Labels

Wednesday 19 December 2012

NIKMATNYA KEJUJURAN

Cerpen pertamaku. Waktu menulis ini sebenarnya teringat akan nasihat guruku di kelas 4 SD 7 tahun silam.


Selamat membaca!




Pernahkah kalian berbohong? Entah itu karena terpaksa atau tanpa disengaja. Lebih banyak mana? Mungkin jawabannya tanpa disengaja. Aku pernah melakukan keduanya. Aku terpaksa karena takut akan resiko yang menimpaku setelah aku berkata jujur. Jadinya aku berbohong. Tidak disengaja karena tanpa sadar aku melakukannya, seperti di siang itu. Saat bersama teman-temanku.
Hari itu aku berkumpul dengan teman-temanku di kantin sekolah. Biasanya kami ke perpustakaan dulu baru ke kantin. Tapi entah mengapa tiba-tiba salah satu temanku mengajak kami ke kantin. Mungkin karena belum sarapan, pikirku. Aku dan 3 temanku lainnya setuju. Berangkatlah kami menuju kantin, diselingi dengan lelucon-lelucon konyol. Ya, memang kami berenam sering bertingkah yang aneh-aneh tapi tak sampai tingkah kami ini berujung pada masalah.
Salah satu temanku masih tetap dengan lelucon konyolnya walaupun kami telah sampai di kantin, tempat biasa kami jajan dan menyantap santap siang. Karena asyik dengan lelucon konyolnya, dan kami terus tertawa tanpa henti, tak ku sangka tanganku menyenggol piring dan memecahkannya. Karena saat itu masih ramai siswa-siswi yang sedang jajan, ibu penjaga kantin tak mengetahuinya. Mukaku pias. Teman-temanku diam seribu bahasa. Masalah ini adalah masalah yang pertama kali terjadi setelah kami melakukan kebiasaan buruk kami.
Masih dengan tatapan pias, aku diam dan mataku tak lepas melihat pecahan piring itu. Karena kami semua penakut, kami tidak berani untuk berterus terang, terutama aku.
Temanku Alia berkata,” Ayolah Rahmi kita pergi saja dan lupakan kejadian ini.” Teman-temanku yang lain mengiyakan. Tapi aku masih bergeming. Dalam hati aku tak setuju dengan usul temanku itu. Tapi saking takut di marahi oleh ibu penjaga kantin, aku ikuti usul buruk temanku itu.
Rasa bersalah itu masih membayang-bayangi pikiranku. Aku gelisah. Semalaman aku tak bisa memejamkan mata karena saking takutnya akan masalah tadi. Sebagian hatiku berkata,
 ‘Sudahlah. Jangan risau. Ngapain amat capek-capek mikirin piring yang udah pecah tadi.’
Sebagian hatiku lagi bilang,
Daripada kamu kayak gini, besok pagi langsung aja ke kantin. Minta maaf sama ibu penjaga kantinnya. Kalau bisa kamu juga harus ganti rugi. Misalnya, nyuciin piring kek, bantuin ngelayanin pembeli kek, atau apalah. Itu lebih baik daripada kamu kayak gini.
‘Ya elah! Ribet amat! Udah biarin aja. Lupain dan tidur.’
Ikutin kata hatimu ini jangan yang satunya. Semoga saja kamu di maafin sama ibu Nina, penjaga kantin itu. Okey!
‘APAKAH?  Tambah nambahin masalah tau. Ntar kalau diaduin gimana?’
Kejujuran itu amanah. Pokoknya besok harus minta maaf. Baru itu jiwa kesatria!
Aku hanya diam mendengar dua pernyataan yang bergemuruh dalam hatiku. Ah, sebodo amat.
Tapi....
“Okay-okay! Liat besok pagi.” kataku mengambill kesimpulan atas perdebatan hatiku.
Besoknya...
Dengan sarapan yang tergesa-gesa, ku habiskan sarapanku dan bergegas berangkat sekolah. Setelah pamit lalu mencium tangan ayah dan ibu, kukayuh sepedaku dengan kecepatan tinggi. Hmm, sebuah tindakan bodoh, pikirku. Maklum, biasanya jika berangkat ke sekolah dengan sepeda, tak pernah ku gowes sepedaku dengan kencang. Aku selalu santai bila bersepeda. Apalagi jarak antara rumahku dengan sekolah hanya 1,5 km. Tak terlalu jauh. Tak terlalu dekat. Sedang saja.
Begitu selesai memarkir sepeda di parkiran, aku langsung bergegas ke kantin. Tapi, belum ada siapa-siapa. Masih ada waktu buat ke atas dan menaruh tas. Ku lihat arlojiku, masih jam 06.00. Mataku terbelalak. Biasanya aku berangkat dari rumah jam setengah enam lewat lima dan sampai sekolah pukul 06.15. Pantas saja di kantin belum ada orang.
Aku mondar-mandir. Naik-turun tangga antara kantin dan kelasku. Kelasku dan kantin memang tak terlalu jauh. Apalagi kelasku ada di lantai 2. Naik-turun tangga rupanya capek juga. Aku putuskan untuk turun dan bergegas ke kantin. Kulihat sudah banyak murid yang datang. Tapi sampai kantin, tidak ada orang yang kucari. Aku bertanya ke Mang Ubay, si penjual somay.
“Mang, Bu Nina gak dateng?” kataku memulai pembicaraan.
“Hm, kayaknya sih engga neng. Biasanya dia kan udah dateng jam segini. Kemarin, mamang liat dia kecapean ngelayanin murid-murid yang jajan.” jawab Mang Ubay.
“Oh, begitu ya,” jawabku dengan nada kecewa. “Mamang tau gak rumahnya di mana?”tanyaku.
“Wah sayangnya mamang gak tau. Emangnya ada apa sih? Kok tiba-tiba eneng nanyain Bu Nina?”
“Eeengggg... Gak apa-apa kok. Makasih Mang, infonya,”sambarku buru-buru.
“Ya. Sama-sama”
Bel masuk berbunyi. Aku bergegas naik dan masuk ke kelas. Kuikuti setiap pelajaran tanpa semangat. Teman-teman akrabku tahu akan hal ini. Mereka juga ikut merasa bersalah, tapi aku tak mau melibatkan mereka. Ketika pelajaran jam terakhir Pak Widodo, guru matematika tidak hadir. Kami hanya diberikan tugas. Temanku Widya mengajakku ke tempat duduknya dan dia merencanakan sesuatu. Aku mendengarkan idenya. Aku sumigrah. Alia, Vita, dan Dina ikut bergabung. Widya menceritakan idenya. Mereka bertiga, termasuk aku tentunya, menyambut senang rencana Widya. Dalam hati aku bergumam, ‘Semoga berhasil. Amin.’ Beruntungnya aku memiliki sahabat yang baik seperti mereka.
Sesuai dengan rencana, hari yang dinanti-nantikan tiba juga. Aku, Widya, Alia, Vita dan Dina mulai menyusun strategi. Setelah bertanya ke sana ke sini rumah bu Nina, kami berangkat menuju rumahnya di jalan Nilem yang hanya beberapa gang dari rumah Alia. Pagi-pagi kami berlima berkumpul di rumah Alia untuk membicarakan rencana kami. Menjelang siang, kami berangkat ke rumah bu Nina.
“Assalamu’alaikum.” kata kami berlima memberikan salam.
Terdengar balasan, “Wa’alaikumsalam.” Tak lama kemudian aku melihat seseorang ibu yang membukakan pintu. “Eh, kalian. Ada gerangan apa kalian datang kemari? Tumben sekali.”
Kami lalu dipersilakan bu Nina duduk di kursi ruang tamunya. Sebelum bu Nina mengulangi pertanyaannya, aku menjawab, “Ibu, sebenarnya kami datang ke sini bukan hanya sekedar bertamu tapi kami, terutama Rahmi ingin meminta maaf karena 3 hari yang lalu tanpa disengaja saya menjatuhkan dan memecahkan salah satu piring ibu. Rahmi akui Rahmi pengecut. Tidak berani berkata jujur saat memecahkan piring itu. Rahmi terlalu takut waktu itu. Maafkan Rahmi bu. Maukah ibu memaafkanku?
Tanpa diduga, bu Nina berkata, “ Ibu sudah mengetahuinya.”
Aku dan teman-temanku kaget. Bagaimana mungkin? Pecahan piringnya kan sudah kan sudah kami bersihkan. Bu Nina tahu apa yang ada dipikran kami dan berkata,” Neng Rahmi. Ibu udah tahu bahwa ada piring yang pecah meskipun kejadiaannya ibu tak melihatnya. Ibu kecewa dengan apa yang kalian lakukan tapi ibu yakin cepat atau lambat kalian akan berkata yang sesungguhnya sama ibu. Dari awal ibu sudah memaafkan kalian berlima, terutama kamu neng Rahmi.”
“ Saya tidak menyangka ibu mau memaafkan Rahmi. Terima kasih bu. Tapi, saya tidak bisa mengganti piring ibu tersebut,” balasku.
“Iya bu. Kami minta maaf kami tak bisa menggantinya,” Widya membenarkan.
“Kalian tidak perlu mengganti piring ibu.” kata bu Nina.
“Tapi kami merasa sangat bersalah tidak bisa mengganti piring orang lain yang kami rusakkan, terutama saya.” Lanjutku hampir menangis.
“Oke begini saja. Kalian akan mengganti piring ibu dengan tenaga yang kalian miliki, bukan dengan mengganti dengan barang yang sama. Bagaimana? Kalian setuju?” jawab bu Nina.
“Kami setuju,” jawab kami serempak.
Tak terasa sudah satu setengah jam kami bertamu di rumah bu Nina. Setelah kami buat perjanjian dengan bu Nina, kami pamit pulang. Aku tidak menyangka, bu Nina selain penjaga kantin, dia seorang pengrajin mainan tradisional yang sudah langka. Teman-temanku juga demikian. Dalam perjalanan pulang, ku utarakan maksudku kepada mereka, agar aku saja yang membantu bu Nina. Karena aku yang melakukannya dan aku yang salah. Tapi Dina buru-buru memotong kalimatku, “Kita ini sahabat. Sudah seperti keluarga sendiri. Kalau satu dari kita ada yang salah, maka semuanya salah. Kalau satu dari kita dapat hukuman, semuanya juga harus di hukum.”
“Ini kan kesalahan aku. Aku yang udah mecahin piring, berarti aku harus di menerima resikonya.” balasku.
“Di mana arti dari kalimat ‘SAHABAT YANG SEBENARNYA ADALAH SAHABAT YANG ADA SAAT SAHABATNYA MEMBUTUHKAN’?” Alia ikut menyambung.
Aku terpana. Vita menambahkan,”Apalah arti kalimat yang kamu bikin kalau kamu tak mau teman-temanmu ini membantu kamu dari masalah ini. Kamu memecahkan piring tersebut kan juga gara-gara lelucon aku.”
Aku masih diam tanpa kata. Mereka benar. Aku seharusnya bersyukur karena aku memiliki sahabat yang dapat mengerti aku dan mau membantuku dari masalah ini. “Maafkan aku kawan. Aku bukannya tidak mau dibantu. Aku hanya ingin kalian tidak perlu menanggung resiko ini.”
“Rahmi, jangan mikir yang enggak-enggak. Kita ini sahabat. Persahabatan kita tidak boleh rusak hanya karena hal sepele. Kami akan membantu kamu.” Widya menasihatiku.
Mereka membuktikan janjinya. Aku di bantu mereka mengerjakan pesanan pelanggannya bu Nina. Kami berlima mengerjakannya dengan serius diselingi obrolan ringan dengan bu Nina. Tanpa terasa, pekerjaan kami cepat selesai.
Bisa dibilang dari pengakuan kejujuranku ini membawa nikmat tersendiri. Karena pesanan yang begitu banyak, akhirnya kami berlima bisa menjadi pegawai tetapnya bu Nina yang usaha mainannya semakin maju. Ditambah lagi nikmat itu yang dirasakan diriku sendiri adalah semakin akrab dengan keempat temanku ini. Semoga persahabatan kami awet sampai maut yang memisahkan kami. Aku berandai-andai jika waktu itu aku masih bohong tentunya aku tak akan bisa merasakan nikmatnya kejujuran yang rasanya bagai madu. Alhamdulillah, aku sudah mereguk madu itu.



A-I, TANGGERANG 24 FEBRUARI 2012

Monday 17 December 2012

Temanku Wyeta

Seorang anak berambut panjang dan berbando sedang menikmati makan siangnya saat aku datang menghampirinya. Dia adalah anak baru di sekolahku. Karna ingin akrab dengannya, aku memberanikan diri untuk mendekatinya dan berkenalan dengannya. Tapi aku heran, saat hampir dekat dengannya, tanpa ba bi bu lagi, dia langsung ngeloyor pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Mungkin benar apa yang dikatakan kawan-kawanku, dia adalah anak perempuan yang sombong. Di kelas memang dia tak banyak bicara. Padahal sudah hampir sebulan dia sekelas denganku. Tapi jangankan untuk akrab. Namanya pun aku dan kawan-kawanku tak akan tau kecuali, saat namanya di panggil oleh guru. Dalam hati, kapan ya aku bisa akrab dengannya???
Esoknya aku ulangi tindakkan yang sama. Dia lakukan lagi perbuatan seperti kemarin. Salah seorang kawanku yang melihat itu dan dia mulai menasihatiku.
“Andin, buat apa sih kamu mendekati dia? Kamu tau gak? Dia itu soommmbbboonnggnnyaaaaa minta ampunn. Kemarin-kemarin aku udah sabar buat bertegur sapa dengannya. Tapi apa yang aku dapat? Cuma mata sinis darinya. Aku saranin deh kamu jangan lagi ngedeketin atau berurusan dengannya,” 
“Tapi emangnya salah kalau aku berusaha untuk akrab dengannya? Kita kan teman sekelas. Masa sampai sekarang kita gak tau rumahnya di mana?” jawabku.
Fina mengangguk membenarkan sanggahanku. “ Iya juga bener juga.  Trus gimana dong? “ tanyanya.
Hmmm, dalam kepalaku mulai muncul ide. Ku bisikkan rencanaku ini ke Fina. Matanya berbinar. Kami berdua cekikikkan seperti anak kecil.
Keesokkan harinya, kami menjalankan ‘Misi’ kami. Aku dan Fina mengajak semua teman sekelas agar meyapa dia, orang yang dianggap oleh seluruh teman sekolahku itu sombong, setiap saat. Baik saat masuk kelas, pulang sekolah atau bahkan makan di kantin. Wyeta. Iya namanya Wyeta. Dia membalas semua sapaan dengan anggukan kepala bukan dengan suara. Tapi aku dan yang lain merasa puas. Belum tentu kan dia sombong pikir kami semua.
Seminggu penuh kami menjalankan ‘Misi’ kami. Amazing! Wyeta berubah drastis. Meskipun masih belum mau berkumpul sama teman sekalas, setidaknya dia selalu memberikan senyuman dan sapaan saat bertatapan langsung.
“Guten Morgen Alles Freundin und Freundinen. Selamat Pagi semua,” Wyeta menyapa kami.
Kami sekelas tersentak kaget. Tapi aku bisa menguasai keadaan. Kusambut Wyeta dan membalas sapaannya, “Pagi juga Wyeta.”
Teman-teman yang lain juga membalas serempak,” Pagi Wyeta!” sambari tersenyum.
`Ah senangnya` gumamku. Wyeta ternyata tidak sesombong yang aku dan teman-temanku kira. Aku baru tau mengapa dia berlagak sombong seperti itu.
Wyeta adalah anak tunggal di keluarganya dan mereka semua baru pindah ke Indonesia setelah ayah Wyeta dipindah tugaskan ke Indonesia dari Jerman. Kalian pasti mengira Wyeta lahir di Jerman, iya kan? Tapi kalian salah! Wyeta asli Indonesia, tepatnya dia lahir di Batu, Malang. Hanya saja Wyeta besar di Jerman. Sering sekali dia menggunakan bahasa Jerman untuk mengobrol dengan kami.
Di kelas siang itu....
“Hey! Wie geht’s?” Wyeta mencoba ngobrol dengan kami.
Kami melongo. Akhirnya dia terjemahkan, “Artinya, Hey! Apa kabar?”
“Ooohhh” jawab kami serempak.
“Lalu kami harus jawab apa?” tanya Fina.
“I’m fine thanks.” kata Deni.
“Inggris kaliii” ledek yang lain.
“Kalian jawab, ‘Danke Prima’. Jika keadaan kalian sedang baik.”
“Waw! Seru juga!” ucapku.
“Wyeta, boleh kali kami semua belajar bahasa Jerman sama kamu?” tanya Fina.
“Boleh aja. Asal kalian punya minat dalam bahasa Jerman, tentu aku tidak keberatan,” balasnya sambil tersenyum. Ah manis sekali.
Kami tertawa terbahak-bahak. Lalu hening sesaat. Sampai akhirnya....
“Andin, boleh tidak aku bicara sama kamu berdua saja di kantin?” tanya Wyeta dengan bahasa Indonesia yang baku?
“Boleh. Ada apa, Ta?” aku balik bertanya.
“Hmm. Tidak apa sih. Tapi...” dia tergagap. “Aku... Cuma...”
Teman-temanku yang lain mengisyaratkan agar aku membawa Wyeta ke luar kelas. Aku mengajakknya membeli batagor.
“Kenapa sih Ta? Ada yang pentingkah?” tanyaku penasaran.
“Aku..aku...” ucapnya tebata-bata.
“Apakah yang mau kamu katakan itu sangat rahasia?” rasa penasaranku makin menjadi.
“Tidak. Aku hanya mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah mau membuatku menjadi ‘Ada’ dalam kelas,” jawabnya malu sambil tersenyum.
“Apa maksudnya? Aku ga ngerti?” tanyaku
“Kamu udah pernah aku ceritain kan bahwa aku pernah besar di luar negeri? Kamu juga tau kan kalau aku ini asli Malang?” Wyeta balik nanya.
“Ya. Aku tau. Kau sudah menceritakan semua tentang dirimu sama aku. Tapi apa maksudmu ‘Ada’ ? balasku.
Wyeta terdiam. Oh tidak, apakah aku salah mengucapkan kata? Kenapa Wyeta diam. Atau mungkin...
“Waktu ayahku dipindah tugaskan ke Jakarta, aku sebenarnya menolak ikut, karena temanku dari aku kecil sampai sekarang banyak di Jerman. Aku sudah ketakutan duluan aku tidak akan mendapat teman di Jakarta. Aku takut kalau aku nantinya akan sendirian di sekolahku yang baru. Tapi ayah bersikeras pindah dan membawaku ke Jakarta. Dia hanya bilang bahwa ‘Suatu hari nanti akan ada yang mau menerimaku sebagai teman.’ Aku nurut. Tapi sebenarnya aku masih ketakutan. Sebelum pindah ke Jakarta jujur saja, aku masih tidak lancar berbahasa Indonesia. Karena di Jerman aku menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa induk dan di rumah hanya menggunakan bahasa Jawa. Jarang ayahku mengajarkan bahasa Indone  sia. Waktu hari pertamaku disekolah ini, aku ingin sekali akrab dengan kalian semua. Tapi setiap ingin menyapa kalian, terutama kamu, lidahku kelu. Lidahku kesulitan untuk mengeluarkan bahasa Indonesia. Jadi terima kasih, Andin. Kamu orang pertama yang mau membantuku untuk mengakrabkan diri dengan yang lain” cerita Wyeta panjang lebar.
Aku mengangguk. “Sama-sama Wyeta. Bitte Sehr.” Ucapku dengan pelafalan yang kurang sempurna.
“KAMU BISA BAHASA JERMAN?” tanyanya serius.
Aku mengangguk lagi.
“Kenapa kau tak bilang padaku?” tanya dengan wajah kecewa.
“Bukan begitu Wyeta. Ini kan Indonesia. Aku harus dapat menghaluskan dan memperlancar bahasa Indonesiaku.”balasku.
“Memang kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
Aku dan Wyeta tertawa lebar.
“Oh ya.”lanjutku. “Apa kau suka tinggal di sini? Maksudku di Jakarta?”
“Tentu, aku betah dan suka di sini.” Ujarnya. “Lagipula, ada kamu yang udah baik padaku. Aku mau menulisnya dalam suatu karangan nantinya.” Sambungnya.
“Kamu bisa buat cerpen?” tanyaku.
“Enggak sih, tapi aku suka nulis. Nulis apa aja yang bagus.” Balasnya.
Tak terasa bel masuk berbunyi. Kami kembali ke kelas.
Aku dan Wyeta semakin hari semakin akrab. Wyeta sekarang sudah tidak kaku lagi. Setiap hari kami dan teman-teman yang lain selalu kompak demi kebersamaan kami. Ah, Wyeta. Gadis yang dibilang sombong sama temanku dulu, sekarang menjadi gadis yang ringan tangan dan  baik kepada setiap orang. Jika tersenyum, senyumnya mampu meluluhkan banyak orang. Manis sekali, seperti gula.

Sunday 16 December 2012

Sahabat yang Pergi

Ini adalah cerpen yang bikin aku hampir menangis. :'(

Silakan di baca :D



Hidup ini, tak seindah pelangi yang menghiasi hari-hariku. Ya, benar. Hidupku serasa hampa tatkala Shira, sahabat setiaku meninggalkanku untuk selamanya. Mau tahukah sifatnya selama hidupnya? Aku akan menceritakan salah satu dari banyaknya kenangan manis yang dia berikan padaku. Hari itu.....
“Disha, kita main bulu tangkis yuk,” ajak Shira di Minggu.
“Mau sih, Ra. Tapi apa kamu sehat dan bisa melompatnya?” tanyaku khawatir.
“Liat nih! Aku bugar kan? Tak kelihatan sakit?” Shira mengedipkan mata dan melompat-lompat ringan.
Aku memang selalu khawatir dengan kondisi Shira. Sejak kecil, Shira memiliki penyakit di daerah kakinya. Aku tak tahu persis penyakit apa itu, tapi ketika kambuh, dia akan mengerang tanpa kendali. Selain itu, Shira memiliki kelainan pada paru-parunya. Aku takut saat Shira kecapean, dia tiba-tiba pingsan, akibat penyakitnya kambuh.
“Lama banget sih Dis?!” kata Shira.
“Ya maaf, Ra. Aku kan lama karena harus mandi dulu, lalu nyiapin raket dan shuttle cocknya. Ayo! Aku sudah siap nih,” balasku.
“Dasar, Disha Disha. Ayo! Gerak Cepat!!!” bentak Shira.
“Duh, temanku yang satu ini bawel banget. Sudah kaya...”
“Kaya apa?” potong Shira.
“Kaya bebek!! Aduh!” tanganku langsung dicubit sama Shira.
“Makanya jangan resek deh jadi orang,” semakin keras Shira mencubit lenganku.
“Stop, Ra! Stoopp!!! Oke-oke, aku minta maaf,” aku mengaduh.
Dilepaskannya lenganku. Tak tahukah bagaimana rasanya cubitan Shira? Langsung biru-biru lenganku. Ini anak perempuan, tapi cubitannya kayak tukang bagunan, keras banget, kataku dalam hati. Sesampainya di lapangan bulu tangkis, aku dan Shira langsung pemanasan. Setelah itu, dilanjutkan dengan kami bermain bulu tangkis. Shira serve. Aku mengembalikannya. Begitu seterusnya sampai akhirnya skorku kalah telak dengan Shira.
“Yey!!! Aku menang!”teriaknya.
“Selamat ya Ra, kamu menang lagi,” ujarku memberikan selamat.
“Ya, kamu juga hebat. Hanya kurang lincah dari kaki-kakiku. Hahaha..” katanya sambil tertawa meledekku.
Kami tertawa terbahak-bahak. Aku tahu, Shira memang berbakat dalam olahraga bulu tangkis. Kakeknya adalah mantan pemain bulu tangkis. Wajar kalau bakat kakeknya menurun ke dalam dirinya. Sayangnya, penyakit kaki yang dideritanya menghalangi Shira masuk klub bulu tangkis.
Shira dengan wajah berserinya mengajakku pulang karena dia ada jadwal untuk terapi pernapasannya. Dia berjanji untuk membelikanku es pisang ijo, makanan favorit kami. Tapi hari itu, Shira tak mau memakannya di tempat, melainkan dibungkus untuk dimakannya di rumah. Aku yang merasa tak enak juga membungkusnya. ‘Tumben banget Shira gak makan di sini. Ah, sudah Dis jangan berpikiran yang tidak-tidak.’ Hatiku tidak enak. Tapi tak ku tunjukkan di depan Shira.
“Hey! Kenapa Dis?” tanya Shira heran.
“Ugh. Gak.” Jawabku kaget.
“Oh, ini buatmu. Makasih ya sudah menemani aku main bulu tangkis.”
“Sama-sama. Makasih juga ya, esnya. Kamu kayaknya terburu-buru, Ra?” tanyaku memberanikan diri.
“Iya, Dis. Aku mau pergi terapi. Ini juga mendadak. Tumbenan pihak sana bilang jadwal di percepat. Eh aku duluan ya Dis,” kata Shira ketika dilihatnya mobil ayahnya.
“Oh. Ok. Hati-hati ya, Ra. Semoga cepat sembuh.” balasku.
“Siipp. Oh ya, minggu depan aku tunggu di sini. Kita main bulu tangkis lagi. Dah Disha.” lanjut Shira.
Kulihat mobil Shira bergerak menjauh. Entah mengapa aku menjadi berat untuk jauh dari Shira. Ku harap Shira baik-baik saja. Tapi hatiku selalu bergemuruh jika ingat dengan lima huruf itu, S-H-I-R-A. Berhari-hari Shira tak main bertamu ke rumahku. Ketika aku yang bertamu ke rumahnya, rumahnya tampak sepi. Pembantunya bilang, setiap hari di waktu Subuh, keluarga Shira selalu membawa Shira ke tempat terapi Shira. Pulang selalu larut malam dan paginya sudah harus bertolak pergi ke tempat terapi itu. Kasihannya temanku, Shira. Di masa remajanya, dia harus melawan penyakit yang menyerang dirinya.
Seminggu berlalu. Shira lama tak kelihatan. Dia juga tak datang ke lapangan bulu tangkis, seperti janji terdahulunya padaku. Hatiku galau. Shira sms aku 2 hari yang lalu. Katanya, dia capek dengan terapi yang dijalaninya. Jika sedang berada di sana, dia hanya mau pulang dan main bulu tangkis atau hanya  sekedar makan es pisang ijo kesukaan kami. Dia kangen sama aku begitupun sebaliknya. Aku balas smsnya, ‘Kamu harus kuat, Ra. Semua ini hanya untuk kesembuhanmu semata. Yang sabar ya. Jangan lupa doa sama Allah agar disembuhkan penyakitmu.’
Shirapun membalas kembali, ‘Iya, sayang J Makasih ya supportmu.’
Sebulan kemudian....
Tak disangka, Shira bertamu ke rumahku. Aku senang sekali. Sahabatku kini kembali kepadaku. Dia mengajakku untuk mengikuti  kebiasaannya yaitu, main bulu tangkis. Kali ini aku tak boleh lama berkemas diri. Dengan cepatnya aku menyiapkan diri untuk bermain bulu tangkis dengan Shira. Shira kelihatan ceria, tapi matanya layu. Kali ini pengasuh Shira ikut menemani kami. Seperti biasa, Shira bermain dengan energik. Aku hanya menang satu set saja, 2 set lainnya dimenangkan Shira.
Tapi entah mengapa tiba-tiba dia kemudian jatuh tersungkur. Aku segera berlari kearahnya dan menahannya. Pengasuhnya segera menelepon sopir dan orang tua Shira. Aku panik tak kepalang. Shira yang sehari-hari ku lihat ceria kini lemah tak berdaya di pangkuanku. Dengan air berlinang, aku menjerit histeris memanggil namanya.
“Shirraa! Bangun Ra! Shiraa bangun. BBAAANGGGUUUUNNNN!!!!!!” teriakku.
Shira tak bergeming. Tak lama kemudian sopir dan orangtua Shira segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku diajaknya untuk ikut. Dalam perjalanan, aku berharap Shira akan terselamatkan. Dugaanku, Shira stress akibat terapi yang di jalaninya. Banyak obat yang masuk juga bisa mengakibatkan keracunan. Shira segera di bawa ke ruang UGD. Sejam lamanya aku dan orangtua Shira menunggu. Tak lama kemudian, dokter yang memeriksa Shira keluar dengan wajah pias. Dia menerangkan bahwa Shira telah meninggal. Shira over dosis, kecapek.an dan stress tinggkat tinggi. Ya Allah! dugaanku benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Temanku yang baik dan setia itu telah meninggal. Dia pergi meninggalkan aku seorang. Tangis meluap pada orangtua Shira. Kami diizinkan dokter untuk melihat jasad Shira untuk yang terakhir kalinya.
“Teganya kau meninggalkan aku, kawan. Bangunlah Shiiiiirrrrraaaaaaaaaaaaaa! BBAAANGGGUUUUNNNN!!!!!!” teriakku menyuruhnya bangun.
Apalah daya, dia telah tidur dengan pulasnya untuk selama-lamanya. Seorang sahabat yang ku kenal sejak kecil kini tiada. Dia terbang jauh ke sana dan tidak akan bisa bermain denganku lagi kecuali kita dapat bertemu lagi nanti di surga. Ku liat wajahnya Shira untuk terakhir kalinya, wajahnya tersenyum. Manis sekali.
“Shira, tunggu aku di surga. Tunggu aku. Nanti di sana kita akan bermain bulu tangkis bersama lagi. Pergilah dengan tenang. Aku dan orangtuamu akan selalu mencintaimu,” aku mencium keningnya yang dingin.
Kenangan indah saat detik-detik terakhir hidupnya, aku masih dapat bermain dengannya . Aku jadi trauma dengan permainan bulu tangkis. Ya, aku trauma sekali dengan bulu tangkis. Karena kecapek.an memainkannya temanku harus meregang nyawa. Dalam hati aku bergumam, ‘Mengapa tidak ku larang dia main bulutangkis? Mengapa? Mianhae,Shira! Aku menyesal. Sayang semuanya terlambat. Sering sekali ku menyalahkan diri sendiri. Aku tahu bahwa itu juga karena sakit dan over dosis obat-obatan non herbal. Tapi aku yakin dia senang dengan rumah barunya, surga.
                Sekarang semuanya sudah terlambat. Dia sudah meninggalkanku di dunia yang sementara ini. Tapi, aku akan tetap selalu mengenang dia di dalam lubuk hatiku sebagai sahabat yang terbaik bagiku J        
Semua kenangan yang telah kulewati bersamanya takkan pernah pudar walau ia telah pergi dan takkan kembali lagi untukku. Saat kita tertawa, saat kita bermain bersama, saat kita cerita-cerita bersama. Sahabatku Shira, kau adalah segalanya bagiku. Ku putar musik di Laptop, Semua Tentang Kita by PETERPAN, band kesayanganku dan Shira. Ku harap di atas sana Shira juga bisa melihatku yang selalu menyayanginya di sini. Semoga.
SEMUA TENTANG KITA
(PETERPAN)
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan CERITA TENTANG KITA
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa
Teringat di saat
Kita tertawa bersama
CERITAKAN SEMUA TENTANG KITA
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa




A-I, with SJ&Peterpan

I will always love you, Oppa!


Selamat Membaca ^_^


Aku tahu, kau tidak akan pernah mencintaiku. Aku mau kau mengerti bahwa aku hanya ingin membuatmu tidak rapuh seperti dulu.
                                                                                                                                            
Hye Ri POV

Sifat dinginnya padaku tidak berubah. Aku yang menghampirinya di perpustakaan umum dengan senyum dibalasnya dengan tatapan sinis. Ku coba memberanikan diri bertanya, tapi hanya caci maki yang ku dapatkan.
“Ada yang bisa ku bantu, Oppa?” tanyaku lembut.
“Kalau ada, kau bisa apa? Semua ini hanya bisa dilakukan oleh orang normal tidak cacat sepertimu!” bentak Siwon Oppa sambil beranjak pergi meninggalkanku.
Kalau sudah begitu aku hanya bisa diam sambil berharap suatu saat nanti dia tidak membenciku. Dengan susah payah aku bangun dari tempatku duduk sambil berjalan tertatih dengan tongkatku. Langkahku tiba-tiba terhenti.
“Hye Ri! Tungguuuu!” teriak seseorang saatku hendak berajak pergi keluar perpustakaan.
“Ne,Oppa. Ada apa?” kataku sambil menoleh.
“Ani. Ku antar pulang ne. Ada yang harus ku sampaikan kepadamu.” jawab Henry Oppa.
“Tapi, aku bisa pulang sendiri. Lagipula aku tidak ingin merepotkanmu.” kataku lagi.
“Please! Just for today”
“Tapi....”
“Kajja!” Henry Oppa menarik tanganku keluar.
 
Di mobil....
“Apa kau sudah makan?” tanya Oppa kemudian.
“Belum. Tapi aku tidak lapar. Oppa sendiri?” aku nanya balik.
“Kau belum makan Hye Ri? Ok! Kalau begitu aku tidak jadi mengantarmu pulang tapi kita mampir dulu ke restoran.” ujarnya kaget.
“Tidak perlu. Aku hanya ingin pulang.” Aku heran dengan sikap perhatiannya. Tapi pikiranku satu, mungkin Oppa menjalankan titah Almarhum kakakku yang meninggal karena kecelakaan tahun lalu. Ah kalau ingat tahun lalu aku ingin menangis lagi. Gara-gara kecerobohan kakakku, kecelakaan itu terjadi hingga maut merenggut nyawanya dan nyawa eoni Alice-pacar Siwon Oppa yang ikut menumpang mobil kami waktu hujan deras-serta menyebabkan aku harus merelakan kelumpuhan pada sebelah kakiku ini. Titik itu jatuh juga tanpa bisa dibendung lagi.
“Kau kenapa Hye Ri? Kau menangis?” tanya Oppa Henry.
“Ah. Ani Oppa. Aku tidak menangis. Oh ya kau mau ngomong apa?” sadarku kalau aku menangis saat bersama Henry Oppa.
“Hmm, jinjja? Aku hanya ingin kau untuk tidak menyakiti dan melelahkan dirimu sendiri menghibur Siwon. Aku tahu kau melakukan itu karena permintaan terakhir Alice. Tapi kau juga tidak bisa terus-terusan seperti itu. Kasihanilah dirimu sedikit. Aku khawatir padamu.” ujarnya panjang lebar.
Aku tidak bisa bicara. Hanya tertegun mendengar kata-kata Henry Oppa. Jika dengar kata-kata itu, aku ingin menagis lagi. Tapi itu sungguh mustahil.
“Hye Ri!”
“Ne Oppa.”
“Mian kalau kata-kataku tadi membuatmu sedih. Turun dan istirahatlah,” kata Henry Oppa ketika mobil berhenti di depan rumahku.
“Pasti.” Jawabku datar.
“Perlu bantuan?” Henry Oppa menawarkan diri.
“No, and thanks for everything, Oppa”
Aku turun dengan susah payah. Melihatku kesusahan, Henry Oppa memapahku ke kamar. Henry Oppa memang seperti sosok Hangeng Oppa, kakakku yang telah meninggal.
“Tidur yang lelap, Hye Ri-ah! Aku pulang dulu, ya” pamitnya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya dan mengangguk. Lalu semua, aku tidak ingat lagi.

Hye Ri POV END
 
Henry POV

Aku merasa aku adalah orang yang pabo sedunia! Betapa tidak, niatku yang hanya ingin mengingatkan yeoja yang sudah ku anggap adikku sendiri tapi aku malah menyakiti perasaannya dengan mengatakan perkataan itu. Aku hanya ingin dia tidak merasa bersalah lagi. Semuanya terjadi karena murni kecelakaan bukan karena dia ataupun Hyung Hangeng. Tapi usahaku hanyalah sia-sia belaka! Dia tetap bermuram durja setiap harinya. Aku merindukan sikapnya yang keras kepala dan manja padaku dulu. Kini dia berubah. Ini semua gara-gara sikap seorang namja, kakak sahabatku sendiri yang belakangan ini aku tahu, dicintai Hye Ri! Awas saja kalau sikapnya masih seperti itu tidak akan ku maafkan dia!

Henry POV END

A-I POV

Pagi hari yang dingin sedingin sikap Siwon terhadap Hye Ri. Selalu saja seperti biasa. Dingin. Hye Ri yang sedari tadi menunggu Siwon di depan rumahnya tersenyum ketika pintu rumah Siwon akhirnya terbuka. Dengan wajah juteknya, dia mempersilakan Hye Ri masuk. Tanpa mau basa-basi, Siwon langsung menanyakan untuk apa gerangan dia datang ke rumahnya.
“Mau apa kau datang ke sini? Tak tahukah kau, sekarang masih pukul 07.30?” tanyanya dengan nada tidak senang ada tamu yang mampir pagi-pagi ke rumahnya.
“Aku ada tugas sekolah dan tidak bisa menjawabnya. Sudikah kiranya Oppa membantuku. Mianhae Oppa aku datang pagi-pagi ke rumahmu karena nanti aku masuk jam 11.30 siang. Makanya aku datang ke rumahmu pagi-pagi.” ujar Hye Ri panjang lebar.
“Maaf aku tidak bisa membantumu. Aku sibuk. Kalau sudah tidak ada keperluanmu di sini, kau boleh pulang,” respon Siwon.
“Oppa!” bentak seseorang.
“Wae? Kenapa kau membentakku!” Siwon tak mau kalah.
“Tidakkah kau memiliki rasa kasian sedikit aja ke eoni Hye Ri! Dia bersusah payah datang ke sini pagi-pagi untuk meminta bantuanmu mengerjakan tugasnya, tapi balasanmu hanyalah sikap tidak perduli! Maumu apa sih Oppa!”
Yang tadi membentak kakaknya adalah Choi Soo Rim, adik perempuan Siwon. Dibentak oleh adikknya sendiri, Siwon tidak terima. Dia ingin memarahi adiknya. Tapi ditahannya. Hanya mukanya saja yang berubah menjadi merah menahan amarah. Siwonpun langsung pergi ke kamarnya dan membanting pintu sekuat tenaga. Hye Ri yang mendengarnya hanya bisa menahan tangis. Melihat Hye Ri nangis, Soo Rim menjadi iba. Dia menghampiri Hye Ri dan memeluknya.
“Maafkan Oppaku eoni.” Soo Rim mencoba menghiburnya.
“Tidak apa Soo Rim. Aku yang salah. Aku yang tak tahu diri. Bertamu ke rumah orang tidak lihat-lihat waktu.” Hye Ri pun melepaskan pelukkannya. Dia pamit pulang.
“Aku pulang ne. Mian menganggu waktumu dan Oppa. Aku tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi. Yang aku tahu, Siwon Oppalah yang bisa membantuku menyelesaikan tugasku.”
“Kau tidak salah eoni Hye Ri. Jam segini bagiku sudah siang. Lagipula tadi aku sempat mendengar kau nanti ada kelas jam 11.30 siang nanti. Berarti eoni datang di saat yang tepat. Maaf eoni, apa aku boleh lihat tugasmu?” tanya Soo Rim tiba-tiba.
“Untuk apa?” Hye Ri balik bertanya. “Ini” kata Hye Ri menmperlihatkan tugasnya.
“Hmmm, aku punya teman yang mungkin bisa membantumu eoni. Ini sesuai dengan jurusan kuliah temanku. Maukah eoni minta diajari olehnya?”
Melihat Soo Rim berkata seperti itu, mata Hye Ri berbinar. Dia mengangguk cepat pertanda dia setuju. Soo Rim yang melihat Hye Ri tertawa geli. Setidaknya Hye Ri tidak sesedih tadi.
“Sebentar ya, eoni. Aku telepon dia dulu,” kata Soo Rim kemudian.
Hye Ri tersenyum. Dilihatnya Soo Rim menelepon seseorang. Diikutinya air mukanya, dan Hye Ri yakin teman Soo Rim mau membantunya. Itu karena wajah Soo Rim yang ceria dan tertawa meledek temannya. Tapi Hye Ri seperti kenal siapa lawan bicara Soo Rim. Hanya dia tidak terlalu yakin 100%.
“Kalau begitu kau harus tiba di sini 5 menit ya Mochi!” kata Soo Rim. Kemudian dia tertawa lagi.Hening.
Soo Rim lalu menghampiri Hye Ri dan bilang bahwa temannya akan datang membantu Hye Ri. Sebuah senyum manis tersungging di pipinya. Paling tidak Hye Ri dapat melupakan sikap buruk Siwon tadi. Dan sekarang yang ada di pikirannya satu. Mungkinkah teman Soo Rim itu Henry Oppa karena Henry biasa dipanggil Mochi oleh kakaknya dulu? Entahlah. Dia tidak tahu.

A-I POV END

Henry POV

Tidak ada angin dan badai, Soo Rim teman kampusku tapi beda jurusan tentu saja, meneleponku dan memintaku untuk datang ke rumahnya. Aku kaget tak menyangka. Karena aku tahu dia tidak sejurusan denganku, tapi mengapa tiba-tiba meminta bantuan untuk mengerjakan tugas yang jurusannya aku ambil. Aku meledeknya. Tapi dia bilang ini serius. Aku ternganga tidak percaya. Sampai akhirnya dia menjelaskannya. Dia bilang teman kakaknya yang butuh bantuan bukan dia. Aku berpikir, mengapa bukan kakaknya saja yang membantu temannya sendiri. Soo Rim yang tahu aku kelamaan mikir bilang, “Sudahlah jangan kau pikirkan mengapa kakakku tidak mau membantu temannya sendiri. Kau kan tahu dia. Kajja ke rumahku!”
Aku yang mendengarnya tertawa. Sampai akhirnya aku mengiyakan permohonannya.
“Ok. Aku akan datang lebih cepat dari kereta cepat.”
“Mwo? Rumahmu kan jauh.”
“Aku kan juga bisa lari cepat seperti kakakmu, Soo Rim.”
“Kalau begitu kau harus tiba di sini 5 menit ya Mochi!” kata Soo Rim.
“Tidak masalah. Apa kau meragukan kemampuanku? Lagian aku ke rumahmu kan pake mobil. Kau ini bagaimana sih?”
“Oh iya ya. Aduh pabo sekali kau ini Soo Rim.” Ocehan Soo Rim membuatku tertawa. Kemudian dia memutuskan sambungan telepon dan aku langsung menyambar kunci mobil yang ku taruh di atas buffet.

6 menit kemudian...

TING TONG!
Suara bel rumah Soo Rim terdengar lagi. Tak berapa lama ada siluet hitam seorang yeoja membukakan pintu. Pasti yang punya rumah si cerewet, Soo Rim. Dan ketika pintu terbuka....
“6 MENIT 1 DETIK. Kau terlambat 1 MENIT 1 DETIK!” Soo Rim berteriak sambil menunjukkan stopwatchnya.
“Aduh gak segitunya juga kali. Peke diitungin segala lagi,” ujarku.
“Siapa suruh kau sesumbar? Bisa datang ke sini lebih cepat dari kereta express? Ditantang 5 menit aja biar nyampe sini malah telat 1 menit 1 detik.” ledeknya.
“Ah, sudahlah. Jangan kau bahas lagi! Aku gak disuruh masuk nih?”
“Eh, iya. Yak! Kenapa jadi ribut di pintu? Kasian kan eoni dari tadi nungguin. Kajja masuk!” Soo Rim menyuruhku masuk.
“Yee dasar bawel. Kau duluan kan yang teriak duluan gak jelas kayak tadi.”
Aku melihat Soo Rim cemberut dan itu membuatku tertawa terbahak. Temanku itu memang tidak suka aku panggil bawel. Tapi dengan menjahilinya rasanya ada yang berbeda. Entah rasa apa yang menyesakki dadaku aku tak tahu. Mungkin rasa seorang kakak terhadap adiknya karena aku menganggap Soo Rim adikku, tapi tidak seperti perasaanku ke Hye Ri. Lagipula usiaku lebih tua 3 bulan saja darinya. Namun aku harus akui, dialah yang pantas menjadi kakak karena dia sangat bawel. Memang sih itu karena sifat pelupa dan kekanak-kanakkanku. Aku yang sering dimarahinya hanya bisa pasrah. Mengingatnya perutku geli. Ocehan Soo Rim mengagetkanku.
“Eoni temanku sudah datang. Hey, kau, Mochi! Kemari cepat! Kasian eoni sudah menunggumu lama!”
Aku menuju ke sumber suara. Ku lihat yeoja lain yang kesusahan bangun dari kursi. Soo Rim membantu memapahnya. Dengan tongkatnya dia berjalan tertatih ke arahnya. Dan ketika dia mengangkat wajahnya, dia adalah.... HYE RI. Ngapain coba Hye Ri di sini? Dia teman kakaknya Soo Rim yang sudah mendinginkannya? Tidak mungkin itu. Hye Ri juga agak terkejut. Tapi dia bisa menguasai diri. Aku menyapanya. Soo Rim kaget karena kami saling kenal. Ku jelaskan padanya dia adalah adik almarhum teman lamaku. Soo Rim yang antusias mendengarnya ikut sedih. Dia hanya tahu Hye Ri seperti itu karena sakit. Memang setelah kecelakaan itu Hye Ri koma 3 bulan. Kemudian kami bertiga menuju ruang tengah, tempat biasa Soo Rim belajar.

Henry POV END

Hye Ri POV

Ketika temannya Soo Rim datang, dengan susah payah aku bangun dari kursi tempatku duduk. Soo Rim dengan cekatan membantuku berjalan. Dengan tertatih aku menghampiri temannya Soo Rim dan ketika ku angkat mukaku, ternyata yang datang adalah Henry Oppa.
“Hye Ri” sapanya.
“Ne Oppa. Tak ku sangka kau itu temannya Soo Rim. Mengapa kau tidak pernah menceritakannya padaku?”
“Kalian saling kenal?” tanya Soo Rim.
“Ya. Dia yang pernah ku ceritakan padamu, dulu.” Henry Oppa menjelaskan panjang lebar dan wajah Soo Rim yang tadinya gembira menjadi sedih mendengar cerita Henry Oppa. Tiba-tiba aku kangen sama Hangeng Oppa. Aku ingin menangis, tapi sekarang adalah bukan moment yang tepat. Soo Rim mengajak aku dan Henry Oppa ke ruang tengah.
“Kau mau minum apa, Mochi?” tanya Soo Rim.
“Apa aja asal dingin.” jawab Henry Oppa.
“Oh, kalau gitu aku ambil es batu saja ya.”
Aku tertawa mendengarnya. Henry Oppa keki.
“Yak! Tidak es batu juga Soo Rim. Masa aku mau suguhkan miras.”
“Miras?” tanyaku.
“Minuman keras eoni. Hehehe.Kau apa, eoni?”
“Aku? Tidak usahlah Soo Rim.” kataku.
“Kenapa eoni?”
“Aku tak haus kok. Tenang saja.”
“Oh, ok lah kalau begitu. Aku buatkan susu coklat saja ya.” kata Soo Rim lagi sambil berlalu pergi.
Aku kaget. Dari mana dia tahu aku suka susu coklat? Padahal aku baru kenal Soo Rim 7 bulan yang lalu.
“Kenapa kau tidak meminta bantuan padaku saja, Hye Ri?” tanya Henry Oppa.
Aku yang sedang melamun, kaget.
“Hah? Bantuan? Mana aku tahu Oppa kuliah di jurusan yang sama denganku. Selama ini kan Oppa tidak pernah bercerita kau kuliah di jurusan yang sama kayak aku.” jawabku.
“Ah, iya aku lupa. Mana tugasnya?”
“Yang ini.” Aku menunjukkannya pada Henry Oppa.
“Ah, ini. Aku ahlinya. Sini kertasnya!” pintanya.
Aku mengambil kertas dan menyerahkannya. Kemudian ku lihat dengan lincahnya tangan Oppa mengajariku tugas yang menurutku susah. Aku memperhatikannya dengan seksama. Henry Oppa menjelaskannya dengan detail hingga aku mengerti. Soo Rim datang membawa minuman di sela-sela Henry Oppa mengajariku.
“Mochi! Kau ini pintar juga ternyata ya. Tak ku sangka kau ini lebih cerdas daripada yang ku kenal sehari-hari. Hahaha!” ledek Soo Rim.
Aku tersenyum mendengar ocehannya. Ku lihat Henry Oppa yang memonyongkan sedikit mulutnya dan hal itu membuat tawa Soo Rim meledak. Mau tak mau akupun ikut tertawa.
“Aihss! STOP! Sudah jangan meledekku lagi!”
Kami berdua langsung diam. Henry Oppa kembali mengajariku. Aku kembali fokus. Tapi kali ini bukan hanya aku yang diajarinya. Soo Rim ikut duduk disebelahku dan menjadi pendengar yang baik. Tidak sampai 1 jam, semua tugasku selesai semua. Aku menghela napas lega. Tak henti-hentinya aku berterima kasih padanya. Henry Oppa hanya terseyum. Ku lihat arlojiku. Sudah mau pukul 10 pagi. Aku harus pulang. Aku lalu pamit pada Soo Rim dan Henry Oppa.
“Sudah jam 10. Aku harus pulang. Makasih ya Soo Rim sudah mau membantuku dan membuatkan susu coklat untukku. Oppa, terima kasih kau sudah mau membantuku menyelesaikan tugasku.”
“Sama-sama eoni.” jawab Soo Rim.
“Kembali.” respon Henry Oppa.
“Eh, eoni, kenapa kau tidak mau dianter aja sama Mochi? Mochi kau juga mau pulang kan?Antar saja eoni Hye Ri. Kau tak keberatan kan?” tanya Soo Rim kepada aku dan Henry Oppa.
“Ah iya. Ide bagus. Mau ku anter pulang Hye Ri?” kini Henry Oppa bertanya padaku.
“Tidak perlu Oppa. Takut merepotkanmu. Lagi pula aku mau langsung ke kampus sekarang,” tolakku.
“Eoni jangan tolak rezeki. Kan ke kampusnya tidak harus ngeluarin ongkos. Ya gak Mochi?”
“Ih, kau ini pinter banget ya! Tapi ada benernya juga sih,” kata Henry Oppa mengacak-acak rambut Soo Rim.
“Aduh rambutku! Mochi stop! Kajja anter eoni! Nanti dia terlambat!” bentak Soo Rim.
“Ok. Aku pulang ya! Bye!”
“Aku juga pulang ya Soo Rim. Gumawo atas semuanya,” aku pamit.
“Cheonma. Hati-hati eoni. Mochi jangan ngebut! Yang kau bawa yeoja bukanlah karung beras!” teriak Soo Rim mengingatkan Henry Oppa sambil memapahku keluar.
“Tak perlu kau ingatkan aku juga tahu itu,” balas Henry Oppa.
Aku tertawa geli. Soo Rim pun begitu. Aku dibantu Soo Rim masuk ke mobil. Setelah aku masuk mobil, dia ke arah Henry Oppa dan membisikkan sesuatu. Ku lihat Oppa mengangguk tanda setuju.
Tak lama kemudian mobilpun melaju meninggalkan rumah namja yang diam-diam aku cintai walau aku tahu dia tidak akan pernah mencintaiku.

Hye Ri POV END

A-I POV

Hye Ri, Soo Rim dan Henry tidak tahu kalau ternyata sedari tadi keakraban mereka bertiga di ruang tengah dilihat oleh sepasang mata yang tidak senang akan kehadiran Hye Ri dan Henry. Dia melihat mereka seolah-olah merasakan kecemburuan terhadap keakraban Hye Ri dan Henry. Apalagi namja itu juga sangat akrab dengan adiknya. Sepasang mata itu masih terus melihat keakraban ketiganya. Tapi, yang paling diawasi oleh sepasang mata itu adalah yeoja yang telah perhatian padanya namun perhatiannya itu dibalas dengan sikap tidak keperduliannya kepada yeoja itu. Tadi pagi, setelah dia mengusir yeoja itu, ada timbul rasa bersalah. Dia ingin meminta maaf pada yeoja itu. Namun ketika dia membuka pintu kamarnya dan keluar kamar, dia melihat ada seorang namja yang akrab sekali dengan yeoja itu. Dia kaget. Hatinya panas melihatnya. Terlebih namja itu juga akrab pada adiknya. Dia mengurungkan niatnya menemui si yeoja. Kawan, sepasang mata itu milik Siwon.

A-I POV END

Siwon POV

Aku merasa bersalah sama Hye Ri. Dia yang datang baik-baik seperti dulu waktu Alice, pacarku, masih hidup dan sering memintaku mengajarinya jika ada tugas yang tidak dimengertinya, kini ku usir dia begitu saja. Adikku yang tahu itu marah padaku tidak suka. Dia memang marah kalau aku membentak seorang gadis yang dia kenal baik dan tidak pernah melakukan kesalahan. Aku juga tidak suka adikku membentakku di depan orang lain terlebih di depan yeoja. Aku yang ingin memarahi adikku hanya bisa menahan emosi dan ku lampiaskan kekesalanku pada pintu kamarku yang ku banting rapat-rapat. Di kamar, aku teringat akan Alice. Lalau berganti menjadi Hye Ri. Tapi tiba-tiba muncul rasa bersalah. Aku sudah terlalu sering bersikap dingin padanya. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu tidak perduli padanya. Padahal selama ini, setelah Alice pergi, dialah satu-satunya yeoja yang mengerti aku. Tapi aku hanya menganggapnya sebagai orang penyebab kematian pacarku karena dia satu mobil dengan Alice di mana tragedi itu terjadi. Aku tahu dia tidak bersalah. Aku mengetahuinya dari saksi mata yang melihat dan menurut keterangan polisi yang menangani kasus itu. Bahkan, Hye Ri sempat koma 3 bulan.Tapi kenapa aku benci setiap kali melihatnya? Entahlah aku sendiri tidak tahu. Yang jelas sekarang aku sudah terlalu kasar padanya. Aku harus minta maaf pada Hye Ri. Ku buka pintu kamarku dan melihatnya akrab dengan namja lain yang tak ku tahu namanya, tapi aku tahu dia adalah teman kampus adikku. Melihat semua itu hatiku panas. Tidak hanya akrab dengan Hye Ri, dia juga akrab dengan adikku dan ku lihat adikku tertawa dengan lepasnya. Selama ini, mungkin karena sikap jutekku, dia selalu aku marahi padahal hanya hal-hal sepele. Yang paling aku tidak suka adalah saat namja itu menunjukkan perhatian lebihnya pada Hye Ri. Dadaku sesak. Hey! Ada apa ini? Seolah-olah aku cemburu padanya. Tapi ini tidak mungkin. Ku urungkan untuk menemuinya. Sebuah keputusan bodoh, kata hati terdalamku.

Sore hari pukul 16.20....
Aku ingin keluar sambil menghirup udara segar di taman. Ku ambil kuci mobil dan keluar kamar. Di depan, aku bertemu adikku. Heran melihatku rapi dan bawa kunci mobil dia merengek ingin ikut.
“Oppa kau tampak rapi. Kau mau kemana? Bukannya hari ini kau tidak ada jadwal kuliah?” pertanyaan bertubi-tubi menyerangku.
“Jangan jadi gadis bawel. Aku memang tidak ada kelas hari ini. Aku hanya ingin keluar saja.” kataku ketus.
“Boleh aku ikut?” pinta adikku
“Ani,” jawabku datar dan berlalu tanpa pamit.
“Pelit sekali. Tapi ya sudahlah, aku juga mau menyiapkan ujianku besok. Hati-hati ne Oppa,” adikku mengantarkanku keluar sambil menasihatiku.
Aku tidak menghiraukannya. Ku kemudikan mobilku dengan kecepatan agak tinggi. Untunglah hari ini tidak hujan. Jadi aku akan bebas berlama-lama di taman. Eh, tunggu yang kupikirkan kenapa jadi Hye Ri? Ah mulai gak waras aku ini. Mungkinkah karena rasa bersalahku padanya tadi pagi? Bisa jadi. Aku makin gak enak hati. Hey! Ada apa ini? Aku tidak fokus mengemudi karena bayangan Hye Ri yang selalu dipikiranku.

Siwon POV END

A-I POV

Langit cerah berubah menjadi gelap seketika. Hujan perlahan turun. Gerimis kecilpun berubah menjadi hujan deras. Siwon yang masih mengemudi menuju taman, terjebak hujan dan ia memutuskan untuk berbalik arah. Tapi seperti ada yang dipikirkan Siwon, namja itu terlihat tidak fokus meyetir. Ya, memang dia sedang memikirkan Hye Ri. Makin lama hujan makin keras dan malampun semakin larut. Siwon yang kehilangan konsentrasi menyetir tidak menyadari bahwa ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah yang berlawanan.
“AAAAAAAAAAAAAA”
Terdengar benturan keras.
GELAP

Sementara itu, Hye Ri yang sedang membaca novel di kamarnya dikejutkan dengan hpnya yang berbunyi meraung-raung, tanda ada telepon masuk. Dilihatnya layar ponselnya, ‘Soo Rim’ segera dijawabnya telepon dari Soo Rim.
“Ya Soo Rim. Ada apa?”
Mukanya berubah dari ceria menjadi cemas.

A-I POV END

Hye Ri POV

Aku senang sekali hari ini. Henry Oppa dan Soo Rim memberi warna dalam hidupku hari ini. Aku cukup senang dengan perhatian mereka terlebih Henry Oppa yang ku anggap sebagai kakak kandungku. Walau aku berharap Siwon Oppa juga bisa memberikanku kebahagiaan itu, tapi aku nyaman dengan perhatian Henry Oppa terhadapku. Hari ini saja, Oppa rela meluangkan waktunya hanya untukku. Mulai dari membantuku mengerjakan tugas, mengantarkanku ke kampus, dan menemaniku ke perpustakaan. Memang sih agak berlebihan, tapi itu persis sekali dengan apa yang Hangeng Oppa lakukan untukku dulu. Aku menghormati dan menyayangi Henry Oppa seperti yang ku lakukan untuk Hangeng Oppa.
Tiba-tiba ponselku berdering. Ringtone In My Dream dengan syahdu nan lembut mengagetkanku. Ku lihat siapa yang menelepon, ah ternyata Soo Rim. Dengan senangnya ku angkat telepon darinya.
“Ya Soo Rim. Ada apa?” tanyaku.
“Hiks... Hiks.... Eoni... Hiks...Hiks...”terdengar Soo Rim menangis sesegukkan.
“Hey! Kau kenapa cantik?”
“Eoni, Oppa! SIWON OPPA! Hiks..”
“Kenapa dengan Oppamu?” tanyaku agak khawatir.
“Hiks... Hiks... Oppa.... Opppaaa keceelaaaakaaann!” tangis Soo Rim makin menjadi.
“MWO?”aku tak percaya.
“Eoni... Kau harus ke sini sekarang! Aku mohon Eoniii!” pinta Soo Rim.
“Di mana Oppamu dirawat? Nanti aku ke sana!”
“Di rumah sakit X No. 13A”
“Ok. Nanti aku ke sana.”
TUT. Sambungan diputus.
Aku kalap dan menangis sejadi-jadinya. Kemudian ku telepon Henry Oppa. Oppa yang sudah tahu dari Soo Rim, sekarang sedang menuju rumahku.

15 menit kemudian di RS....
“Eoni jebal. Oppa harus melakukan transfusi darah. Banyak sekali ia kehilangan darah. Tapi di sini tidak ada golongan darah yang cocok dengan Oppa. Hiks..
“Apa golongan darah Oppamu?” tanyaku sambil memeluk Soo Rim.
“B rhesus (-)” katanya dengan mata bengkak.
Aku terdiam. Soo Rim kembali menangis. Henry Oppa memeluk mendiamkannya.
“Aku bergolongan darah B. Mungkin aku bisa mendonorkan darahku untuknya.” kataku pelan.
“APA?”tanya mereka berbarengan.
“Iya aku bergolongan darah B seperti Oppamu, Soo Rim. Kajja antarkan aku ke dokternya.”
Soo Rim dan Henry membantuku bertemu dengan dokter. Setelah diperiksa dan ternyata memang darahku sama dengan golongan darah Siwon Oppa. Transfusipun dilakukan secepat mungkin. Kulihat Henry Oppa dan Soo Rim mencemaskanku. Tapi tekadku sudah bulat memberikan darahku untuk Siwon Oppa. Biarlah Oppa yang kadang sering menyakitiku tidak tahu kalau aku melakukan ini semua karena aku mencintainya. Henry Oppa menghampiriku yang akan masuk ruang operasi.
“Hye Ri, apakah kau yakin?” tanyanya khawatir.
“Aku yakin, Oppa doakan aku ne.” jawabku.
“Sudah kau pikirkan baik-baik?” tanyanya lagi.
“Ya. Aku sudah yakin. Aku melakukannya karena satu hal. Aku mencintainya, Oppa. Aku tahu, dia tidak akan pernah mencintaiku. Aku mau dia mengerti bahwa aku hanya ingin membuatnya tidak rapuh seperti dulu. Jangan cemaskan aku Oppa, aku pasti bisa. Jikalau ini berhasil, aku berjanji akan jadi saengmu yang tidak manja dan keras kepala lagi,”
Henry Oppa hanya bisa menangis. Soo Rim pun begitu.
“Hey! Jangan menangis, Oppa, Soo Rim. Aku tidak akan tenang masuk ke dalam kalau kalian menangis.”
“Kami tidak menangis eoni,”kata Soo Rim menghapus air matanya. Lalu tersenyum padaku.
2 perawat mendorong tempat tidurku memasuki ruang operasi. Kini aku di jajarkan dengan Siwon Oppa. Kulihat wajahnya, tampak seperti dulu waktu Eoni Alice masih hidup, selalu tampan dengan lesung pipitnya. Seolah-olah Oppa hanya tidur saja. Padahal aku yakin, Oppa sedang berjuang melawan masa-masa kritisnya. Aku diberikan obat bius yang kemudian membuat aku tertidur. Dalam mimpi aku bertemu dengan Hangeng Oppa yang memberikan supportnya untukku. Dia juga meminta maaf karena dia, aku harus memakai tongkat di setiap aktivitasku. Kedua aku didatangi eoni Alice, dia memberikan semangat untukku dalam menjalani hidup. Eoni juga berpesan agar menjaga namjachingunya. Aku kaget. Aku bilang ke eoni, itu tidak mungkin. Tapi eoni terus memaksa. Dengan tidak tega aku mengiyakannya. Ketiga Siwon Oppa yang di dunia nyata nampak dingin kini lebih ramah padaku dan memintaku untuk menjadi yeojachingunya. Aku tapi sadar, itu hanya mimpi. Dan aku bangun setelah tidur selama 10 jam yang aku tahu dari cerita Soo Rim keesokkan harinya.
“Eoni! Kau siuman?” teriak Soo Rim.
“Ssttt. Jangan berisik! Kasihan Hye Ri,” kata Henry Oppa.
Soo Rim membekap mulutnya. Aku tersenyum pada keduanya. Keduanya pun membalas dengan senyum juga. Ah, melihat senyum mereka, terutama Henry Oppa aku teringat lagi dengan Oppaku. Aku menangis dan membuat mereka cemas. Henry Oppa keluar dan memanggil dokter. Soo Rim masih di sebelahku mencoba menghibur. Aku masih sesegukkan mencoba bangun, tapi kepalaku sakit. Aku tak mampu menahannya. Dan mataku kembali terpejam.

Hye Ri POV END

Henry POV

Aku cemas melihatnya. Hye Ri masih belum membuka matanya. Sudah 10 jam dia tertidur, dia tidak kunjung juga membuka kelopak matanya. Perasaanku makin tidak enak. Tapi semuanya hilang ketika Soo Rim berteriak.
“Eoni! Kau siuman?” teriak Soo Rim.
“Ssttt. Jangan berisik! Kasihan Hye Ri,” kataku.
Aku dan Soo Rim tersenyum melihat Hye Ri akhirnya sadar. Diapun begitu. Tapi entah mengapa tiba-tiba Soo Rim menangis. Aku dan Soo Rim berpandangan. Matanya mengisyaratkan agar aku segera keluar menemui dokter. Tak lama setelah itu aku dan dokter masuk ke ruangan Hye Ri. Ku lihat Hye Ri mengaduh menahan sakit di kepalanya sampai akhirnya dia pingsan lagi. Kemudian aku dan Soo Rim disuruh dokter keluar dari kamar. Aku hanya bisa berharap, adik temanku itu bisa bertahan. Akhirnya kami memutuskan untuk ke ruangan Siwon yang hanya beda 3 kamar dari kamarnya Hye Ri. Masuk ke dalam, ternyata Siwon baru siuman. Begitu tahu aku dan Soo Rim masuk, dia tersenyum. Siwon berusaha bangkit, tapi aku buru-buru mencegahnya.
“Jangan dipaksakan bangun, Hyung!”kataku.
“Iya Oppa. Kau masih sakit. Banyaklah beristirahat,” Soo Rim mencegah kakaknya bangun.
“Aku tahu. Tapi aku harus bangun. Badanku pegal kalau terlalu banyak tidur,”katanya.
“Jangan, Oppa. Tak bisakah kau tidak keras kepala untuk saat ini saja?” marah Soo Rim.
Kakaknya menurut. Dia kemudian bicara pada kami.
“Mana Hye Ri?” tanyanya.
“Hah?” respon kami bersamaan.
“Kenapa kalian menjawab begitu? Hye Ri mana?”
“Ah... Bukannya kau tidak terlalu perduli padanya? Kenapa sekarang kau menanyakannya?” Soo Rim malah nanya balik.
Ku lihat Siwon terkejut adiknya bicara demikian. Aku menyikutnya.
“Aku hanya ingin minta maaf padanya. Aku tahu aku salah. Aku tidak seharusnya bersikap jahat padanya. Aku menyesal. Sekarang kalian jawab! Di mana Hye Ri?”
Aku dan Soo Rim kaget Siwon akan berkata seperti itu.
“Eoni ada di kamar 16 Oppa. Dia masih tidak sadarkan diri setelah mendonorkan darahnya untukmu dalam operasi kemarin.”
“MWO? Hye Ri yang mendonorkan darahnya padaku?” Siwon tak percaya.
“Iya Hyung. Hye Ri yang mendonorkan darahnya untukmu. Karena di rumah sakit ini, stok golongan darahmu habis. Sementara itu kau kehilangan banyak sekali darah. Kebetulan darah Hye Ri sama dengan golongan darahmu,” jelasku panjang lebar.
Bicara Hye Ri, aku sampai lupa. Dia kan masih diperiksa dokter. Aku pamit pada Soo Rim dan kakaknya. Soo Rim ingin ikut aku. Tapi aku melarangnya.
“Kau jaga kakakmu. Biar aku yang tanya bagaimana keadaan Hye Ri,”kataku sambil keluar kamar.
“Ok. Kalau eoni sudah siuman, bilang padaku.”
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum mengangguk.

Henry POV END

A-I POV

Dokter yang memeriksa Hye Ri menemui Henry. Dia menjelaskan bahwa keadaan Hye Ri baik tapi ada sesuatu yang membuatnya lemah.
“Dari tadi saya mendengar dia menyebut nama seseorang. Mungkinkah yang disebut Hye Ri adalah pacarnya?” tanya dokter.
“Saya tidak tahu. Yang saya tahu dia belum memiliki namjachingu,” Henry heran tapi dia yakin yang dimaksud dokter adalah Siwon.
“Saya sarankan Anda membawa orang yang sedari tadi disebut adik Anda. Mungkin dia bisa memberikan semangat hidup. Hatinya lemah. Jika tidak, adik Anda dalam bahaya. Dia bisa saja meninggal.” jelas dokter panjang lebar.
“Baik dokter. Boleh saya tahu siapa nama yang disebutkan Hye Ri?” tanya Henry.
“Namanya SIWON.” kata dokter tersenyum dan kemudian pamit meninggalkan Henry. Dugaan Henry tidak salah. Siwonlah yang dicintai adiknya. Dia menatap Hye Ri yang masih terpejam dengan sedih. Dia tidak ingin yeoja yang dia sayangi pergi karena sebuah cinta yang tak sampai. Henrypun keluar kamar dan segera menuju ke kamar Siwon.
Sesampainya di kamar Siwon, dilihatnya Soo Rim sedang meledek kakaknya. Anak ini, masih saja menyebalkan, pikirnya.
“Maaf aku mengganggu,” kata Henry.
“Ani. Masuklah,” kata Siwon.
Henry tersenyum. Dia menghampiri Soo Rim.
“Soo Rim, bolehkah aku bicara padamu? Empat mata!” kata Henry meminta.
“Soal apa?” tanya Soo Rim.
“Hye Ri,”
Mendengar nama Hye Ri disebut, telinga Siwon berdiri.
“Hye Ri? Kenapa dia?” tanyanya.
“Hmm, Hye Ri... Hye Ri...” Henry kaget Siwon ikut mendengarnya. Padahal dia ngomong ke Soo Rim dengan berbisik.
“Yak! Kenapa kau kaget begitu? Kenapa dia?”
“Kajja, Mochi! Cerita saja! Ada apa dengan eoni?”
“Hyung, apakah kau sudah diperbolehkan dokter turun dari tempat tidur? Kalau sudah, tolonglah Hye Ri,Hyung. Dia...” Henry mulai bercerita. Belum selesai, dia dipotong Siwon.
“Kenapa Hye Ri?” tanyanya tidak sabar.
“Dia mengigau. Dalam tidurnya dia menyebut namamu. Kata dokter orang yang disebut Hye Ri harus dapat memberikannya semangat agar dia sadar. Kalau tidak dia akan pergi selamaya. Itu karena hatinya sangat lemah,” jelas Henry panjang lebar. Tak terasa butiran bening di sudut matanyayang dari tadi ditahannya tumpah. Siwon ternganga. Soo Rim menangis.
“Apa separah itu? Kasian eoni. Ah iya. Oppa kau kan sudah boleh banyak bergerak kata dokter tadi. Besok kau jengguk eoni, ya!” kata Soo Rim dengan muka agak sumringah.
“Mwo? Tapi aku kan...” jawab Siwon terbata-bata.
“Kau tidak boleh menolaknya! Sekalian kau minta maaf sama eoni, Oppa!” suruh Soo Rim.
“Iya Hyung. Please help her!” Henry meminta.
“Baiklah kalau begitu. Besok akan ku jenguk dia,”
“Gumawo, Oppa, udah mau membantu menyelamatkan eoni,”
Siwon mengacak-ngacak rambut adiknya. Henry hanya terseyum lega. Akhirnya dia pamit pulang.
“Ne, pulanglah.” kata Siwon.
“Hati-hati Mochi!” nasihat Soo Rim dan dibalas dengan anggukkan Henry.
Tapi Henry tidak pulang ke rumahnya. Dia pulang ke tempat adiknya yang masih terlelap dengan damai di alam bawah sadarnya.

A-I POV END

Henry POV

Aku hanya bisa menangis melihat Hye Ri. Dia masih belum mau membuka matanya. Masih saja terlelap dalam tidurnya. Aku berharap dia kuat. Aku bertekad hari ini aku tidak pulang ke rumah. Aku akan menjaganya sampai dia sadar dan kembali seperti dulu. Aku tidak mau Hyung Hangeng kecewa dan sedih di sana karena aku tidak menjaga adiknya. Aku duduk di sofa sambil melihat pemandangan di balik jendela rumah sakit. 5 menit kemudian aku tertidur.

3 jam kemudian

“Siwon Oppa, mianhae. Aku bukan bermaksud untuk menggantikan eoni Alice. Aku memang mencintaimu. Tapi aku tahu, kau tidak akan pernah mencintaiku. Aku mau kau mengerti bahwa aku hanya ingin membuatmu tidak rapuh seperti dulu. Mianhae Oppa. Mianhae.” Hye Ri mengigau lagi dalam ketidaksadarannya.
Aku yang bangun dan kaget karena igauan Hye Ri. Aku mendengarnya dengan jelas, walau Hye Ri mengigaunya degan suara pelan. Kemudian aku melihatnya menangis. Aku yang bingung berlari keluar dan menuju kamar Siwon.
Di depan kamarnya aku buka pintunya dengan hati-hati. Ku bangunkan Siwon dengan perlahan.
“Hyung. Bangunlah!”
Siwon membuka matanya. Dia nampak terkejut.
“Ada apa Henry? Katanya kau mau pulang?” tanyanya.
“Aku tidak jadi pulang. Aku menunggui Hye Ri. Maaf Hyung kalau kau tidak keberatan, ikut aku ke kamar Hye Ri. Please! Now!”
“Hye Ri kenapa?”
“Nanti kau akan tahu,”
“Baiklah. Aku ke sana. Oh ya, jangan kau bangunkan Soo Rim. Kasihan dia,” kata Siwon menunjuk adiknya yang tertidur di sofa.
“Ne. Ayo Hyung! Aku bantu,” aku membantu Siwon berjalan ke tempat Hye Ri.
Tidak sampai 5 menit aku dan Siwon sudah berada di kamar Hye Ri. Hye Ri masih mengigau. Aku heran, igauannya masih sama. Air matanya bertambah deras. Aku prihatin. Kulirik Siwon yang nampak pias tidak percaya dengan apa yang diigaukan Hye Ri.
“Siwon Oppa, mianhae. Aku bukan bermaksud untuk menggantikan eoni Alice. Aku memang mencintaimu. Tapi aku tahu, kau tidak akan pernah mencintaiku. Aku mau kau mengerti bahwa aku hanya ingin membuatmu tidak rapuh seperti dulu. Mianhae Oppa. Mianhae.” Lalu Hye Ri berhenti mengigau.
“Hyung. Aku mohon. Berilah dia semangat. Aku takut ada apa-apa sama Hye Ri.”
“Iya Henry pasti. Aku tidak menyangka dia mencintaiku dengan tulus. Tapi aku malah menyakitinya. Aku menyesal. Andai dia sadar, aku pasti akan meminta maaf padanya dan akan aku bilang, aku juga mencintainya,” Siwon menangis.
Aku tercengang melihatnya menangis. Aku bantu dia duduk di samping Hye Ri. Lalu aku keluar, pamit padanya ke toilet.
Sempat ku dengar Siwon bilang, “Hye Ri bangunlah. Aku mencintaimu,” Aku tersenyum dan melangkah keluar.

Henry POV END

A-I POV

Ada satu hal yang tidak dimengerti Siwon dan Henry ketika Siwon bilang dia juga mencintai Hye Ri, (Oppa aku sedih saat kau bilang itu tapi aku maklum dia lebih membutuhkanmu.#abaikan) saat itu juga Hye Ri tersadar dari tidurnya. Dia hanya lelah untuk membuka mata. Hanya senyum yang terlihat, menandakan dia bahagia. Namun tetap saja, Siwon tidak menyadari itu. Dia terus mencium tangan Hye Ri. Tapi dia tidak kunjung membuka mata. Karena masih lemah, Siwonpun tertidur di sebelah Hye Ri.

5 jam kemudian...
Hye Ri terbangun. Henry yang sudah kembali ke kamar Hye Ri melihatnya sadar segera memanggil dokter. Hye Ri tersenyum pada Oppanya yang siaga menjaganya. Walau Henry bukan kakak kandungnya, tapi sosok Henry baginya adalah Hangeng, kakak yang dicintainya. Dia lalu menoleh ke kanan. Dilihatnya wajah namja yang sangat dia cintai tidur dengan pulasnya. Hye Ri kaget. Dia berniat membangunkan Siwon, tapi dia tidak enak hati. Tangannya yang lemah mencoba menyentuh wajah Siwon. Namun sebelum sempat menyentuhnya, tiba-tiba Siwon terbangun dari tidurnya.
“Hye Ri! Kau sudah sadar?” tanyanya sumringah.
“Oppa,” sahutnya pelan. “Kau datang untuk menjengukku?”
Siwon tersenyum. Dia memegang tangan yeoja cantik itu.
“Ne chagi. Akhirnya kau sadar juga. Aku mencemaskanmu. Mianhae, aku sudah menyakitimu,” tanpa sadar Siwon menangis.
“Tunggu dulu. Kau memanggilku chagi? Lalu kenapa kau menangis, Oppa?” Hye Ri terkejut.
“Aku hanya igin minta maaf padamu. Sudikah kau memaafkanku?”
Mata Hye Ri berkaca-kaca lalu tersenyum. Manis sekali.
“Kau sudah ku maafkan sejak lama, Oppa. Tapi kau belum jawab pertanyaanku yang pertama. Kau memanggilku chagi?”
Siwon kikuk. Tapi dia langsung menunduk dan mencium kening Hye Ri.
“Maukah kau menjadi yeojachinguku? Katakan ya, Hye Ri-ah. Sarangheyo,” katanya berbisik.
Belum sempat Hye Ri menjawab, dokter dan Henry masuk. Siwon bangun dari kursinya kemudian dokter memeriksa Hye Ri. Tak lama kemudian, dokter berbalik arah ke arah Henry.
“Henry, adikmu sudah melewati masa kritisnya. 2 hari lagi, dia boleh pulang,” kata dokter.
“Benarkah itu, dokter?” tanyanya tak percaya.
“Iya. Permisi,” sahut dokter lagi.
“Oppa, aku kapan pulang?” Hye Ri bergerak untuk bangun tapi dilarang Henry.
“Lusa kau sudah boleh pulang Hye Ri. Kau sudah baikan?” tanya Henry.
“Ne. Akhirnya aku pulang juga,” katanya dengan ceria dan suara lemah. Hye Ri lalu tersenyum pada kedua Oppanya.
“Siwon Oppa. Maukah kau mengantarku pulang, lusa nanti?” tanya Hye Ri tiba-tiba.
“Pasti kuantar kau pulang, Hye Ri. Tapi kau belum menjawab pertanyaanku?”
“Pertanyaan apa?” kata Hye Ri pura-pura tidak tahu.
“Maukah kau menjadi yeojachinguku? Hye Ri, Sarangheyo.”
Hye Ri terdiam. Lalu berkata, “Ne, Oppa. Nado saranghae.”
Hye Ri tersenyum pada Siwon. Siwon membalasnya dengan ciuman di kening yeojachingunya. Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Soo Rim di sana. Dia masuk sambil membawa sarapan dan tentu saja buah untuk eoni dan oppanya.
“Annyeonghaseyo. Eoni, kau sudah sadar?” pekiknya.
“Ne.” Hye Ri tersenyum pada Soo Rim.
“Syukurlah. Kalau begitu kalian semua harus makan ini,” Soo Rim mengeluarkan sarapan untuk mereka berempat.
“Mochi! Kau bantu aku!” perintahnya pada Henry.
Henry tersenyum tanda setuju. Dia lalu membantu Soo Rim membagi makanan sama rata.
“Hye Ri, kau makan ya?” kata Henry.
“Ani, Oppa....” Hye Ri geleng-geleng kepalanya tidak mau.
“Ayolah, kau jangan jadi adik yang keras kepala. Kau kan sudah berjanji padaku?” Henry agak kesal mendengar adiknya ngomong seperti itu.
“Aku belum menyelesaikan kata-kataku, Oppa,” Hye Ri merajuk.
Henry bingung.
“Ani kalau Siwon Oppa tidak mau makan bareng sama aku,” tanya mengerling mata ke Siwon.
Henry, Soo Rim, dan Siwon yang mendengar perkataan Hye Ri hanya bisa tertawa.
“Hahaha eoni mau disuapi Oppaku ini? Kau manja sekali eoni,” kata Soo Rim. Perkataan Soo Rim membuat Hye Ri malu sekaligus ngambek.
“Kenapa kalian mentertawakan aku? Ya sudah aku tidak usah makan saja,!”
“Aishh kau jangan merajuk gitu chagi. Baiklah aku suapi, ne,” kata Siwon akhirnya.
Siwon mengambil bubur dari tangan adiknya dan mulai menyuapi Hye Ri.
“Makasih Oppa,” kata Hye Ri ketika selesai makan dan minum susu coklat kesukaannya.
“Ne. Sekarang kau istirahat. Aku mau keluar dulu sebentar,” kata Siwon.
Hye Ri nurut. Siwon, Henry dan Soo Rim meninggalkan Hye Ri yang mulai tertidur sendiri.

3 hari kemudian....
Hye Ri sudah diperblehkan pulang. Dia tidak hanya diantar dengan Henry. Tapi ada namjachingu dan adiknya yang mengantarnya pulang. Kondisinya sekarang benar-benar telah pulih, namun masih harus tetap chek up ke dokter. Dalam perjalanan pulang, Hye Ri tidak mau langsung pulang ke rumah, dia ingin mengajak orang yang sangat dia sayangi pergi ke taman seperti kebiasaannya dengan kakaknya dulu. Tapi karena Henry dan Soo Rim ada jam kuliah, mereka tidak bisa menemani Hye Ri terlalu lama di taman. Tinggalah Hye Ri berdua dengan Siwon.

A-I POV END

Hye Ri POV

Aku merasa menjadi gadis yang sempurna dalam ketidaksempurnaanku. Akhirnya, Tuhan memberikan kasih dan sayang-Nya. Kini, hidupku menjadi lebih indah karena masih banyak orang yang mencintaiku. Aku juga bersyukur, pria yang kucintai, sekarang sangat sayang padaku. Hari ini aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Aku diantar oleh Henry Oppa, Soo Rim, dan tentu saja, Siwon Oppa, yang telah menjadi namjachinguku. Di mobil, aku meminta agar Henry Oppa tidak langsung membawaku pulang ke rumah. Aku ingin mengajak mereka bertiga ke taman, tempat biasa ku habiskan waktu dengan kakakku. Henry Oppa mengiyakan, tapi dia dan Soo Rim harus segera ke kampus, karena ada jam kuliah. Aku kecewa, tapi kekecewaanku hilang karena masih ada Siwon Oppa yang mau menemaniku. Mobil berhenti di taman. Aku turun dibantu Siwon Oppa dan melambaikan tangan saat mobil Henry Oppa melaju meninggalkan kami. Lalu, aku mengajak Siwon Oppa ke tempat yang menjadi base campku dengan Hangeng Oppa.
“Bagus tidak pemandangan di sini, Oppa?” tanyaku pada Siwon Oppa.
“Ya. Indah sekali. Aku baru pernah ke tempat yang sebagus ini,” jawabnya tersenyum.
Aku membalas senyumannya. Kami berdua duduk menikmati pemandangan. Persis seperti jadwal rutinitasku, yaitu setiap hari Sabtu duduk bersama di taman bersama Hangeng Oppa.
“Hye Ri,” kata Siwon Oppa tiba-tiba.
“Ne, Oppa?” balasku
“Terima kasih atas perhatianmu padaku selama ini,”
“Kembali,” kataku sambil tersenyum.
“Mungkin ini terlalu cepat. Tapi itu lebih baik. Maaf sebelumnya, aku bukanlah orang yang romantis. Would you marry me?” tanyanya sambil memegang kotak kecil berwarna merah hati.
Aku kaget tak menyangka, Siwon Oppa akan secepat itu melamarku.
“Please say ‘YES’ ” katanya lagi sembari memasangkan cincin yang dia keluarkan dari kotak kecil.
Cincin itu kini berpindah tempat dan melingkar manis di jariku. Aku merasa ini mimpi, tapi ini kenyataan. Aku tersenyum kepada Siwon Oppa dan mengangguk tanda setuju. Oppa memelukku. Dia menundukkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya ke arahku, dan mendaratkan sebuah kecupan. Aku membalasnya. Oppa kembali memelukku erat. Melingkarkan tangannya dipinggangku. Kemudian aku menyandarkan kepalaku dibahunya sambari duduk melihat langit.
Matahari yang menjorok ke ufuk barat melengkapi indahnya sore itu.

Hye Ri POV END

TAMAT
FIN
THE END
A-I, 8 Desember 2012