuruti kata-kataku karena
aku ayahnya,” sombongnya.
Henry
melirikku nakal. Aku makin mempoutkan
bibirku kesal.
“Jangan
cemberut, dong sayang!”
Aku
masih kesal dan tak mau beranjak dari tempatku.
“Apa
aku harus kasih ini biar kamu mau pulang, eoh?”
tanyanya nakal sambil menatap dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku tak mengerti
pertanyaannya.
Tiba-tiba...
*sensor* (kau tahulah apa maksudku xD)
“Oppaaaaa!!!!”
END
A-I, 18 Desember 2013
Gimana? Gaje gila! xD