Seorang anak berambut panjang dan
berbando sedang menikmati makan siangnya saat aku datang menghampirinya. Dia
adalah anak baru di sekolahku. Karna ingin akrab dengannya, aku memberanikan
diri untuk mendekatinya dan berkenalan dengannya. Tapi aku heran, saat hampir
dekat dengannya, tanpa ba bi bu lagi, dia langsung ngeloyor pergi tanpa
mengucapkan sepatah kata apapun. Mungkin benar apa yang dikatakan
kawan-kawanku, dia adalah anak perempuan yang sombong. Di kelas memang dia tak
banyak bicara. Padahal sudah hampir sebulan dia sekelas denganku. Tapi
jangankan untuk akrab. Namanya pun aku dan kawan-kawanku tak akan tau kecuali,
saat namanya di panggil oleh guru. Dalam hati, kapan ya aku bisa akrab
dengannya???
Esoknya aku ulangi tindakkan yang sama.
Dia lakukan lagi perbuatan seperti kemarin. Salah seorang kawanku yang melihat itu
dan dia mulai menasihatiku.
“Andin, buat apa sih kamu mendekati
dia? Kamu tau gak? Dia itu soommmbbboonnggnnyaaaaa minta ampunn.
Kemarin-kemarin aku udah sabar buat bertegur sapa dengannya. Tapi apa yang aku
dapat? Cuma mata sinis darinya. Aku saranin deh kamu jangan lagi ngedeketin
atau berurusan dengannya,”
“Tapi emangnya salah kalau aku berusaha
untuk akrab dengannya? Kita kan teman sekelas. Masa sampai sekarang kita gak
tau rumahnya di mana?” jawabku.
Fina mengangguk membenarkan
sanggahanku. “ Iya juga bener juga. Trus
gimana dong? “ tanyanya.
Hmmm, dalam kepalaku mulai muncul ide. Ku
bisikkan rencanaku ini ke Fina. Matanya berbinar. Kami berdua cekikikkan seperti
anak kecil.
Keesokkan harinya, kami menjalankan
‘Misi’ kami. Aku dan Fina mengajak semua teman sekelas agar meyapa dia, orang
yang dianggap oleh seluruh teman sekolahku itu sombong, setiap saat. Baik saat
masuk kelas, pulang sekolah atau bahkan makan di kantin. Wyeta. Iya namanya
Wyeta. Dia membalas semua sapaan dengan anggukan kepala bukan dengan suara.
Tapi aku dan yang lain merasa puas. Belum tentu kan dia sombong pikir kami
semua.
Seminggu penuh kami menjalankan ‘Misi’
kami. Amazing! Wyeta berubah drastis. Meskipun masih belum mau berkumpul sama
teman sekalas, setidaknya dia selalu memberikan senyuman dan sapaan saat
bertatapan langsung.
“Guten Morgen Alles Freundin und
Freundinen. Selamat Pagi semua,” Wyeta menyapa kami.
Kami sekelas tersentak kaget. Tapi aku
bisa menguasai keadaan. Kusambut Wyeta dan membalas sapaannya, “Pagi juga
Wyeta.”
Teman-teman yang lain juga membalas
serempak,” Pagi Wyeta!” sambari tersenyum.
`Ah senangnya` gumamku. Wyeta ternyata
tidak sesombong yang aku dan teman-temanku kira. Aku baru tau mengapa dia
berlagak sombong seperti itu.
Wyeta adalah anak tunggal di
keluarganya dan mereka semua baru pindah ke Indonesia setelah ayah Wyeta
dipindah tugaskan ke Indonesia dari Jerman. Kalian pasti mengira Wyeta lahir di
Jerman, iya kan? Tapi kalian salah! Wyeta asli Indonesia, tepatnya dia lahir di
Batu, Malang. Hanya saja Wyeta besar di Jerman. Sering sekali dia menggunakan
bahasa Jerman untuk mengobrol dengan kami.
Di kelas siang itu....
“Hey! Wie geht’s?” Wyeta mencoba
ngobrol dengan kami.
Kami melongo. Akhirnya dia terjemahkan,
“Artinya, Hey! Apa kabar?”
“Ooohhh” jawab kami serempak.
“Lalu kami harus jawab apa?” tanya
Fina.
“I’m fine thanks.” kata Deni.
“Inggris kaliii” ledek yang lain.
“Kalian jawab, ‘Danke Prima’. Jika
keadaan kalian sedang baik.”
“Waw! Seru juga!” ucapku.
“Wyeta, boleh kali kami semua belajar
bahasa Jerman sama kamu?” tanya Fina.
“Boleh aja. Asal kalian punya minat
dalam bahasa Jerman, tentu aku tidak keberatan,” balasnya sambil tersenyum. Ah
manis sekali.
Kami tertawa terbahak-bahak. Lalu
hening sesaat. Sampai akhirnya....
“Andin, boleh tidak aku bicara sama
kamu berdua saja di kantin?” tanya Wyeta dengan bahasa Indonesia yang baku?
“Boleh. Ada apa, Ta?” aku balik
bertanya.
“Hmm. Tidak apa sih. Tapi...” dia
tergagap. “Aku... Cuma...”
Teman-temanku yang lain mengisyaratkan
agar aku membawa Wyeta ke luar kelas. Aku mengajakknya membeli batagor.
“Kenapa sih Ta? Ada yang pentingkah?”
tanyaku penasaran.
“Aku..aku...” ucapnya tebata-bata.
“Apakah yang mau kamu katakan itu
sangat rahasia?” rasa penasaranku makin menjadi.
“Tidak. Aku hanya mau mengucapkan
terima kasih karena kamu sudah mau membuatku menjadi ‘Ada’ dalam kelas,”
jawabnya malu sambil tersenyum.
“Apa maksudnya? Aku ga ngerti?” tanyaku
“Kamu udah pernah aku ceritain kan
bahwa aku pernah besar di luar negeri? Kamu juga tau kan kalau aku ini asli
Malang?” Wyeta balik nanya.
“Ya. Aku tau. Kau sudah menceritakan
semua tentang dirimu sama aku. Tapi apa maksudmu ‘Ada’ ? balasku.
Wyeta terdiam. Oh tidak, apakah aku
salah mengucapkan kata? Kenapa Wyeta diam. Atau mungkin...
“Waktu ayahku dipindah tugaskan ke
Jakarta, aku sebenarnya menolak ikut, karena temanku dari aku kecil sampai
sekarang banyak di Jerman. Aku sudah ketakutan duluan aku tidak akan mendapat
teman di Jakarta. Aku takut kalau aku nantinya akan sendirian di sekolahku yang
baru. Tapi ayah bersikeras pindah dan membawaku ke Jakarta. Dia hanya bilang
bahwa ‘Suatu hari nanti akan ada yang mau menerimaku sebagai teman.’ Aku nurut.
Tapi sebenarnya aku masih ketakutan. Sebelum pindah ke Jakarta jujur saja, aku
masih tidak lancar berbahasa Indonesia. Karena di Jerman aku menggunakan bahasa
Jerman sebagai bahasa induk dan di rumah hanya menggunakan bahasa Jawa. Jarang
ayahku mengajarkan bahasa Indone sia.
Waktu hari pertamaku disekolah ini, aku ingin sekali akrab dengan kalian semua.
Tapi setiap ingin menyapa kalian, terutama kamu, lidahku kelu. Lidahku
kesulitan untuk mengeluarkan bahasa Indonesia. Jadi terima kasih, Andin. Kamu
orang pertama yang mau membantuku untuk mengakrabkan diri dengan yang lain”
cerita Wyeta panjang lebar.
Aku mengangguk. “Sama-sama Wyeta. Bitte
Sehr.” Ucapku dengan pelafalan yang kurang sempurna.
“KAMU BISA BAHASA JERMAN?” tanyanya
serius.
Aku mengangguk lagi.
“Kenapa kau tak bilang padaku?” tanya
dengan wajah kecewa.
“Bukan begitu Wyeta. Ini kan Indonesia.
Aku harus dapat menghaluskan dan memperlancar bahasa Indonesiaku.”balasku.
“Memang kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
Aku dan Wyeta tertawa lebar.
“Oh ya.”lanjutku. “Apa kau suka tinggal
di sini? Maksudku di Jakarta?”
“Tentu, aku betah dan suka di sini.”
Ujarnya. “Lagipula, ada kamu yang udah baik padaku. Aku mau menulisnya dalam
suatu karangan nantinya.” Sambungnya.
“Kamu bisa buat cerpen?” tanyaku.
“Enggak sih, tapi aku suka nulis. Nulis
apa aja yang bagus.” Balasnya.
Tak terasa bel masuk berbunyi. Kami
kembali ke kelas.
Aku dan Wyeta semakin hari semakin
akrab. Wyeta sekarang sudah tidak kaku lagi. Setiap hari kami dan teman-teman
yang lain selalu kompak demi kebersamaan kami. Ah, Wyeta. Gadis yang dibilang
sombong sama temanku dulu, sekarang menjadi gadis yang ringan tangan dan baik kepada setiap orang. Jika tersenyum,
senyumnya mampu meluluhkan banyak orang. Manis sekali, seperti gula.
No comments:
Post a Comment