Labels

Monday 17 December 2012

Temanku Wyeta

Seorang anak berambut panjang dan berbando sedang menikmati makan siangnya saat aku datang menghampirinya. Dia adalah anak baru di sekolahku. Karna ingin akrab dengannya, aku memberanikan diri untuk mendekatinya dan berkenalan dengannya. Tapi aku heran, saat hampir dekat dengannya, tanpa ba bi bu lagi, dia langsung ngeloyor pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Mungkin benar apa yang dikatakan kawan-kawanku, dia adalah anak perempuan yang sombong. Di kelas memang dia tak banyak bicara. Padahal sudah hampir sebulan dia sekelas denganku. Tapi jangankan untuk akrab. Namanya pun aku dan kawan-kawanku tak akan tau kecuali, saat namanya di panggil oleh guru. Dalam hati, kapan ya aku bisa akrab dengannya???
Esoknya aku ulangi tindakkan yang sama. Dia lakukan lagi perbuatan seperti kemarin. Salah seorang kawanku yang melihat itu dan dia mulai menasihatiku.
“Andin, buat apa sih kamu mendekati dia? Kamu tau gak? Dia itu soommmbbboonnggnnyaaaaa minta ampunn. Kemarin-kemarin aku udah sabar buat bertegur sapa dengannya. Tapi apa yang aku dapat? Cuma mata sinis darinya. Aku saranin deh kamu jangan lagi ngedeketin atau berurusan dengannya,” 
“Tapi emangnya salah kalau aku berusaha untuk akrab dengannya? Kita kan teman sekelas. Masa sampai sekarang kita gak tau rumahnya di mana?” jawabku.
Fina mengangguk membenarkan sanggahanku. “ Iya juga bener juga.  Trus gimana dong? “ tanyanya.
Hmmm, dalam kepalaku mulai muncul ide. Ku bisikkan rencanaku ini ke Fina. Matanya berbinar. Kami berdua cekikikkan seperti anak kecil.
Keesokkan harinya, kami menjalankan ‘Misi’ kami. Aku dan Fina mengajak semua teman sekelas agar meyapa dia, orang yang dianggap oleh seluruh teman sekolahku itu sombong, setiap saat. Baik saat masuk kelas, pulang sekolah atau bahkan makan di kantin. Wyeta. Iya namanya Wyeta. Dia membalas semua sapaan dengan anggukan kepala bukan dengan suara. Tapi aku dan yang lain merasa puas. Belum tentu kan dia sombong pikir kami semua.
Seminggu penuh kami menjalankan ‘Misi’ kami. Amazing! Wyeta berubah drastis. Meskipun masih belum mau berkumpul sama teman sekalas, setidaknya dia selalu memberikan senyuman dan sapaan saat bertatapan langsung.
“Guten Morgen Alles Freundin und Freundinen. Selamat Pagi semua,” Wyeta menyapa kami.
Kami sekelas tersentak kaget. Tapi aku bisa menguasai keadaan. Kusambut Wyeta dan membalas sapaannya, “Pagi juga Wyeta.”
Teman-teman yang lain juga membalas serempak,” Pagi Wyeta!” sambari tersenyum.
`Ah senangnya` gumamku. Wyeta ternyata tidak sesombong yang aku dan teman-temanku kira. Aku baru tau mengapa dia berlagak sombong seperti itu.
Wyeta adalah anak tunggal di keluarganya dan mereka semua baru pindah ke Indonesia setelah ayah Wyeta dipindah tugaskan ke Indonesia dari Jerman. Kalian pasti mengira Wyeta lahir di Jerman, iya kan? Tapi kalian salah! Wyeta asli Indonesia, tepatnya dia lahir di Batu, Malang. Hanya saja Wyeta besar di Jerman. Sering sekali dia menggunakan bahasa Jerman untuk mengobrol dengan kami.
Di kelas siang itu....
“Hey! Wie geht’s?” Wyeta mencoba ngobrol dengan kami.
Kami melongo. Akhirnya dia terjemahkan, “Artinya, Hey! Apa kabar?”
“Ooohhh” jawab kami serempak.
“Lalu kami harus jawab apa?” tanya Fina.
“I’m fine thanks.” kata Deni.
“Inggris kaliii” ledek yang lain.
“Kalian jawab, ‘Danke Prima’. Jika keadaan kalian sedang baik.”
“Waw! Seru juga!” ucapku.
“Wyeta, boleh kali kami semua belajar bahasa Jerman sama kamu?” tanya Fina.
“Boleh aja. Asal kalian punya minat dalam bahasa Jerman, tentu aku tidak keberatan,” balasnya sambil tersenyum. Ah manis sekali.
Kami tertawa terbahak-bahak. Lalu hening sesaat. Sampai akhirnya....
“Andin, boleh tidak aku bicara sama kamu berdua saja di kantin?” tanya Wyeta dengan bahasa Indonesia yang baku?
“Boleh. Ada apa, Ta?” aku balik bertanya.
“Hmm. Tidak apa sih. Tapi...” dia tergagap. “Aku... Cuma...”
Teman-temanku yang lain mengisyaratkan agar aku membawa Wyeta ke luar kelas. Aku mengajakknya membeli batagor.
“Kenapa sih Ta? Ada yang pentingkah?” tanyaku penasaran.
“Aku..aku...” ucapnya tebata-bata.
“Apakah yang mau kamu katakan itu sangat rahasia?” rasa penasaranku makin menjadi.
“Tidak. Aku hanya mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah mau membuatku menjadi ‘Ada’ dalam kelas,” jawabnya malu sambil tersenyum.
“Apa maksudnya? Aku ga ngerti?” tanyaku
“Kamu udah pernah aku ceritain kan bahwa aku pernah besar di luar negeri? Kamu juga tau kan kalau aku ini asli Malang?” Wyeta balik nanya.
“Ya. Aku tau. Kau sudah menceritakan semua tentang dirimu sama aku. Tapi apa maksudmu ‘Ada’ ? balasku.
Wyeta terdiam. Oh tidak, apakah aku salah mengucapkan kata? Kenapa Wyeta diam. Atau mungkin...
“Waktu ayahku dipindah tugaskan ke Jakarta, aku sebenarnya menolak ikut, karena temanku dari aku kecil sampai sekarang banyak di Jerman. Aku sudah ketakutan duluan aku tidak akan mendapat teman di Jakarta. Aku takut kalau aku nantinya akan sendirian di sekolahku yang baru. Tapi ayah bersikeras pindah dan membawaku ke Jakarta. Dia hanya bilang bahwa ‘Suatu hari nanti akan ada yang mau menerimaku sebagai teman.’ Aku nurut. Tapi sebenarnya aku masih ketakutan. Sebelum pindah ke Jakarta jujur saja, aku masih tidak lancar berbahasa Indonesia. Karena di Jerman aku menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa induk dan di rumah hanya menggunakan bahasa Jawa. Jarang ayahku mengajarkan bahasa Indone  sia. Waktu hari pertamaku disekolah ini, aku ingin sekali akrab dengan kalian semua. Tapi setiap ingin menyapa kalian, terutama kamu, lidahku kelu. Lidahku kesulitan untuk mengeluarkan bahasa Indonesia. Jadi terima kasih, Andin. Kamu orang pertama yang mau membantuku untuk mengakrabkan diri dengan yang lain” cerita Wyeta panjang lebar.
Aku mengangguk. “Sama-sama Wyeta. Bitte Sehr.” Ucapku dengan pelafalan yang kurang sempurna.
“KAMU BISA BAHASA JERMAN?” tanyanya serius.
Aku mengangguk lagi.
“Kenapa kau tak bilang padaku?” tanya dengan wajah kecewa.
“Bukan begitu Wyeta. Ini kan Indonesia. Aku harus dapat menghaluskan dan memperlancar bahasa Indonesiaku.”balasku.
“Memang kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
Aku dan Wyeta tertawa lebar.
“Oh ya.”lanjutku. “Apa kau suka tinggal di sini? Maksudku di Jakarta?”
“Tentu, aku betah dan suka di sini.” Ujarnya. “Lagipula, ada kamu yang udah baik padaku. Aku mau menulisnya dalam suatu karangan nantinya.” Sambungnya.
“Kamu bisa buat cerpen?” tanyaku.
“Enggak sih, tapi aku suka nulis. Nulis apa aja yang bagus.” Balasnya.
Tak terasa bel masuk berbunyi. Kami kembali ke kelas.
Aku dan Wyeta semakin hari semakin akrab. Wyeta sekarang sudah tidak kaku lagi. Setiap hari kami dan teman-teman yang lain selalu kompak demi kebersamaan kami. Ah, Wyeta. Gadis yang dibilang sombong sama temanku dulu, sekarang menjadi gadis yang ringan tangan dan  baik kepada setiap orang. Jika tersenyum, senyumnya mampu meluluhkan banyak orang. Manis sekali, seperti gula.

No comments: