ANNYEONGHASEO!!!
Kali ini, aku akan menulis FF (Flash Fiction) pertamaku yang pernah diikut lombakan di event menulis dunia maya dengan tema diskriminasi sosial. Sayangnya naskahku ini gak lolos. (Mungkin jelek kali ya?) Tapi, gak apa-apa deh. Kan FF pertama. Lagian gak semuanya ikut lomba harus menang kan?
Ok. Kelamaan curhat. Mending baca FFku ini terus komen :)
Yang Tak Dianggap
Tawa
itu meledak memenuhi seluruh ruangan, tapi tak bisa kurasakan euforia itu. Aku
tahu mereka hanya bergurau. Sayangnya, hati ini sedang tak bergairah untuk
bercanda. Melihatku tertunduk, perempuan cantik itu sontak menghentikan tawanya
dan langsung menatapku.“Aerin, kamu kenapa?”
“Aku tak apa,” jawabku.
“Tapi wajahmu murung. Kenapa? Tertawalah seperti kami.”
“Aku tak berminat.”
“Kau yakin?”
“Ya” balasku singkat.Mereka
kembali asyik membicarakan sesuatu. Lalu tawa itu terdengar lagi. Ku murungkan
kembali wajahku. Sebenarnya aku sendiri bingung kenapa jika ada orang tertawa
seperti itu aku malah ingin menangis. Menitikkan air mata ketika ku dengar lagi
tawa mereka. Menangis karena apa? Alasan itu tak bisa dijelaskan dengan
kata-kata. Yang kuinginkan sekarang adalah mereka berhenti dan tak lagi
tertawa.Air
mata itu tiba-tiba tumpah tanpa bisa ku bendung lagi. Deras, sederas air hujan
yang sedang menurunkan seluruh airnya. Keadaan yang penuh dengan gelak tawa
bahagia kini menjadi bingung. Empat pasang mata itu melihatku lekat. Tak tahu
apa yang terjadi dengan diriku. Diam mematung tak bergeming sedikitpun. Sampai
perempuan cantik yang tadi mengajakku bergembira tertawa bersama,
menghampiriku.“Rin,
ada apa?” tanyanya panikTangisku
perlahan berhenti. Perempuan itu memelukku hangat berusaha menghiburku. Dia
tahu, seharusnya hari ini aku tidak menangis karena hari ini adalah moment
terindahku.“Kamu
ada masalah? Kalau ada, cerita sama kami. Kamu sebenernya kenapa, Rin?” tanya
Fahmi.Aku
menggeleng.“Trus,
kamu kenapa?”Aku
tak menjawab. Aku menatap keempat pasang mata itu bergantian. Mereka terus
mendesakku. Aku diam beberapa saat. Mereka tak sabar menungguku angkat bicara.“Jujur
saja. Kami kan temanmu,” kata Fahmi.Aku
menghela napas.Teman? Ini yang kau maksud teman?
Mentertawakanku di atas penderitaanku. Teman macam apa kalian?Hatiku
bergejolak menahan marah.“Baiklah
kalau kalian memaksa. Aku hanya ingin satu hal,” kataku menggantung.Mereka
berpandangan. Lalu menatapku dan mengangguk.“Apapun
itu. Kamu minta apa?”“Sebelum
ku sebutkan permintaanku, aku mau menjelaskan bahwa sebenarnya, yang sedari
tadi kalian ejek dan tertawakan, orang yang kalian anggap cacat walaupun
sebenarnya dia kelihatan baik-baik saja hanya berjalannya yang pincang dan hal
itu tak mungkin dia ubah karena memang sudah takdir dan harus dia tanggung
seumur hidupnya karena penyakit yang dideritanya, adalah orang yang kalian
kenal.”Mereka
diam sembari menatapku. Tatapan mata mereka seolah mengatakan siapa yang
dimaksud? Mereka masih tidak bergerak. Masih menunggu ku lanjutkan kata-kataku.“Semoga
kalian bisa menerima orang itu sebagai teman kalian. Dia, orang yang kalian
tertawakan adalah aku, Aerin.”Mereka
kaget tak percaya. Ku lihat mereka saling pandang dan tangan mereka memegang
tanganku ingin menahanku. Tapi aku melepas tangan mereka dari tanganku. Aku
beranjak meninggalkan kedua orang tadi yang baru kukenal dan menutup pintu
rumahku rapat-rapat. Sepi.
Tapi terdengar suara tangis pelan yang tertahan dari arah depan rumahku.
END
A-I
4 comments:
Susunan paragrafnya emang gini ya?
Yang ini aku lupa ngasih alinea -_-
blognya keren :D ajariiiiiiiiiiiiiin donsge:d
Boleh aja ^^ wani piro???
Post a Comment