Labels

Saturday 21 December 2013

It's Okay, I'm Understand




-Aku akui, aku memang cemburu padamu dan ‘dia’. Tapi dengan rasa cintaku dan mengerti dirimu sepenuhnya membuatku sadar sesuatu. So, It’s Okay Oppa. I’m Understand.- Hye Rin Lau

Note    : FF ini buat numpahin ‘uneg-uneg’ (?) ku sama Henry Oppa dan Rahmalia! :P
Kenapa? Kalian pasti tahu Henry lagi sibuk-sibuknya syuting drama di China, ya,
kan? Sebenernya ini hanya pengen nulisin galauku aja karena foto-fotonya Oppa di
lokasi syuting sama lawan mainnya. #curhat Terus juga sebel sama Rahma soalnya
udah ngeshare tuh foto ke TL facebook! Dia enggak tahu apa kemaren baru aja bela-
belain kagak ngeliat tuh foto di Fans Page Strings! -_- #curhat kedua
Terakhir mungkin agak aneh kali ya liat fotonya Oppa yang begitu. (Maklum aja ya guys, selama ini enggak pernah liat Henry dengan adegan panas itu :P) So, happy reading! Hope u like it!
N.B.à Don’t be a plagiator! :P
Cast     : Henry Lau, Han Hye Rin a.k.a Hye Rin Lau (?) dan... aku lupa namanya siapa
Zhang Xin Yi- kah? Entahlah gak mau ngebahas! #curhat ketiga -_- Tapi disini aku
samarin kok, tokohnya ^^ (Choi Ji Hee)
Genre  : Romance
Warning!
Judulnya agak enggak sesuai dengan ceritanya! Banyak typo bertebaran! So, be carefull!
---
Mataku panas melihat fotonya di jejaring sosial. Aish, menyebalkan sekali! Seharusnya aku tahu kalau ini adalah resiko menjadi istri seorang artis. Tapi, tak bisakah foto-foto itu tidak di sebar di dunia maya? Andai dia tahu itu membuatku... tersiksa! Ah, sudahlah! Masih mending dia selalu menghubungiku lewat telepon di sela-sela jadwal kesibukkannya. Bukankah itu yang aku butuhkan? Tahu bagaimana kabarnya, dan dia tahu bagaimana keadaanku.
Sudah satu bulan dia pergi untuk syuting di Cina. Dan sudah dua kali pula aku melihat foto suamiku sendiri bersama lawan mainnya di film tersebar di jejaring sosial weibo. Banyak temanku yang kebetulan adalah fansnya selalu menghubungiku saat foto itu menyebar di dumay.
“Hye Rin-ssi! Bagaimana kabarnya Oppa saat ini? Apakah dia masih lama di Cina? Salamkan salamku untuk Henry Oppa, ne?” SMS seorang temanku yang tergila-gila pada Henry, suamiku.
Salah satu SMS untuk dia lagi. Tak adakah SMS dari temanku yang hanya untuk menanyakan kabarku?
Huufft!
Aku membalasnya dengan malas, “Dia baik. Aku gak tahu, mungkin lama. Pasti.”
SENT!
Aku mematikan ponsel dan laptopku, mencegah diri untuk tidak lagi membuka jejaring sosial sampai seminggu ke depan. Ya, aku akui. Aku seseorang yang mudah sekali cemburu. Bagaimana seorang istri tidak cemburu jika ada perempuan lain yang bermesraan dengan suaminya sendiri walaupun itu hanya acting? Ya, hanya ACTING! Normal bukan? Tapi akan kuusahakan untuk menyembunyikan itu di depan orang-orang banyak, termasuk... Henry.
Sebelum mematikan laptop, aku melihat ada tanda notification berubah merah. Pertanda ada yang mengirimkan sesuatu di TL-ku. Karena penasaran, aku membukanya. Dan...
Omonaaa, Oppaaa!” pekikku tetahan, kaget dengan apa yang kulihat.
Seorang temanku mengirimkan foto terbaru di lokasi syutingnya Henry.  Dan bisa kalian tebak, itu foto dirinya bersama lawan mainnya itu.
Secepat kilat ku nonconnect-kan laptopku dengan internet dan mematikannya dengan sedikit kasar karena kesal dengan apa yang tadi kulihat.
SUDAH TIGA KALI. Aku menghela napas berat. Mungkin kata sabar harus sering banyak kuucapkan.
“Harusnya wanita itu aku. Kenapa sih, harus ada scine memuakkan itu? Sempet-sempetnya di foto lagi! Bolehkah egoku datang untuk melarangmu mengambil job itu?” ujarku lirih sambil menenggelamkan mukaku ke bantal.
Lagu Hate U Love U yang kuputar dari MP3 perlahan membuatku tertidur pulas.
---
Seminggu kemudian...

            Aku mengambil ponsel yang kusimpan di box kecil dan segera mengaktifkannya. Kangen juga aku sama benda mungil berwarna biru itu. Begitu aktif, muncul puluhan SMS yang isi dan pengirimya sama. Pengirimnya tentu saja Henry.
Chagi, kenapa ponselmu tidak aktif, eoh? Jangan kamu matikan lagi ya karena aku susah untuk menghubungimu. Setiap hari! Saranghae, my love :*”
            Aku tersenyum kecut.
‘Mana mungkin? Henry kan, orang sibuk. Meneleponku saja dua hari sekali. Itu juga kalau kemarin aku duluan yang meneleponnya.’
ajikkkaji motaejun geu mal
mogi meyeo sikeunhan geu mal
nuguboda saranghae
ojik neowa na nannana nannana nanna
            Ponsel yang berada di tanganku bergetar. Hampir saja aku membanting benda kecil itu karena kaget. Tanpa melihat siapa yang menelepon, aku buru-buru mengangkat panggilan itu.
            “Yeoboseo?” ujarku sedikit parau.
            Arrggghhh! Suara kodok itu masih tetap setia mengacaukan suara asliku. Sudah lima hari ini aku demam. Walau panasnya sudah turun dari kemarin, tapi batuknya masih belum mau minggat juga. Iisshh! Menyebalkan sekali bukan?
            Ada hening sedikit lama. Apakah ucapanku tadi tidak jelas? Kuulangi lagi menjawabnya. Tentu dengan suara kodok menyedihkan itu. “Yeoboseo? Ehem...”
            “Chagi, kamu sakit?
            Aku tahu siapa lawan bicaraku. Henry.
            “Errhmm... anio Oppa. Hanya demam dan batuk sedikit. Tapi sekarang aku enggak apa-apa. Mianhae, aku baru mengaktifkan ponselku tadi pagi,” jawabku lirih.
            “Kamu yakin? Udah ke dokter?” tanyanya lumayan panik.
            “Sssuu...belum Oppa. Kau kan tahu kalau aku takut ke dokter sendirian. Mama lagi enggak ada di rumah. Sudah seminggu Mama pulang.”
Tapi Rin-ah...
“Oh iya, Oppa sudah makan? Jangan lupa makan dan minum vitamin, ne?” tanyaku memotong kalimatnya sambil mengalihkan pembicaraan.
Aku mencoba untuk mengobrol lama dengannya, tapi tiba-tiba kepalaku mendadak pusing. Perutku juga mual. Sepertinya efek karena aku belum makan dari semalam karena ketiduran. Ah, Hye Rin, pabo!
“Argh!” desisku menahan sakit. Aku lupa menjauhkan mulutku dari ponsel. Alhasil, Henry kembali menanyakan keadaanku.
Kamu kenapa?
Aku diam. Kalau aku bilang ke Henry, dia pasti panik. Lagipula dia bilang akan pulang lima hari lagi dari jadwal yang seharusnya dua minggu kedepan. Itu pasti karena dia memforsir dirinya untuk syuting sampai malam. Aku enggak mau menambah bebannya sekarang.
It’s okay, Oppa! Aku lupa kalau aku meninggalkan kompor untuk mengangkat teleponmu. Pas balik lagi ke dapur, masakkannya hangus. Hehehe...” ujarku bohong.
Jinjja?
“Iya. Mianhae Oppa, aku harus membersihkan itu. Kau juga bukannya harus mulai syuting lagi?”
“....”
Ponsel ku jauhkan dari telinga. Aku hanya menatap layarnya sampai sambungan diputus oleh Henry.
Kepalaku masih terus berdenyut. Mual di perutku juga tidak berhenti. Aku mencoba memasukkan sedikit biskuit untuk mengganjal perutku, tapi gagal. Kenyataannya aku harus memuntahkannya itu berulang kali. Tenggorokkanku terlalu sakit untuk menelan sesuatu. Ditambah dengan perutku yang melilit membuatku semakin tidak ada kekuatan untuk berdiri.
Mama! Aku perlu bantuannya sekarang. Ku ambil ponsel untuk menghubungi Mama. Sambungan terhubung. Tapi sebelum Mama menjawab telepon, bumi seolah-olah berputar hebat dan aku mendapati pandanganku gelap.
---
“Hye Rin-ah!...”
            Panggilan lembut itu membangunkanku. Aku membuka perlahan mataku dan sedikit kaget dengan objek yang kulihat.
            “Chagi, gwenchanayo?” tanyanya.
            Sejak kapan Henry pulang? Eh, tunggu! Ini bukan di rumah? Ini...
            “Ne. Oppa, kapan pulang? Oh ya, aku di mana?”
            “Kamu di rumah sakit.” Sudah kuduga! Aku bergidik ketakutan mendengar nama tempat ini.
            “Aku sakit apa, Oppa? Kalau enggak parah, bawa aku pulang. Aku enggak mau di sini.”
            “Andwe. Kamu masih harus di sini. Aku khawatir sakitmu parah. Kenapa kamu enggak bilang kalau kamu lagi sakit?” tanyanya khawatir.
            Aku diam saja. Rasa kesal kemarin masih sedikit tertinggal.
Chagi...” katanya memegang tanganku. “Kamu marah padaku gara-gara foto itu, eoh?”
Dia tahu, kenapa harus bertanya lagi? Aku menatapnya dan masih setia menutup mulutku.
Mianhae, jeongmal mianhae.
Mulutku baru akan terbuka tapi kembali bungkam saat sosok wanita masuk ke kamar tempatku di rawat. Aku kaget melihatnya. Kagetku yang kedua hari ini. Kau tahu siapa ‘dia’? Dia...
“Henry, bagaimana keadaan Hye Rin?”
Henry tak menjawab. Dia malah mempersilakan perempuan itu untuk duduk di kursi sebelah ranjangku.
“Bagaimana keadaanmu, Hye Rin-ssi?”
Senyum simpul. Hanya itulah yang bisa kutunjukkan pada wanita itu, Ji Hee Eonni. “Aku enggak apa-apa, Eonni,” jawabku sekenanya.
Tring-tring!
Ponsel wanita itu berdering.
“Hye Rin, maaf aku enggak bisa lama-lama. Aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik, ne?”
“Iya, Eonni. Gomawo,” balasku.
Wanita itu berbalik ke arah Henry. Henry menghampiriku sebentar. Dia mengecup bibirku singkat. Lalu menghilang bersama wanita itu.
Chagi, aku pergi dulu sebentar. Nanti aku pasti ke sini. Urusan kita belum selesai,” ucapnya tadi sebelum pergi.
Dan aku hanya bisa menyembunyikan kecemburuanku dengan diam.
‘Oppa, kapan kau bisa mengerti bahwa aku ‘sakit’ melihat kalian berdua?’
---
Huuuaaaa senangnya....’
            Akhirnya setelah tiga hari ‘mendekam’ di kamar rumah sakit, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Kesempatan emas itu langsung ku gunakan untuk mengajak Mama ke kedai ice cream favoriteku.
            “Kamu enggak takut batukmu kambuh, chagi?” tanya Mama.
            “Aku sudah sehat, kok. Eomma enggak perlu khawatir,” jawabku.
            “Ya udah, kamu siap-siap. Eomma ke depan dulu.”
            Aku mengangguk pelan lalu segera ke kamar.
Sebelum berangkat, perlahan ku buka pintu kamarku untuk melihat Henry yang masih terlelap. Pria itu! Persis seperti anak kecil. Aku curiga, jangan-jangan dia masih berumur lima tahun yang terperangkap di pikiran orang dewasa. Aku tertawa tertahan. Wajahnya mengguratkan kelelahan. Kasihan dia. Pasti capeknya belum hilang setelah pulang dari Cina kemarin.
            “Oppa, aku pergi dulu, ne? Enggak lama, kok. Sleep well,” bisikku mencium keningnya.
            Tadinya aku mau mengajaknya pergi. Tapi lebih baik membiarkannya terbuai dalam mimpi agar dia enggak mengacaukan suasana dengan kepopuleran artisnya di jalan nanti.
            Ah, bicara soal keartisannya, kenapa perasaan dan pikiranku masih terganggu dengan foto-foto itu? Oppa, tahukah kau bahwa aku hanya ingin menjadi milikmu sepenuhnya tanpa ada orang lain yang mendekatimu? Aku mendengus kesal karena tidak bisa menghilangkan rasa cemburuku.
            “Maaf karena aku masih suka cemburu padamu,” ucapku sambil menutup pintu kamar.
---
Eomma, kajja!” ajakku antusias.
            “Sebentar Hye Rin-ah! Oh, ya. Kamu enggak ngajak Henry?”
            Aku menggeleng. “Kasihan Oppa. Pasti dia masih lelah, Eomma. Biarkan dia tidur dulu.”
            “Kamu kasihan sama aku, apa emang sengaja enggak mau pergi sama aku?” Aku terkejut mendengar suara di belakangku.
            “Oppa?” Dia hanya tersenyum.
            “Waeyo?”
            “Bukannya kau tidur tadi?”
            “Aku enggak mau sendirian di rumah. Sebentar!” ucapnya sambil mengambil jaket dan mengunci pintu.
            “Kajja kita jalan!” ajaknya.
            “Kalau begitu biar Henry aja ya yang nemenin kamu. Eomma gak jadi ikut.”
            “Lho, kenapa Eomma?” tanyaku heran.
            Mama tidak menjawab. Hanya memberikan senyum singkat lalu mengambil kunci yang ada di tangan Henry dan segera masuk ke dalam. Aku menatapnya tak mengerti.
            “Chagi-ya! Kamu jadi beli ice cream apa enggak? Kajja!”
            Aku tersentak mendengarnya. Lalu menganggukkan kepala pertanda aku setuju.
---
Kedai ice cream sedang ramai saat kami datang. Hampir semua bangku di sana tidak ada yang kosong. Henry menyuruhku untuk menunggunya di bangku taman selagi dia memesan ice cream kesukaanku. Selagi menunggu, aku mengeluarkan kameraku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Berspekulasi mendapat sesuatu yang dapat dijadikan objek potretan.
            Aku hampir menjatuhkan benda itu saat melihat objek yang ku lihat di kejauhan. Kali ini apa lagi? Harus berapa kali lagi aku melihat itu dengan mata kepalaku sendiri?
            ‘Henry Oppa’
            “....”
            “....”
            Suaranya terlalu kecil jika mendengar dari tempatku duduk. Aku memasukkan kamera dan segera mendekat ke sana.
            “Oppaa! Oppaa!! Satu foto lagi,  jebal!” teriak kerumunan yang mayoritas perempuan. Orang yang di panggil Oppa itu hanya tersenyum sambil mencoba menjauh dari kerumunan itu.
            “Maaf saya buru-buru.”
            “Ssaaattuuu.... ajaaa... ya, Oppa! Please!”
            Dia menghela napas berat. Tapi karena banyak yang memaksa, mau tidak mau dia ‘melayani’ permintaan fansnya itu. Perlahan kerumunan itu bubar dengan wajah sumringah. Aku yang melihatnya seakan seperti sadar akan sesuatu. Mengerti...
            Aku mengalihkan pandangan ke arah lain saat ‘Oppa’ tidak sengaja melihatku.
Chagi...”
            Aku menoleh ke kanan. Melihat Henry memanggil, aku segera menghampirinya.
“Maaf lama,” katanya sambil memberiku ice cream.
Gwenchana. Makasih, Oppa!” balasku tersenyum.
Henry mengajakku duduk di bangku taman tadi. Agak heran juga dengan sikapnya yang membuatnya mengunci mulutnya. Biasanya pria sipit itu bawel dan banyak bicara.
“Kamu melihatnya, ya, tadi?” tanyanya pelan memulai pembicaraan.
Aneh. Tumben dia bertanya pertanyaan itu. “Iya. Wae?” tanyaku yang masih sibuk menyendokkan ice cream ke mulutku.
Dia tidak menjawab.
Oppa? Something wrong?” tanyaku.
Mianhae, Rin-ah! Aku membuatmu sakit lagi,” ujarnya.
“Kau ini bicara apa? Aku sekarang enggak sakit malah dibilang sakit karenamu.”
“Tapi...”
Aku menyendokkan ice creamku dan segera menyumpalkannya ke mulut Henry agar dia diam dan tidak melanjutkan bicaranya. Tapi sepertinya gagal. Dia mencoba bicara tapi terhalang karena aku selalu menyuapi ice creamku ke mulutnya.
Oppa, jangan bicara sebelum kau ‘telan’ ice creammu!”
Dia mengangguk sambil menelan ice cream di mulutnya perlahan.
“Kamu enggak bisa bohong sama aku.”
“Apa yang harus aku sembunyikan, Oppa? Aku mengatakan yang sebenarnya. Emang bener, kan, aku ini enggak sakit. Aku sehat.”
“Fisikmu memang sehat, tapi hatimu masih kesal dan terluka, kan?”
Matanya sayu melihatku. Aku membalasnya dengan tersenyum.
Aku akui, aku memang cemburu padamu dan ‘dia’. Tapi dengan rasa cintaku dan mengerti dirimu sepenuhnya membuatku sadar sesuatu. Oppa bukan hanya milikku, tapi Oppa ada hanya untuk menemani seumur hidup aku. Kau tahu, seharusnya aku yang merubah sikap egoku. Mianhae, Oppa karena aku masih suka kekanakkan.”
“...”
Saranghae, my love.”
“...”
Ku tatap matanya dalam. “Oppa, aku mencintaimu.”
Chagi...”
It’s okay, Oppa. I’m understand,” kataku yang tahu apa maksud matanya.
“...”
Jeongmal saranghae, Oppa!”
Thanks my lovely. I love you,” bisiknya memelukku.
---
EPILOG!

Beberapa bulan kemudian...

Oppa, aku mau makan ice cream lagi!” pintaku merajuk karena Henry masih membujukku pulang.
            “Ya! Chagi... Kamu mau makan ice cream berapa banyak lagi? Kita pulang, ne?” ajaknya lagi.
            “Yaahh Oppa...”
            “Besok kita beli lagi, okay?” tawarnya.
            Aku cemberut. Permintaanku ditolak!
            “Sayang, besok Appa beliin lagi ice creamnya, ya. Sekarang kita pulang, yuk! Kasihan tuh, Eommamu dari tadi mulutnya enggak berhenti makan ice cream buat kamu,” ujar Henry tersenyum sambil mengelus anak kami.
            “Oppa, dia enggak mau dengerin ‘bujukkan’-mu. Sepertinya dia ngambek sama ayahnya,” kataku dingin.
            “Siapa bilang? Aku yakin kalau dia sudah lahir, dia akan menuruti kata-kataku karena aku ayahnya,” sombongnya.
            Henry melirikku nakal. Aku makin mempoutkan bibirku kesal.
            “Jangan cemberut, dong sayang!”
            Aku masih kesal dan tak mau beranjak dari tempatku.
            “Apa aku harus kasih ini biar kamu mau pulang, eoh?” tanyanya nakal sambil menatap dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku tak mengerti pertanyaannya.
            Tiba-tiba... *sensor* (kau tahulah apa maksudku xD)
            “Oppaaaaa!!!!”


END



A-I, 18 Desember 2013

Gimana? Gaje gila! xD

No comments: