Labels

Wednesday 19 December 2012

NIKMATNYA KEJUJURAN

Cerpen pertamaku. Waktu menulis ini sebenarnya teringat akan nasihat guruku di kelas 4 SD 7 tahun silam.


Selamat membaca!




Pernahkah kalian berbohong? Entah itu karena terpaksa atau tanpa disengaja. Lebih banyak mana? Mungkin jawabannya tanpa disengaja. Aku pernah melakukan keduanya. Aku terpaksa karena takut akan resiko yang menimpaku setelah aku berkata jujur. Jadinya aku berbohong. Tidak disengaja karena tanpa sadar aku melakukannya, seperti di siang itu. Saat bersama teman-temanku.
Hari itu aku berkumpul dengan teman-temanku di kantin sekolah. Biasanya kami ke perpustakaan dulu baru ke kantin. Tapi entah mengapa tiba-tiba salah satu temanku mengajak kami ke kantin. Mungkin karena belum sarapan, pikirku. Aku dan 3 temanku lainnya setuju. Berangkatlah kami menuju kantin, diselingi dengan lelucon-lelucon konyol. Ya, memang kami berenam sering bertingkah yang aneh-aneh tapi tak sampai tingkah kami ini berujung pada masalah.
Salah satu temanku masih tetap dengan lelucon konyolnya walaupun kami telah sampai di kantin, tempat biasa kami jajan dan menyantap santap siang. Karena asyik dengan lelucon konyolnya, dan kami terus tertawa tanpa henti, tak ku sangka tanganku menyenggol piring dan memecahkannya. Karena saat itu masih ramai siswa-siswi yang sedang jajan, ibu penjaga kantin tak mengetahuinya. Mukaku pias. Teman-temanku diam seribu bahasa. Masalah ini adalah masalah yang pertama kali terjadi setelah kami melakukan kebiasaan buruk kami.
Masih dengan tatapan pias, aku diam dan mataku tak lepas melihat pecahan piring itu. Karena kami semua penakut, kami tidak berani untuk berterus terang, terutama aku.
Temanku Alia berkata,” Ayolah Rahmi kita pergi saja dan lupakan kejadian ini.” Teman-temanku yang lain mengiyakan. Tapi aku masih bergeming. Dalam hati aku tak setuju dengan usul temanku itu. Tapi saking takut di marahi oleh ibu penjaga kantin, aku ikuti usul buruk temanku itu.
Rasa bersalah itu masih membayang-bayangi pikiranku. Aku gelisah. Semalaman aku tak bisa memejamkan mata karena saking takutnya akan masalah tadi. Sebagian hatiku berkata,
 ‘Sudahlah. Jangan risau. Ngapain amat capek-capek mikirin piring yang udah pecah tadi.’
Sebagian hatiku lagi bilang,
Daripada kamu kayak gini, besok pagi langsung aja ke kantin. Minta maaf sama ibu penjaga kantinnya. Kalau bisa kamu juga harus ganti rugi. Misalnya, nyuciin piring kek, bantuin ngelayanin pembeli kek, atau apalah. Itu lebih baik daripada kamu kayak gini.
‘Ya elah! Ribet amat! Udah biarin aja. Lupain dan tidur.’
Ikutin kata hatimu ini jangan yang satunya. Semoga saja kamu di maafin sama ibu Nina, penjaga kantin itu. Okey!
‘APAKAH?  Tambah nambahin masalah tau. Ntar kalau diaduin gimana?’
Kejujuran itu amanah. Pokoknya besok harus minta maaf. Baru itu jiwa kesatria!
Aku hanya diam mendengar dua pernyataan yang bergemuruh dalam hatiku. Ah, sebodo amat.
Tapi....
“Okay-okay! Liat besok pagi.” kataku mengambill kesimpulan atas perdebatan hatiku.
Besoknya...
Dengan sarapan yang tergesa-gesa, ku habiskan sarapanku dan bergegas berangkat sekolah. Setelah pamit lalu mencium tangan ayah dan ibu, kukayuh sepedaku dengan kecepatan tinggi. Hmm, sebuah tindakan bodoh, pikirku. Maklum, biasanya jika berangkat ke sekolah dengan sepeda, tak pernah ku gowes sepedaku dengan kencang. Aku selalu santai bila bersepeda. Apalagi jarak antara rumahku dengan sekolah hanya 1,5 km. Tak terlalu jauh. Tak terlalu dekat. Sedang saja.
Begitu selesai memarkir sepeda di parkiran, aku langsung bergegas ke kantin. Tapi, belum ada siapa-siapa. Masih ada waktu buat ke atas dan menaruh tas. Ku lihat arlojiku, masih jam 06.00. Mataku terbelalak. Biasanya aku berangkat dari rumah jam setengah enam lewat lima dan sampai sekolah pukul 06.15. Pantas saja di kantin belum ada orang.
Aku mondar-mandir. Naik-turun tangga antara kantin dan kelasku. Kelasku dan kantin memang tak terlalu jauh. Apalagi kelasku ada di lantai 2. Naik-turun tangga rupanya capek juga. Aku putuskan untuk turun dan bergegas ke kantin. Kulihat sudah banyak murid yang datang. Tapi sampai kantin, tidak ada orang yang kucari. Aku bertanya ke Mang Ubay, si penjual somay.
“Mang, Bu Nina gak dateng?” kataku memulai pembicaraan.
“Hm, kayaknya sih engga neng. Biasanya dia kan udah dateng jam segini. Kemarin, mamang liat dia kecapean ngelayanin murid-murid yang jajan.” jawab Mang Ubay.
“Oh, begitu ya,” jawabku dengan nada kecewa. “Mamang tau gak rumahnya di mana?”tanyaku.
“Wah sayangnya mamang gak tau. Emangnya ada apa sih? Kok tiba-tiba eneng nanyain Bu Nina?”
“Eeengggg... Gak apa-apa kok. Makasih Mang, infonya,”sambarku buru-buru.
“Ya. Sama-sama”
Bel masuk berbunyi. Aku bergegas naik dan masuk ke kelas. Kuikuti setiap pelajaran tanpa semangat. Teman-teman akrabku tahu akan hal ini. Mereka juga ikut merasa bersalah, tapi aku tak mau melibatkan mereka. Ketika pelajaran jam terakhir Pak Widodo, guru matematika tidak hadir. Kami hanya diberikan tugas. Temanku Widya mengajakku ke tempat duduknya dan dia merencanakan sesuatu. Aku mendengarkan idenya. Aku sumigrah. Alia, Vita, dan Dina ikut bergabung. Widya menceritakan idenya. Mereka bertiga, termasuk aku tentunya, menyambut senang rencana Widya. Dalam hati aku bergumam, ‘Semoga berhasil. Amin.’ Beruntungnya aku memiliki sahabat yang baik seperti mereka.
Sesuai dengan rencana, hari yang dinanti-nantikan tiba juga. Aku, Widya, Alia, Vita dan Dina mulai menyusun strategi. Setelah bertanya ke sana ke sini rumah bu Nina, kami berangkat menuju rumahnya di jalan Nilem yang hanya beberapa gang dari rumah Alia. Pagi-pagi kami berlima berkumpul di rumah Alia untuk membicarakan rencana kami. Menjelang siang, kami berangkat ke rumah bu Nina.
“Assalamu’alaikum.” kata kami berlima memberikan salam.
Terdengar balasan, “Wa’alaikumsalam.” Tak lama kemudian aku melihat seseorang ibu yang membukakan pintu. “Eh, kalian. Ada gerangan apa kalian datang kemari? Tumben sekali.”
Kami lalu dipersilakan bu Nina duduk di kursi ruang tamunya. Sebelum bu Nina mengulangi pertanyaannya, aku menjawab, “Ibu, sebenarnya kami datang ke sini bukan hanya sekedar bertamu tapi kami, terutama Rahmi ingin meminta maaf karena 3 hari yang lalu tanpa disengaja saya menjatuhkan dan memecahkan salah satu piring ibu. Rahmi akui Rahmi pengecut. Tidak berani berkata jujur saat memecahkan piring itu. Rahmi terlalu takut waktu itu. Maafkan Rahmi bu. Maukah ibu memaafkanku?
Tanpa diduga, bu Nina berkata, “ Ibu sudah mengetahuinya.”
Aku dan teman-temanku kaget. Bagaimana mungkin? Pecahan piringnya kan sudah kan sudah kami bersihkan. Bu Nina tahu apa yang ada dipikran kami dan berkata,” Neng Rahmi. Ibu udah tahu bahwa ada piring yang pecah meskipun kejadiaannya ibu tak melihatnya. Ibu kecewa dengan apa yang kalian lakukan tapi ibu yakin cepat atau lambat kalian akan berkata yang sesungguhnya sama ibu. Dari awal ibu sudah memaafkan kalian berlima, terutama kamu neng Rahmi.”
“ Saya tidak menyangka ibu mau memaafkan Rahmi. Terima kasih bu. Tapi, saya tidak bisa mengganti piring ibu tersebut,” balasku.
“Iya bu. Kami minta maaf kami tak bisa menggantinya,” Widya membenarkan.
“Kalian tidak perlu mengganti piring ibu.” kata bu Nina.
“Tapi kami merasa sangat bersalah tidak bisa mengganti piring orang lain yang kami rusakkan, terutama saya.” Lanjutku hampir menangis.
“Oke begini saja. Kalian akan mengganti piring ibu dengan tenaga yang kalian miliki, bukan dengan mengganti dengan barang yang sama. Bagaimana? Kalian setuju?” jawab bu Nina.
“Kami setuju,” jawab kami serempak.
Tak terasa sudah satu setengah jam kami bertamu di rumah bu Nina. Setelah kami buat perjanjian dengan bu Nina, kami pamit pulang. Aku tidak menyangka, bu Nina selain penjaga kantin, dia seorang pengrajin mainan tradisional yang sudah langka. Teman-temanku juga demikian. Dalam perjalanan pulang, ku utarakan maksudku kepada mereka, agar aku saja yang membantu bu Nina. Karena aku yang melakukannya dan aku yang salah. Tapi Dina buru-buru memotong kalimatku, “Kita ini sahabat. Sudah seperti keluarga sendiri. Kalau satu dari kita ada yang salah, maka semuanya salah. Kalau satu dari kita dapat hukuman, semuanya juga harus di hukum.”
“Ini kan kesalahan aku. Aku yang udah mecahin piring, berarti aku harus di menerima resikonya.” balasku.
“Di mana arti dari kalimat ‘SAHABAT YANG SEBENARNYA ADALAH SAHABAT YANG ADA SAAT SAHABATNYA MEMBUTUHKAN’?” Alia ikut menyambung.
Aku terpana. Vita menambahkan,”Apalah arti kalimat yang kamu bikin kalau kamu tak mau teman-temanmu ini membantu kamu dari masalah ini. Kamu memecahkan piring tersebut kan juga gara-gara lelucon aku.”
Aku masih diam tanpa kata. Mereka benar. Aku seharusnya bersyukur karena aku memiliki sahabat yang dapat mengerti aku dan mau membantuku dari masalah ini. “Maafkan aku kawan. Aku bukannya tidak mau dibantu. Aku hanya ingin kalian tidak perlu menanggung resiko ini.”
“Rahmi, jangan mikir yang enggak-enggak. Kita ini sahabat. Persahabatan kita tidak boleh rusak hanya karena hal sepele. Kami akan membantu kamu.” Widya menasihatiku.
Mereka membuktikan janjinya. Aku di bantu mereka mengerjakan pesanan pelanggannya bu Nina. Kami berlima mengerjakannya dengan serius diselingi obrolan ringan dengan bu Nina. Tanpa terasa, pekerjaan kami cepat selesai.
Bisa dibilang dari pengakuan kejujuranku ini membawa nikmat tersendiri. Karena pesanan yang begitu banyak, akhirnya kami berlima bisa menjadi pegawai tetapnya bu Nina yang usaha mainannya semakin maju. Ditambah lagi nikmat itu yang dirasakan diriku sendiri adalah semakin akrab dengan keempat temanku ini. Semoga persahabatan kami awet sampai maut yang memisahkan kami. Aku berandai-andai jika waktu itu aku masih bohong tentunya aku tak akan bisa merasakan nikmatnya kejujuran yang rasanya bagai madu. Alhamdulillah, aku sudah mereguk madu itu.



A-I, TANGGERANG 24 FEBRUARI 2012

No comments: